Monday, September 18, 2006

Mengincar Rezeki Para TKI

Trust Edisi:49 Thn:04/Keuangan/Hal:32/Tgl: 9/18/2006
Komisi untuk broker naik hampir tiga kali lipat menjadi 40%. KPPU akan memaksa Menakertrans untuk membatalkan surat keputusannya.

Upaya Menakertrans Erman Suparno untuk membenahi program asuransi TKI tampaknya akan berakhir di tengah jalan. Pasalnya, langkah penertiban yang ditempuh, dengan membentuk konsorsium asuransi TKI, dianggap telah melanggar UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Akibatnya, tak bisa ditawar lagi, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) meminta Kepmenakertrans No. 280/MEN/VII/2006 tentang Asuransi Perlindungan TKI segera dicabut.
Menurut Soy Pardede, Ketua Tim Monitoring KPPU, dalam proses seleksi sebenarnya ada dua konsorsium dari 20 perusahaan penyelenggara asuransi TKI. Tanpa alasan yang jelas, Depnakertrans justru hanya menunjuk satu konsorsium. “Penunjukan ini jelas mengandung unsur monopoli dan mengarah ke kartel,” katanya. Jika teguran itu tidak diindahkan, KPPU akan menghentikan kegiatan usaha anggota konsorsium tersebut.
Soy menjelaskan, selain akan mengirimkan surat ke Depnakertrans, ia juga akan menembuskan surat keputusan itu ke Depkeu. “Menkeu kami harap bisa lebih proaktif memfasilitasi dan membina asuransi TKI,” katanya.
Lain penilaian KPPU, lain pula suara Erman. Menurut sang Menteri, proses seleksi perusahaan asuransi TKI telah melalui prosedur dan hukum yang berlaku. “Semua sudah sesuai undang-undang. Tiap tiga bulan, saya akan mengevaluasi konsorsium. Jadi, Oktober nanti saya akan mengevaluasi kualitas dan pelayanan konsorsium itu,” katanya. Dari evaluasi triwulan ini, lanjut Erman, bisa jadi peran konsorsium yang sudah ditunjuk akan diteruskan, dibatalkan, atau dibentuk konsorsium baru lagi.
Terlepas dari polemik itu, bisa dibilang, keputusan KPPU ini menjadi pukulan telak program Menteri Erman. Sebelumnya, beleid ini juga telah ditolak oleh sejumlah asosiasi perusahaan penyedia jasa TKI dan pelaku industri asuransi.
Jika mengedepankan obyektivitas, di balik pembentukan konsorsium itu sebenarnya ada sebuah iktikad baik pemerintah tentang cara melindungi TKI secara optimal. Melalui Kepmen No. 280, Depnaker ingin memastikan bahwa tiap TKI yang diberangkatkan ke luar negeri sudah terdaftar sebagai peserta asuransi. Selain itu, instansi pemerintah ini juga berharap polis asuransi tidak lagi dipegang oleh perusahaan jawatan tenaga kerja Indonesia (PJTKI), melainkan langsung oleh pekerja yang bersangkutan. Lewat cara inilah TKI diharapkan bisa mendapat dana pertanggungan yang lebih besar.
Jadi, dari sudut pandang itu, memang tak ada yang salah dengan langkah yang diayunkan Pak Menteri. Persoalannya, siapa yang menjadi pelaksana megaproyek ini dan bagaimana aturan mainnya? Keputusan menunjuk Jasindo sebagai ketua konsorsium asuransi TKI, dan Grasia Media Utama sebagai pialang, terbukti malah menyisakan masalah yang berkepanjangan. Bahkan, keduanya diduga telah berkolusi dalam menentukan besaran komisi untuk pialang. Kejadiannya sekitar bulan Juni 2006. “Waktu itu mereka menandatangani MoU soal broker fee sebesar 40% dari nilai premi. Jadi, jika ditelisik, MoU itu sudah ada sebelum Kepmen terbit,” kata salah satu pelaku usaha asuransi yang minta dirahasiakan namanya.
Untungnya Tambah Gede
Jika kabar tentang komisi sebesar 40% itu benar adanya, maka yang diperoleh Grasia jelas hampir tiga kali lipat lebih tinggi dibanding broker sebelumnya (Dana Mitra), yang hanya menerima fee sebesar 15%. Padahal, dari sisi kualitas usaha, Grasia bukanlah pialang yang berpengalaman mengurus TKI. “Silakan Anda cek ke asosiasi broker. Grasia itu sebenarnya pialang lama yang baru beroperasi lagi,” kata si empunya cerita.
Melihat kenaikan yang tak biasa itu, tak heran jika muncul persepsi negatif tentang hubungan istimewa yang terjalin antara Jasindo dan Grasia. Dari penuturan anggota konsorsium asuransi TKI yang dibubarkan lebih dulu itu, terungkap bahwa banyak orang Edi Subekti yang mengisi beberapa jabatan penting di Grasia. Presiden Direktur Jasindo itu, konon, menempatkan anak adiknya (kemenakan), yang kini menjadi Duta Besar di Singapura, sebagai salah satu anggota direksi di Grasia. Tak hanya itu, kabarnya sebagian modal awal Grasia juga ditalangi oleh Jasindo.
Sayang, hingga tulisan ini diturunkan, konfirmasi dari Jasindo ataupun Grasia tak kunjung kami peroleh. Surat permohonan wawancara yang difaks ke Jasindo sejak Selasa lalu, juga tak jelas kelanjutannya. Begitu pula nomor seluler milik orang petinggi di perusahaan itu--yang biasanya mudah kami hubungi--tak pernah diangkat.
Sementara itu, Menteri Erman mengaku tidak tahu-menahu soal Grasia. “Saya tidak tahu. Yang jelas saya bukan pemilik atau bagian dari Grasia,” katanya. Ia juga menegaskan bahwa penentuan besaran komisi untuk broker adalah kewenangan konsorsium, bukan pemerintah.
Terlepas dari kontroversi soal Grasia dan Jasindo, yang pasti beleid yang tengah dipermasalahkan KPPU itu punya potensi mendatangkan untung yang cukup besar bagi perusahaan yang mengelolanya. Ketika kegiatan konsorsium asuransi TKI masih dipayungi Kepmen No. 157/MEN/2003, premi yang berhasil dikumpulkan hingga akhir 2005 mencapai Rp 104 miliar. Sementara dana yang dikembalikan kepada TKI hanya sebesar Rp 29 miliar. Perlu dicatat, pencapaian selama dua tahun itu baru mencerminkan 20% dari total TKI yang ada.
Jadi jelas, dengan dilansirnya Kepmen No. 280/MEN/2006, tentu akan lebih banyak lagi untung yang bakal didulang. Tinggal dihitung saja, jumlah TKI yang diberangkatkan dikalikan Rp 400 ribu. Wah.Boks: Yang Dulu juga Sudah EnakSelain menyisakan tanda tanya besar, Kepmen No. 280 itu juga mendapat tentangan dari sejumlah asosiasi. Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa TKI alias Apjati, Hussein Alaydrus, menilai langkah Depnakertrans menyamaratakan besaran premi dan pemusatan program asuransi bagi TKI sebagai tindakan kontraproduktif dan monopolistik. Alasannya, setiap negara tujuan memiliki karakteristik yang berbeda. Bagi negara-negara di Asia Pasifik, kenaikan premi itu sangat memberatkan. Sebab di negara tujuan, mereka sudah diasuransikan oleh para majikan. Makanya, ”Kalau tetap diikutkan program asuransi yang digariskan pemerintah, berarti ada over lapping, ada dobel asuransi,” katanya.
Selain itu, kata Hussein, pihaknya juga meragukan kemampuan konsorsium dalam memberi perlindungan yang maksimum selama TKI berada di luar negeri. “Apa yang bisa mereka kerjakan? Mereka tidak punya networking,” katanya seraya menegaskan bahwa asuransi yang identik dengan prosedur bertele-tele itu bukan perangkat yang tepat untuk melindungi TKI.
Lagi pula, masih kata Hussein, Undang-Undang Asuransi No. 2 Tahun 1992, Pasal 2-4, sudah menjelaskan batas kerja dan ruang lingkup asuransi. “Menurut undang-undang, asuransi kita tidak menyentuh masalah PHK, bantuan hukum, dan penganiayaan serta pelecehan seksual,” tuturnya.
Padahal, empat kategori itu merupakan hal yang paling krusial dalam memberikan perlindungan bagi TKI. “Asuransi tetap dibutuhkan, tapi untuk urusan melindungi keselamatan kerja TKI, kami mendesak pemerintah agar membentuk lembaga perlindungan yang bersifat nonkomersial,” lanjutnya.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Usama, S.T., MM. Direktur PT Aji Ayah Bunda Sejati (salah satu PJTKI) ini merasa lebih cocok dengan pola perlindungan TKI yang terdahulu. “Waktu kerja sama dengan mereka (Asuransi Paramitra), kami merasa cukup puas. Mereka bergerak cepat, dan pencairan klaimnya pun tidak berbelit-belit,” katanya. Soal pemberlakuan Kepmen No. 280, ia mengaku tak banyak tahu. Yang ia dengar, Asuransi Paramitra sudah dibekukan pemerintah.TKI yang Berangkat ke Luar Negeri
Tahun:Jumlah TKI (orang)
2001: 338.992
2002: 480.393
2003: 293.694
2004: 380.690
2005: 474.310
Nurul Kolbi, Pringgo Sanyoto, Syarif Hidayat, dan Teguh Usia Imam

Thursday, July 6, 2006

Dolar No, Rupiah Yes

Trust, No. 38, Tahun IV, 2006, 06-Juli-2006
Kelak, semua transaksi, termasuk pembayaran gaji pegawai asing, mesti menggunakan rupiah. Pemakaian mata uang asing akan dilarang.Kelak, semua transaksi, termasuk pembayaran gaji pegawai asing, mesti menggunakan rupiah. Pemakaian mata uang asing akan dilarang.
Putra berlari-lari kegirangan. Bocah laki-laki tiga tahun bertubuh gendut itu sangat senang mendapat selembar Rp 10 ribuan baru dari ayahnya. Tapi belum juga kaki mungilnya sampai ke warung di sebelah rumah, dia keburu jatuh. Tangisnya pecah. Karena kesal, uang yang ada dalam genggamannya diremas-remas, disobek, dan dilempar ke selokan.
Untuk saat ini bagi Putra dan ayahnya, Ade Hermansyah, hal itu mungkin tak berakibat apa-apa. Tapi kelak perbuatan Ade itu akan berbuah sanksi dari negara. Maklum, dalam Rancangan Undang-Undang tentang Mata Uang yang kini tengah dibahas di DPR disebutkan bahwa tindakan yang membuat mata uang rusak bisa dikenai sanksi.
Nantinya, terang Andi Rahmat, anggota Komisi XI DPR, orang tidak boleh “ngucel-ngucel” alias membuat kusut uang. Menurut Andi, aturan teknis nan unik itu dibuat dengan tujuan untuk mengefisienkan kriteria tentang uang rusak, waktu, siapa, dan cara penggantiannya. Dia menunjuk aturan serupa di Amerika.”Dolar kan juga seperti itu, enggak boleh kucel,” cetusnya.
Sejatinya, latar belakang disusunnya undang-undang baru itu adalah untuk memenuhi kewajiban yang diamanatkan oleh UUD 1945. Di sana disebutkan bahwa mata uang harus ditetapkan dengan undang-undang. Karena itu, tegas Andi, Undang-Undang tentang Mata Uang ini perlu dibuat.
Alasan lainnya, mata uang merupakan salah satu software in the symbol dari kedaulatan negara. Oleh karena itu, napas dari seluruh undang-undang ini adalah usaha untuk memuliakan mata uang rupiah di negerinya sendiri. “Kami,” kata Andi. “Ingin menjadikan mata uang rupiah sebagai raja di negeri sendiri.”
Seperti diketahui, saat ini banyak orang yang bekerja di perusahaan asing dibayar dengan dolar. Misalnya, di Freeport dan Caltex yang membayar gaji karyawannya-khususnya karyawan asing-dengan dolar. “Sekarang hal itu tak dilarang. Tapi kelak itu enggak boleh lagi,” cetus Andi.
Anggota DPR dari fraksi PKS itu memberikan alasan bahwa pelangaran pembayaran gaji dengan mata uang asing akan memberikan manfaat besar, salah satunya memperkuat transaksi. Nilai tukar rupiah, kata Andi, akan menjadi lebih bagus, karena Bank Indonesia tidak perlu lagi belanja dolar. Jadi, tegasnya, “Semua orang yang bekerja dan mencari penghasilan di Indonesia mesti dibayar dengan rupiah.”
Ada beberapa hal penting lain yang akan diatur secara detail dalam undang-undang dimaksud. Diantaranya, mata uang rupiah mesti diakui sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah dalam wilayah negara Indonesia.
Agar Black Market Tidak Tumbuh
Maklum, saat ini ada kecenderungan global yang membuat mata uang itu mudah ditekan dan tidak memiliki arti . Lebih-lebih dalam kondisi ekonomi negara yang sedang carut-marut seperti ini pasar gelap mata uang tumbuh subur. “Lewat undang-undang ini kami berharap black market itu enggak tumbuh,” kata Andi.
Benar bahwa hal itu telah diatur dalam Undang-undang tentang Bank Indonesia. Namun dalam beleid itu black market of money, kata Andi, bukan merupakan hal pokok. Karena itu, menurutnya, dalam Rancangan Undang-Undang tentang Mata Uang hal tersebut lebih dipertegas.
Bukan hanya itu. Rancangan Undang-Undang tentang Mata Uang juga mengatur standar gambar dan keterangan yang ada pada uang. Misalnya, mesti ada tulisan “Uang Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Demikian juga dengan gambar pahlawan mana saja yang bisa digunakan pada uang.
Beleid dimaksud memberikan otoritas pemakaian gambar itu ke Bank Indonesia. Dengan otoritas yang diberikan oleh undang-undang, kata Andi, jangan sampai gugatan pemakaian gambar seperti pada uang pecahan Rp 10 ribu terjadi lagi. Sekadar menyegarkan ingatan, Bank Indonesia pernah digugat di Pengadilan Niaga Jakarta gara-gara menggunakan lukisan Sultan Badaruddin tanpa seizin pembuatnya. Perkara tersebut saat ini masih diperiksa di tingkat kasasi.
Cukup? Belum. Disana juga diatur mengenai dua jenis ancaman hukuman, yakni bersifat sanksi untuk pelanggaran dan pidana untuk kejahatan. Tapi, kata Andi, dalam rancangan undang-undang itu kami menitikberatkan pada kejahatan. Misalnya, setiap orang yang menggunakan fotografi, gambar dan atau menyerupai uang rupiah yang masih berlaku dalam ukuran atau warna apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling sedikit lima tahun atau paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar (Pasal 22).
Selain itu, setiap orang yang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, menyimpan, atau mendistribusikan mesin, peralatan, alat cetak kertas uang dan logam, zat pewarna dan bahan lain yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat uang palsu dipidana dengan pidana penjara paling sedikit lima tahun atau paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 15 miliar (Pasal 21).
Selama ini, kata Andi, tidak ada aturan yang memuat ketentuan kapan dan dimana Bank Indonesia mesti mencetak uang. Jadi, Bank Indonesia itu bisa “seenaknya”. Apalagi hal itu hanya dipertanggungjawabkan dalam kewajiban moneternya tiga bulan sekali ke DPR. Yang jadi masalah, tegasnya, kalau anggota DPR mengasumsikan bahwa uang yang beredar itu sampai tingkat membahayakan ekonomi, dengan cara apa melarang Bank Indonesia karena belum ada undang-undang yang mengatur.
Sementara, di mata Komisaris Jenderal Pol. Zamris Anwar, Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri, rancangan undang-undang itu sangat ditunggu kelahirannya. Beleid itu diharapkan lebih memberikan kepastian hukum dalam proses penyelidikan dan penyidikan untuk kasus pemalsuan uang.
Selama ini, katanya, belum ada aturan-aturan yang bisa memayungi tugas kepolisian dalam mengungkap kasus pemalsuan uang palsu. Ketika mengungkap tindak pidana itu, proses penyidikannya mesti berasal dari laporan masyarakat. “Penyidik kesulitan menangkap pelaku pemalsuan uang karena kejahatan itu masih masuk dalam tindak pidana umum,” katanya.
Mesinpun Wajib Lapor
Jika Dewan Perwakilan Rakyat Baru menyusun rancangan untuk “memuliakan” rupiah, Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu alias Botasupal malah sudah mengambil langkah lebih jauh. Lembaga yang dikepalai oleh Syamsir Siregar itu belum lama ini melansir surat keputusan yang isinya cukup mengejutkan. Pemakaian mesin printer multifungsi (bisa digunakan untuk mencetak, pemindai (scanner), fotokopi, dan faksimile), mesin fotokopi berwarna dan mesin pengganda berwarna lainnya mesti dilakukan atas sepengetahuan Botasupal.
Persisnya, beleid itu menyebutkan bahwa pemakai peranti-peranti itu wajib memiliki izin operasional. Yang dimaksud izin operasional adalah izin untuk menggunakan mesin multifungsi berwarna, fotokopi berwarna, dan mesin-mesin pengganda berwarna lain yang dikeluarkan oleh Botasupal kepada para konsumen mesin.
Hebatnya lagi, pemilik printer “serba-bisa” yang telah memiliki mesin itu sebelum beleid itu dilahirkan-pada April lalu-tetap harus mendaftar. Wajib daftar itu dibatasi hingga Oktober nanti. Sementara, utnuk mesin-mesin baru pendaftarannya dilakukan oleh produsen, importir, dan distributor. Konsumen cukup mengisi daftar semacam kartu garansi. Bahkan pemindahtanganan dan kehilangan atas mesin-mesin itu juga mesti dilaporkan.
Pasal 4 beleid tersebut menyatakan bahwa instansi yang berwenang-Botasupal, Polri, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, dan Ditjen Bea Cukai-akan melakukan pengawasan terhadap produsen atau importir, pemilik pengguna mesin multifungsi berwarna, mesin fotokopi berwarna dan mesin pengganda berwarna lainnya secara berkala dan insidental minimal satu kali setahun.
Lantas bagaimana jika tidak melapor? Jangan main-main. Buat produsen, beleid tersebut sudah menyiapkan sanksi mulai dari peringatan sampai dengan pencabutan izin produksi. Sedangkan mesinnya bisa disita. Tentu saja ancaman pidana siap menjerat jika ketahuan mesin tersebut digunakan untuk mencetak uang palsu.*
Ariyanto, Teguh Usia Imam, dan Budi Supriyantoro

Wednesday, July 5, 2006

MENUNGGU AKSI POLISI CUKAI

Trust, No. 38, Tahun IV,2006, 05-Juli-2006
Kewenangan pejabat bea dan cukai kian besar. Tarif cukai pun akan digenjot sebesar 65%. Pemerintah tutup mata terhadap putusan Mahkamah Agung yang mengharamkan penunjukkan Peruri sebagai satu-satunya pencetak pita cukai.
Kewenangan pejabat bea dan cukai kian besar. Tarif cukai pun akan digenjot sebesar 65%. Pemerintah tutup mata terhadap putusan Mahkamah Agung yang mengharamkan penunjukkan Peruri sebagai satu-satunya pencetak pita cukai.
Keinginan pemerintah meningkatkan pendapatan negara dari cukai agaknya tak bisa ditawar lagi. Menurut draf revisi Undang-Undang tentang Cukai yang Rabu pekan lalu kembali dibahas di DPR, selain menambah kriteria barang kena cukai (ada empat kriteria), bakal perundangan-undangan itu juga menaikkan tarif cukai maksimal 65%.
Guna menggapai target itu, wewenang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pun dibuat semakin kuat. Kelak, selain berhak mengawasi pemakaian cukai, pejabat bea dan cukai juga berwenang melakukan audit cukai terhadap pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, dan pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan.
Dalam melakukan audit tersebut, undang-undang memberikan wewenang kepada pejabat bea dan cukai untuk meminta laporan keuangan, keterangan lisan dari pengusaha dan memasuki bangunan atau ruangan tempat penyimpanan laporan keuangan. Bukan itu saja, tempat usaha barang importir kena cukai, tempat usaha penyalur, hingga tempat penjualan eceran juga bisa dikunci ataupun disegel oleh aparat bea dan cukai.
Sayangnya, dengan kewenangan yang besar itu, undang-undang hanya memerintahkan adanya kode etik bagi pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Selain itu, juga diamanatkan pembentukan Komisi Kode Etik untuk menyelesaikan pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai. Sementara, jika terdapat indikasi tindak pidana di bidang cukai yang menyangkut pegawai Dirjen Bea dan Cukai, Menteri dapat menugaskan unit pemeriksa internal di lingkungan Departemen Keuangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap pegawai guna menemukan bukti permulaan.
Menariknya lagi, pada Pasal 64D dalam draf revisi itu disebutkan bahwa orang yang berjasa dalam menangani pelanggaran di bidang cukai berhak memperoleh premi. Jumlah premi diberikan sebesar 50% dari sanksi administrasi berupa denda dan/atau dari hasil lelang barang kena cukai hasil pelanggaran di bidang cukai.
Cukup? Belum. Draf revisi itu rupanya secara tegas juga mengakui dokumen dalam bentuk data elektronik sebagai alat bukti. Hal itu tertuang dalam Pasal 3A yang berbunyi dokumen cukai dan/atau dokumen pelengkap cukai dalam bentuk data elektronik merupakan alat bukti yang sah menurut undang-undang ini.
Di mata Andi Rahmat, anggota DPR Komisi XI, pemberian premi itu merupakan hal yang wajar. Sepanjang tidak diambil dari pendapatan negara, kata Andi, maka hal itu bisa dilaksanakan. “Hal itu akan merangsang para pegawai untuk membongkar kasus-kasus di lapangan”, tegasnya.Andi juga menerangkan bahwa dia menolak secara keras usulan dikenakannya bea keluar. Dulu, katanya, Bea dan Cukai hanya memungut bea masuk saja. Tetapi, dalam draf revisi baru ini pemerintah mengusulkan supaya ada bea keluar. Menurutnya, hal itu berbahaya karena akan menjadi tarif berganda. “Kalau itu diterapkan”, ujarnya, “Daya saing produk ekonomi Indonesia akan semakin lemah.”
Lebih dari itu, Andi juga melihat bahwa draf revisi tersebut berpotensi memberikan kekuasaan yang besar kepada Menteri Keuangan. Soalnya, banyak sekali ketentuan yang ujung-ujungnya merujuk ke menteri untuk membuat aturan lebih lanjut. “Ada banyak diskresi ke menteri, hal itu akan kami batasi”, tuturnya.
Pita Cukai Tetap Peruri
Kritik terhadap rencana revisi beleid itu juga meluncur dari bibir Ismanu Soemiran, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia. Menurutnya, rencana itu tidak mengacu pada industri yang ada di Indonesia. Tarif cukai maksimum yang sekarang ditetapkan pemerintah adalah 55%, tapi yang berlaku adalah 40%. “Nah, yang 55% saja belum pernah tercapai, kok sekarang mau dinaikkan lagi?” ujar Ismanu. “Kami tidak setuju terhadap rencana itu”, katanya lagi.
PASAL-PASAL KRUSIAL ITU
Pasal 2(1) Barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakterisrik yang: konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; produksi dan/atau pemakaiannya dapat memberikan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara dalam rangka keadilan dan keseimbangan, dikenai cukai berdasarkan undang-undang ini.
Pasal 39
(1) Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan audit cukai terhadap pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, dan pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan.
(1a) Dalam melaksanakan audit cukai sebagaimana dimaksud pada ayat(1), Pejabat Bea dan Cukai berwenang:
a. Meminta laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan dan surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai;
b. Memasuki bangunan serta melakukan pemeriksaan laporan keuangan yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan kegiatan usaha dan/atau tempat-tempat lain yang dianggap penting.
Pasal 40A
(1) Direktur Jenderal karena jabatan atau atas permohonan dari orang yang bersangkutan, dapat membetulkan surat tagihan, surat keputusan keberatan, surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat tagihan yang tidak benar yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung.
Pasal 40B
(1) Direktur Jenderal karena jabatan atau atas permohonan dari orang yang bersangkutan dapat:
a. Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa denda dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan orang yang dikenakan sanksi atau bukan karena kesalahannya;
b. Mengurangkan atau membatalkan surat tagihan yang tidak benar.Pasal 43AOrang yang berkeberatan atas keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) dapat mengajukan banding dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan atau keputusan, setelah kekurangan cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang terutang dibayar.
Pasal 43C
Permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43A atau gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43B, diajukan kepada pengadilan pajak sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur tentang pengadilan pajak.
Pasal 58A1.
Setiap orang yang secara tidak sah mengakses sistem elektronik yang berkaitan dengan pelayanan dan/atau pengawasan di bidang cukai, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).2. Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).*
Ariyanto, Saswitariski, Teguh Usia, dan Ahmad Pahingguan.

Thursday, June 22, 2006

Ini Dia: Super-PPATK

Trust, No. 36, Tahun IV, 2006., 22-Juni-2006
Bila Revisi UU Tindak Pidana Pencucian Uang disetujui, PPATK bakal menjelma menyerupai KPK. Kelak, lembaga itu bakal memiliki wewenang menyelidiki dan menyita asset yang diduga hasil tindak. Pengacara, notaris, akuntan publik, hingga dealer mobil dan pedagang barang antik juga kudu melapor ke PPATK
Bila Revisi UU Tindak Pidana Pencucian Uang disetujui, PPATK bakal menjelma menyerupai KPK. Kelak, lembaga itu bakal memiliki wewenang menyelidiki dan menyita asset yang diduga hasil tindak. Pengacara, notaris, akuntan publik, hingga dealer mobil dan pedagang barang antik juga kudu melapor ke PPATK.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan alias PPATK menggebrak lagi. Setelah unjuk gigi dengan mengabarkan adanya 15 rekening perwira tinggi polisi yang mencurigakan, tanpa diketahui banyak pihak, institusi pimpinan Yunus Husein itu kembali “mengasah pedang”. Persisnya, PPATK kini tengah menyusun sebuah naskah revisi atas Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencusian Uang (UU No.25 Tahun 2003), Tapi, ini bukan revisi biasa. Bila disetujui, lembaga itu pun kelak akan lebih berotot dan bertampang sangar.
Tengok saja, salah satu aturan dalam draf undang-undang yang segera meluncur ke DPR itu menyebutkan bahwa PPATK bakal memiliki wewenang melakukan penyelidikan. Ini tentu hal yang baru. Soalnya, selama ini, lembaga yang berdiri pada 17 April empat tahun silam itu hanya memiliki wewenang melakukan analisis terhadap transaksi yang diduga terkait tindak pidana pencucian uang dan kemudian memberikan laporan kepada penyidik, baik jaksa maupun polisi.
Bukan hanya wewenang melakukan penyelidikan, PPATK kelak juga berhak memerintahkan penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara transaksi keuangan yang diduga terkait dengan tindak pidana pencucian uang. Lembaga itu juga dibekali taji berupa hak memberi sanksi administrative bagi reporting parties – lembaga yang mesti memberikan laporan ke PPATK – yang tidak menyampaikan laporan.
Sekedar meyegarkan ingatan, yang dimaksud dengan pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta yg sah.
Ironisnya, berdasarkan catatan selama berkiprah selama tahun 2002, baru sekitar 20 kali Undang – Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang di gunakan sebagai dakwaan tunggal di pengadilan. Salah satunya adalah kasus pembobolan Rp. 31 miliar di Bank Internasional Indonesia. Lukman Hakim, salah satu terdakwa dalam kasus itu, diganjar hukuman delapan tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 15 Juli 2005.
Perkara tersebut bermula dari niat Yayasan Dana Pensiun PT.Pupuk Sriwijaya (Pusri) Palembang, Sumatera Selatan, untuk menempatkan dananya dalam bentuk deposito di BII Cabang Senen, Jakarta. Bukannya didepositokan. Oleh terdakwa yang bekerja sebagai pemasar deposito berjangka BII, uang milik yayasan itu malah diserahkan ke PT. Kharisma Hotel International di Cirebon, Jawa Barat.
Di mata majelis hakim, Lukman terbukti telah menyerahkan tiga lembar cek kepada Ade Suhidin, Direktur Utama PT. Kharisma Hotel International. Mestinya, menurut majelis, Lukman patut menduga bahwa dana tersebut merupakan hasil tindak pidana. Tak pelak, majelis pun berkesimpulan bahwa terdakwa menabrak Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Beleid tersebut berbunyi antara lain orang yang dengan sengaja membayar atau membelanjakan harta yang patut diduga hasil tindak pidana, baik atas nama sendiri maupun pihak lain, dipidana paling singkat lima tahun dan maksimal 15 tahun.
Dalam kasus tersebut, jaksa penuntut umum menggunakan jerat Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang karena ancaman pidana minimal dari beleid itu adalah lima tahun. Hukuman minimal itu lebih tinggi disbanding ancaman yang ada di Undang-Undang tentang Perbankan. Disamping itu, bukti-bukti yang disajikan oleh PPATK juga cukup kuat sehingga pembuktian menjadi lebih mudah.Menurut Yunus Husein, Ketua PPATK, minimnya laporan lembaganya yang sampai ke meja hijau bukanlah alasan untuk merevisi Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Yunus yang juga mengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyatakan bahwa latar belakang dari pembuatan undang-undang baru itu-istilah ini lebih dipilih Yunus daripada amendemen-adalah karena lembaganya harus meningkatkan efektivitas kerja.
Selain itu, ada juga rekomendasi dari FATF alias Financial Action Task Force on Money Laundering sebagai badan dunia yang menaungi lembaga – lembaga anti pencucian uang, yang intinya mensyaratkan standar baru bagi pemberantasan pencucian uang. “Dengan undang-undang yang lama, kita masih sangat kesulitan dalam mendeteksi dan menindak pelaku pencucian uang,” katanya.
Tak heran jika judul undang-undang itu pun diganti menjadi RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Bakal perangkat hukum itu terdiri dari 113 pasal dan 233 aturan. Hal ini tentu berbeda dengan undang-undang sebelumnya yang hanya terdiri dari 46 pasal dan 123 aturan.
Di antara aturan baru yang dimasukkan dalam rancangan undang-undang itu terdapat kualifikasi pemindanaan dan pidana tambahan bagi korporasi. Pihak yang mesti memberikan laporan kepada PPATK juga dimelarkan mulai dari penyedia jasa keuangan hingga profesi seperti advokat, notaries, dan akuntan publik. Selain itu, penyedia barang dan jasa seperti agen properti, dealer mobil, pedagang perhiasan, pedagang logam mulia, pedagang permata, dan pedagang barang antik juga wajib memberikan laporan ke PPATK.
Jenis pelaporan yang wajib diajukan oleh profesi (advokat, notaries, akuntan publik) yakni berupa laporan transaksi yang dilakukan untuk dan atas nama kliennya sebesar Rp.500 juta atau lebih. Hal yang sama berlaku juga untuk penyedia barang dan jasa. “Diharapkan, dengan perluasan reporting parties, deteksi adanya pencucian uang menjadi lebih luas lagi.” Tutur Yunus. Soalnya, yang namanya aset itu bisa dengan sangat cepat berpindah-pindah,” katanya lagi.
Polisi Bersikap Setangah Hati
Tak hanya itu. Dengan adanya undang-undang tersebut, kelak pihak pelapor memiliki wewenang menunda transaksi selama lima hari kerja. Hal itu bisa dilakukan dengan alasan di antaranya: transaksi diduga digunakan untuk menampung asset yang berasal dari tindak pidana, tidak digunakan sesuai dengan alasan pembukaan rekening, dan diketahui menggunakan dokumen palsu.Cukup? Belum. Di dalam rancangan undang-undang itu juga tertuang aturan mengenai acara pembalikan beban pembuktian secara perdata terhadap harta kekayaan yang diduga berasal darihasil tindak pidana. Bahkan, di sana tercantum pula pengaturan acara penyitaan dalam proses penyidikan.
Namun, tampaknya perjalanan calon perundang-undangan ini tak akan mulus. Luhut M. Pangaribuan, Wakil Ketua Ikatan Advokat Indonesia, tak setuju jika advokat maupun notaris harus melapor ke PPATK. Alasannya, menurut Luhut, wewenang PPATK hanyalah mengintip transaksi melalui Bank. Lalu, apabila PPATK menemukan transaksi mencurigakan, “Maka yang berwenang menelusuri adalah polisi, bukan PPATK,” tuturnya.
Masalahnya, selama ini polisi terkesan “setengah hati” meladeni laporan dari PPATK. Coba lihat, hingga kini, kabar tentang 15 rekening mecurigakan milik perwira tinggi polisi yang disampaikan PPATK ke Mabes Polri seolah lenyap di telan bumi. Agaknya, persoalan seperti itulah yang membuat PPATK geregetan dan ingin memiliki kewenangan melakukan penyelidikan hingga menyita aset.*
Ariyanto, Teguh Usia Imam, Eko Zulham, dan Saswitariski

Mau Investasi Asing? Revisi Dulu

TRUST, No. 36 Tahun IV, 2006, 22-Juni-2006
Sampai saat ini, PPATK telah menerima 413 laporan dugaan kasus pencucian uang. Namun, dari sebanyak itu, baru 6 kasus yang pelakunya dijerat Undang-Undang Pencucian Uang. Agar kita diterima dalam pergaulan internasional, memang sudah saatnya UU Tindak Pidana Pencucian Uang direvisi.
Sampai saat ini, PPATK telah menerima 413 laporan dugaan kasus pencucian uang. Namun, dari sebanyak itu, baru 6 kasus yang pelakunya dijerat Undang-Undang Pencucian Uang. Agar kita diterima dalam pergaulan internasional, memang sudah saatnya UU Tindak Pidana Pencucian Uang direvisi.
Keterlaluan. Meski Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah berupaya sekuat tenaga mengurangi tindak pidana pencucian uang, toh aparat penegak hukum tak menyambut laporan itu dengan baik. Padahal, bagi investor asing, tingkat pencucian uang di sebuah negeri merupakan salah satu faktor penting yang dipertimbangkan untuk menanamkan modalnya di negara yang bersangkutan.
Ini jelas tak bisa dipandang sebelah mata. Di tengah tingkat pengangguran yang semakin tinggi, investasi asing merupakan kebutuhan yang mendesak bagi Indonesia. Tapi lihat apa yang terjadi terhadap laporan PPATK. Dari 413 laporan yang disodorkan ke aparat penegak hukum, baru 100 yang diproses oleh jaksa maupun polisi. Lantas, dari jumlah itu, 30 kasus sudah diproses di pengadilan. Yang membuat miris, “Dari 30 kasus yang sudah divonis itu, hanya enam pelaku yang dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang,” kata Yunus Husein, Kepala PPATK.
Sudah begitu, menurut Yunus, masih ada sejumlah transaksi mencurigakan yang tidak dilaporkan pihak bank. Pasalnya, selama ini masih ada sejumlah kendala yang membuat bank enggan melaporkannya. Ada tiga alasan mengapa bank enggan melaporkan transaksi yang mencurigakan. Pertama, perbankan masih takut melaporkan transaksi yang mencurigakan yang melibatkan orang-orang penting seperti pejabat atau politisi. Kedua, adanya kultur bangsa Indonesia yang belum menjunjung tinggi kejujuran. Ketiga, perbankan khawatir akan ditinggalkan nasabah jika kerap melaporkan adanya transaksi yang mencurigakan.
Mengenai nilai transaksi mencurigakan dan bank yang melapor, Yunus tidak bersedia menjelaskan. Alasan Yunus, karena menurut UU No. 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang, pelapor harus dirahasiakan. Yunus juga mengataakan bahwa potensi pencucian uang yang terjadi di Indonesia sangatlah besar. “Berdasarkan prediksi dari Dana Moneter Internasional (IMF), uang hasil kejahatan bisa mencapai 2%-5% PDB atau sekitar Rp. 150 triliun,” katanya.
Sementara itu, berdasarkan data dari Markas Besar (Mabes) Polri, ada 11 kasus yang telah dilaporkan BI. Perinciannya, empat kasus ternyata hanya transaksi biasa antarbank yang bisa dipertanggungjawabkan, serta empat kasus terkait dengan transaksi ekspor impor dan kini polisi sedang memintaa klarifikasi dari luar negeri. Kemudian, ada juga tiga kasus lainnya yang kini dalam penelusuran dan penelitian. Yunus menambahkan, “Dua dari 11 kasus pencucian uang tersebut diduga terkait dengan terorisme internasional.”
Dari Adrian Waworuntu sampai E. C. W. Neloe
Adapun kasus pencucian uang yang telah divonis dengan jerat pasal pencucian uang, yang paling terkenal tentu saja kasus pembobolan BNI senilai Rp. 1,7 triliun. Para tersangkanya misalnya Adrian Waworuntu, telah divonis hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada akhir tahun 2005 silam.
Begitu juga yang menimpa Dicky Iskandar Dinata, salah satu tersangka dalam kasus pembobolan BNI. Selain dituduh korupsi, ia juga didakwa melakukan pencucian uang. Dalam persidangan yang juga digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada awal Juni 2006 silam, Dicky, Direktur Utama PT. Brokolin Internasional yang menerima kucuran dana sebesar Rp. 49,2 miliar dan US$ 2,99 juta hasil pencairan L/C fiktif PT. Gramarindo Group pada BNI Kebayoran Baru, dituntut hukuman mati.
Kendati begitu, dalam pleidoinya, Dicky menyatakan bahwa dirinya tidak mengetahui asal dana yang ditransfer ke PT. Brocolin International itu. Dengan kata lain, ia mengaku tidak tahu apakah dana yang masuk ke rekening perusahaannya itu adalah hasil transaksi haram atau bukan. “Kasus ini bukan kasus korupsi atau pencucian uang. Ini kasus penipuan informasi asal-usul uang,” ujar Dicky di persidangan.
Kasus besar lainnya adalah kasus yang menimpa mantan Direktur Utama Bank Mandiri, Edward Cornelis William (E. C. W.) Neloe. Setelah lolos dari kasus kredit macet di bank yang dipimpinnya, pria asal Nusa Tenggara Timur itu kembali dijerat kasus lain, yakni kasus pencucian uang (money laundering). Bahkan dalam kasus itu, sejak April 2006 silam, Neloe telah ditetapkan sebagai tersangka.
Menurut Kepala Bidang Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Pol. Bambang Kuncoko, Neloe diperiksa terkait dengan kepemilikan sejumlah dana atas namanya di sebuah bank di Swiss. Hanya saja, Bambang Kuncoko tidak menjelaskan berapa total dana yang disimpan Neloe di negara yang terkenal dengan kerahasiaan banknya itu.
Namun, pada 28 Februari 2006 lalu, Ketua Tim Pemburu Koruptor (TPK) Basrief Arief mengaatakan telah menemukan rekening milik Neloe senilai US$ 5,3 juta, di salah satu bank di Swiss. Untuk mengamankan temuan itu, menurut Basrief, TPK telah bekerja sama dengan otoritas perbankan Swiss untuk memblokir dana tersebut. Pemeriksaan terhadap kasus itu hingga kini masih dilakukan oleh Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Meski berstatus tersangka, menurut Bambang Kuncoko, penyidik belum memutuskan menahan Neloe. Alasannya, selain masih dalam taraf pemeriksaan , selama ini sikap Neloe juga dinilai kooperatif. “Yang bersangkutan [Neloe] bersikap kooperatif selama ini dan penyidik yakin dia tidak akan melarikan diri,” ungkap perwira menengah polisi ini.
Selain dua kasus besar tadi, ada juga kasus rekening perwira polisi yang pernah mencuat pada September 2005. Saat itu, Kepala PPATK melaporkan 15 nama perwira tinggi dan perwira menengah Polri yang memiliki rekening dengan saldo miliaran rupiah di sejumlah bank. Konon, uang yang tersimpan di rekening yang nilainya antaara Rp. 150 miliar hingga Rp. 800 miliar itu berasal dari upeti bisnis haram. Namun, dalam pemeriksaan selanjutnya, yang terbukti rekeningnya dikucuri uang hasil transaksi haram itu hanya menyangkut tiga perwira menengah polisi.
Merambah Bisnis Asuransi
Kendati jumlah transaksinya masih kecil, bisnis asuransi pun tak lepas dari dugaan pencucian uang. Setidaknya begitulah yang diungkapkan oleh Firdaus Djaelani, Direktur Asuransi Ditjen Lembaga Keuangan, beberapa waktu lalu. Menurutnya, pada tahun 2005, ada 20 transaksi mencurigakan yang terjadi di tiga sampai empat perusahaan asuransi jiwa yang dilaporkan ke PPATK. “Memang, yang paling memungkinkan untuk dimanfaatkan menjadi kendaraan (vehicle) bagi para pelaku pencucian uang adalah asuransi jiwa, terutama produk yang mengandung unsur investasi (unit linked),” katanya.
Adapun modus operandinya, menurut Firdaus, misalnya pelaku membeli produk unit linked berjangka 10 tahun senilai Rp. 5 miliar, dimana perbulannya si pelaku tadi diharuskan membayar premi Rp. 10 juta. Namun, belum genap 10 tahun, katakan pada tahun ketiga, seluruh kewajibannya dilunasi. Selanjutnya, pada beberapa bulan berikutnya, nasabah asuransi itu menarik investasinya di unit linked dan memindahkannya ke lembaga perbankan. “Dengan demikan, aliran dan mencurigakan tadi telah berpindah dari perusahaan asuransi ke perbankan,” katanya.
Dengan kondisi seperti itu, pantas saja bila PPATK berupaya memperluas kewenangannya. Kalau tidak, Indonesia akan tetap tercantum sebagai salah satu dari enam negara yang masuk dalam daftar Non-Cooperative Countries & Territories (NCCT) bersama Cook Island, Myanmar, Nauru, Nigeria, dan Filipina. Padahal, kalau kita mau diterima dalam pergaulan internasional, tidak bisa tidak, norma internasional harus diikuti.” Jika kita dinilai kotor, negara lain akan mengisolasi kita,” ujar Kepala PPATK, Yunus Husein. Akibatnya, “Recovery ekonomi kita akan semakin sulit,” katanya lagi.*
Riza Sofyat dan Teguh Usia Imam

Tuesday, April 4, 2006

Beleid Pemantik Amarah

Trust No. 25, Tahun IV, 2006, 04-April-2006
Rancangan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan diprotes ratusan ribu buruh. Karena terlalu mendengarkan suara pengusaha?
"KAMI bukan budak pengusaha!" Tulisan besar itu diarak keliling kota Makassar, Rabu pekan lain. Ratusan buruh berikat kepala mengawalnya. Sebagian lainnya mengacung-acungkan poster beraneka warna. Pada hari yang sama, ribuan buruh di Yogyakarta, Bandung, Bogor, dan Tangerang menggelar aksi serupa. Sementara di ibukota, buruh menjejali bundaran Hotel Indonesia dan halaman Gedung DPRD DKI Jakarta. Aksi protes yang massif itu meneriakkan satu suara: "Tolak revisi Undang-Undang Tenaga Kerja yang menyengsarakan pekerja!"
Aksi protes itu bermula dari beredarnya bocoran rancangan perubahan Undang-Undang Tenaga Kerja (UU No. 13 Tahun 2003). Ada banyak ketentuan dalam beleid yang belum genap berumur tiga tahun itu diubah, ditambahi, dan dihilangkan. "Pemerintah rupanya kembali menempatkan posisinya di belakang kepentingan pengusaha," sahut Sebastian Salang, Sekjen Federasi Perserikatan Buruh Independen, "Ini akan membangkitkan amarah buruh."
Tak heran jika amarah buruh meruyak. Tengok saja. Di sana disebutkan bahwa pengusaha bisa menggunakan sistem outsourcing dan kontrak untuk semua pekerjaan. Padahal, dalam undang-undang yang lama ditentukan hanya pekerjaan tertentu saja yang bisa dikerjakan oleh tenaga kontrak. Belum lagi soal pesangon. Dalam draf revisi yang disusun oleh pemerintah itu dikatakan bahwa pekerja yang upahnya lebih besar dari satu kali penghasilan tetap kena pajak, tidak berhak mendapat pesangon. Artinya, dengan asumsi penghasilan kena pajak saat ini adalah Rp 1,1 juta per bulan, maka buruh dengan gaji di atas angka itu tak akan berhak mendapat pesangon.
Gula-gula buat pengusaha kian nyata pada ketentuan tentang upah minimum. Nantinya, hal itu akan ditentukan oleh kondisi negara dan kemampuan perusahaan. Standar hidup layak—yang sebelumnya menjadi jiwa UU Tenaga Kerja—juga dihapus. Perusahaan boleh menentukan upah minimum hanya berdasarkan perundingan bipartit. Hal yang sama berlaku untuk tunjangan kepada buruh.
Pendeknya, di mata para aktivis buruh, lewat revisi itu ongkos yang mesti dikeluarkan para pengusaha kepada buruhnya menjadi kian kecil. Padahal, "Bohong bila upah buruh kita saat ini sudah kemahalan," tutur Salang sembari berjanji akan memberikan perlawanan yang "tak terlupakan" bila pemerintah memaksa mengegolkan rancangan yang disusunnya itu.Menariknya, walau belum diserahkan ke DPR, Ribka Ciptaning Proletariati, Ketua Komisi IX DPR, telah mengatakan akan secara tegas menolaknya. Menurut Ribka—yang mengaku telah mengintip isi revisi yang disusun oleh pemerintah—banyak pasal dalam rancangan tersebut yang bakal merugikan buruh, Sejumlah aturan yang mereka tunjuk, antara lain, tentang outsourcing dan pesangon.
Di mata Ribka, pemerintah melihat persoalan itu hanya dari sisi kepentingan pengusaha. Indikasinya, diulang-ulangnya alasan bahwa jika undang-undang yang lama tidak direvisi maka investor takut menanamkan modal. Kemudian, seperti kebakaran jenggot, langsung bertindak cekatan membuat paket Undang-Undang Investasi yang salah satunya merevisi UU Ketenagakerjaan. Jadi, "Sangat tidak tepat mereka berpikir seperti itu," tegasnya.
Walau mendapat serangan dari banyak pihak, Erman Suparno, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, tampak tenang. Dia menerangkan draf yang disusunnya itu belum final. "Kami justru menunggu masukan dari masyarakat," ujarnya.
Erman juga mengatakan rancangan revisi itu disusun terkait upaya pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan membangun iklim usaha yang kondusif. Jadi, semangat perubahan undang-undang itu adalah agar para penganggur yang jumlahnya saat ini sangat besar bisa tertampung. Masalah kesejahteraan, cetusnya, bisa dibicarakan secara internal antara perusahaan dan serikat pekerjanya.
Ihwal kontrak kerja waktu tertentu Erman menjelaskan, dengan langsung lima tahun, nantinya buruh akan otomatis menjadi pegawai tetap. Padahal, sebelumnya kontrak hanya dua tahun, tapi bisa di perpanjang satu tahun dan diperbarui dua tahun sehingga jumlahnya sama, yakni lima tahun. Tetapi, di sana disebutkan harus ada jeda 30 hari. "Jeda itulah yang menjadi masalah, yakni pekerja selama satu bulan tidak dipekerjakan dan belum tentu dibayar," ujarnya.
Ihwal pesangon, menurut Erman, yang menjadi masalah saat ini adalah aturan pesangon bagi pekerja yang besar gajinya sama dengan karyawan yang levelnya jauh di bawah. "Ini harus dibenahi, tapi bukan dihapus," cetusnya. "Saya berharap masyarakat masih berpikir positif terhadap niat baik pemerintah ini," imbuhnya.
Suara senada disampaikan oleh Anton J. Supit. Ketua Asprindo. Menurutnya pengusaha hanya berharap agar dibuat aturan yang lebih luwes dan tidak kaku. Sebagai misal, dia menunjuk pengaturan mengenai perhitungan pesangon dengan membedakan gaji yang diterima buruh. Di Vietnam, katanya, pesangon dihitung berdasarkan enam kali gaji. Karena itu, Anton meminta agar dibicarakan lagi angka yang sesuai dengan kondisi Indonesia.
Sementara di Cina, kata Anton, walau gaji buruh kecil namun produktivitasnya tinggi. Tak heran, jika investor berbondong-bondong menanamkan modalnya di sana. Sehingga, meski UU Tenaga Kerjanya longgar tetapi karena industri yang masuk cukup banyak—450 dari 500 perusahaan terbesar dunia ada di Cina—tenaga kerja yang terserap juga begitu besar. Tenaga kerja pun menjadi langka. "Akhirnya buruh dengan sendirinya memiliki nilai tawar yang tinggi,” cetusnya.
Beberapa Materi Krusial
1. Tenaga Kerja AsingKetentuan Dlm UU No. 13 tahun 2003:
Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan- jabatan tertentu,
Perubahan : Dihapus
2Perjanjian kerja waktu tertentu (outsourcing)
Ketentuan Dlm UU No. 13 tahun 2003: Tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Masa kontrak maksimal 2 tahun.
Perubahan: Dapat dilakukan untuk semua jenis pekerjaan. Masa kontrak bisa mencapai 5 tahun sekaligus.
3 Batas usia anak bekerja
Ketentuan Dlm UU No. 13 tahun 2003: Pengusaha dilarang mempekerjakan anak, kecuali yang berumur antara 13 sampai dengan 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.
Perubahan: Diperbolehkan mempekerjakan anak di bawah usia 15 tahun dan berhak untuk menandatangani perjanjian kerja (dianggap cakap melakukan perbuatan hukum, khusus dalam hub kerja).
4 Batasan maksimal jam kerja lembur
Ketentuan Dlm UU No. 13 tahun 2003: Jam lembur per hari maksimal 3 jam dan 14 jamper minggu.
Perubahan: Lembur dapat dilakukan maksimal 14 jam per minggu (tidak dibatasi perhari).
5 Waktu kerjaKetentuan Dlm UU No. 13 tahun 2003: Cuti panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 bulan bagi buruh yang telah bekerja selama 6 tahun.
Perubahan: Dalam draf tidak diatur secara rinci ketentuan cuti panjang, namun diserahkan ke masing-masing perusahaan untuk diatur tersendiri dalam perjanjian kerja.
6 Upah Minum Regional/ Provinsi
Ketentuan Dlm UU No. 13 tahun 2003: Setiap buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Perubahan: Istilah "penghidupan yang layak" diganti dengan "....upah minimum sebagai jaring pengaman." Upah minimum memperhatikan kemampuan sektor usaha yang paling lemah.
7 Akibat mogok kerja tidak sah
Ketentuan Dlm UU No. 13 tahun 2003: Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah akan diatur dengan Keputusan Menteri.
Perubahan: Akibat hukum dari mogok kerja tidak sah ada 2 alternatif;1. PHK tanpa pesangon2. Dikategorikan mangkir dan yang mengakibatkan perusahaan rugi, pekerja dapat dituntut ganti rugi.
8 Pesangon
Ketentuan Dlm UU No. 13 tahun 2003: Dalam hal terjadi PHK, pengusaha wajib membayar pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
Perubahan: Pekerja yang upahnya lebih besar dari 1 kali penghasilan tetap kena pajak, tidak berhak mendapat pesangon. (Angka itu sekitar Rp 1,1 juta per bulan - red).
9 Perubahan batasan masa kerja sebagai dasar perhitungan besarnya uang pesangon
Ketentuan Dlm UU No. 13 tahun 2003: Pesangon bagi buruh dengan masa kerja kurang dari 1 tahun adalah 1 bulan upah (tidak ada minimal masa kerja).
Perubahan: Pekerja yang berhak mendapat pesangon 1 bulan upah minimal harus telah bekerja 3 bulan.
10 Skorsing bagi karyawan yang melakukan kesalahan berat
Ketentuan Dlm UU No. 13 tahun 2003: Pengusaha dapat melakukan skorsing kepada buruh yang sedang dalam proses PHK dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima buruh.
Perubahan: Karyawan yang melakukan kesalahan berat, dapat diberikan skorsing, dan selama skorsing tidak diberikan upah.
11 Besarnya Pesangon karena perusahaan melakukan efisiensi
Ketentuan Dlm UU No. 13 tahun 2003: PHK dapat dilakukan karena perusahaan rugi terus-menerus selama 2 tahun (dibuktikan dengan audit) atau karena force major dan pesangon diberikan 2 kali "PMTK".
Perubahan: Efisiensi yang berakibat pada pengurangan pegawai tidak perlu ada laporan audit. Pesangon yang diberikan 1 kali “PMTK”.
*Ariyanto, Pringgo Sanyoto, Ahmad Pahingguan, dan Teguh Usia Imam