Thursday, June 22, 2006

Ini Dia: Super-PPATK

Trust, No. 36, Tahun IV, 2006., 22-Juni-2006
Bila Revisi UU Tindak Pidana Pencucian Uang disetujui, PPATK bakal menjelma menyerupai KPK. Kelak, lembaga itu bakal memiliki wewenang menyelidiki dan menyita asset yang diduga hasil tindak. Pengacara, notaris, akuntan publik, hingga dealer mobil dan pedagang barang antik juga kudu melapor ke PPATK
Bila Revisi UU Tindak Pidana Pencucian Uang disetujui, PPATK bakal menjelma menyerupai KPK. Kelak, lembaga itu bakal memiliki wewenang menyelidiki dan menyita asset yang diduga hasil tindak. Pengacara, notaris, akuntan publik, hingga dealer mobil dan pedagang barang antik juga kudu melapor ke PPATK.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan alias PPATK menggebrak lagi. Setelah unjuk gigi dengan mengabarkan adanya 15 rekening perwira tinggi polisi yang mencurigakan, tanpa diketahui banyak pihak, institusi pimpinan Yunus Husein itu kembali “mengasah pedang”. Persisnya, PPATK kini tengah menyusun sebuah naskah revisi atas Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencusian Uang (UU No.25 Tahun 2003), Tapi, ini bukan revisi biasa. Bila disetujui, lembaga itu pun kelak akan lebih berotot dan bertampang sangar.
Tengok saja, salah satu aturan dalam draf undang-undang yang segera meluncur ke DPR itu menyebutkan bahwa PPATK bakal memiliki wewenang melakukan penyelidikan. Ini tentu hal yang baru. Soalnya, selama ini, lembaga yang berdiri pada 17 April empat tahun silam itu hanya memiliki wewenang melakukan analisis terhadap transaksi yang diduga terkait tindak pidana pencucian uang dan kemudian memberikan laporan kepada penyidik, baik jaksa maupun polisi.
Bukan hanya wewenang melakukan penyelidikan, PPATK kelak juga berhak memerintahkan penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara transaksi keuangan yang diduga terkait dengan tindak pidana pencucian uang. Lembaga itu juga dibekali taji berupa hak memberi sanksi administrative bagi reporting parties – lembaga yang mesti memberikan laporan ke PPATK – yang tidak menyampaikan laporan.
Sekedar meyegarkan ingatan, yang dimaksud dengan pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta yg sah.
Ironisnya, berdasarkan catatan selama berkiprah selama tahun 2002, baru sekitar 20 kali Undang – Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang di gunakan sebagai dakwaan tunggal di pengadilan. Salah satunya adalah kasus pembobolan Rp. 31 miliar di Bank Internasional Indonesia. Lukman Hakim, salah satu terdakwa dalam kasus itu, diganjar hukuman delapan tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 15 Juli 2005.
Perkara tersebut bermula dari niat Yayasan Dana Pensiun PT.Pupuk Sriwijaya (Pusri) Palembang, Sumatera Selatan, untuk menempatkan dananya dalam bentuk deposito di BII Cabang Senen, Jakarta. Bukannya didepositokan. Oleh terdakwa yang bekerja sebagai pemasar deposito berjangka BII, uang milik yayasan itu malah diserahkan ke PT. Kharisma Hotel International di Cirebon, Jawa Barat.
Di mata majelis hakim, Lukman terbukti telah menyerahkan tiga lembar cek kepada Ade Suhidin, Direktur Utama PT. Kharisma Hotel International. Mestinya, menurut majelis, Lukman patut menduga bahwa dana tersebut merupakan hasil tindak pidana. Tak pelak, majelis pun berkesimpulan bahwa terdakwa menabrak Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Beleid tersebut berbunyi antara lain orang yang dengan sengaja membayar atau membelanjakan harta yang patut diduga hasil tindak pidana, baik atas nama sendiri maupun pihak lain, dipidana paling singkat lima tahun dan maksimal 15 tahun.
Dalam kasus tersebut, jaksa penuntut umum menggunakan jerat Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang karena ancaman pidana minimal dari beleid itu adalah lima tahun. Hukuman minimal itu lebih tinggi disbanding ancaman yang ada di Undang-Undang tentang Perbankan. Disamping itu, bukti-bukti yang disajikan oleh PPATK juga cukup kuat sehingga pembuktian menjadi lebih mudah.Menurut Yunus Husein, Ketua PPATK, minimnya laporan lembaganya yang sampai ke meja hijau bukanlah alasan untuk merevisi Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Yunus yang juga mengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyatakan bahwa latar belakang dari pembuatan undang-undang baru itu-istilah ini lebih dipilih Yunus daripada amendemen-adalah karena lembaganya harus meningkatkan efektivitas kerja.
Selain itu, ada juga rekomendasi dari FATF alias Financial Action Task Force on Money Laundering sebagai badan dunia yang menaungi lembaga – lembaga anti pencucian uang, yang intinya mensyaratkan standar baru bagi pemberantasan pencucian uang. “Dengan undang-undang yang lama, kita masih sangat kesulitan dalam mendeteksi dan menindak pelaku pencucian uang,” katanya.
Tak heran jika judul undang-undang itu pun diganti menjadi RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Bakal perangkat hukum itu terdiri dari 113 pasal dan 233 aturan. Hal ini tentu berbeda dengan undang-undang sebelumnya yang hanya terdiri dari 46 pasal dan 123 aturan.
Di antara aturan baru yang dimasukkan dalam rancangan undang-undang itu terdapat kualifikasi pemindanaan dan pidana tambahan bagi korporasi. Pihak yang mesti memberikan laporan kepada PPATK juga dimelarkan mulai dari penyedia jasa keuangan hingga profesi seperti advokat, notaries, dan akuntan publik. Selain itu, penyedia barang dan jasa seperti agen properti, dealer mobil, pedagang perhiasan, pedagang logam mulia, pedagang permata, dan pedagang barang antik juga wajib memberikan laporan ke PPATK.
Jenis pelaporan yang wajib diajukan oleh profesi (advokat, notaries, akuntan publik) yakni berupa laporan transaksi yang dilakukan untuk dan atas nama kliennya sebesar Rp.500 juta atau lebih. Hal yang sama berlaku juga untuk penyedia barang dan jasa. “Diharapkan, dengan perluasan reporting parties, deteksi adanya pencucian uang menjadi lebih luas lagi.” Tutur Yunus. Soalnya, yang namanya aset itu bisa dengan sangat cepat berpindah-pindah,” katanya lagi.
Polisi Bersikap Setangah Hati
Tak hanya itu. Dengan adanya undang-undang tersebut, kelak pihak pelapor memiliki wewenang menunda transaksi selama lima hari kerja. Hal itu bisa dilakukan dengan alasan di antaranya: transaksi diduga digunakan untuk menampung asset yang berasal dari tindak pidana, tidak digunakan sesuai dengan alasan pembukaan rekening, dan diketahui menggunakan dokumen palsu.Cukup? Belum. Di dalam rancangan undang-undang itu juga tertuang aturan mengenai acara pembalikan beban pembuktian secara perdata terhadap harta kekayaan yang diduga berasal darihasil tindak pidana. Bahkan, di sana tercantum pula pengaturan acara penyitaan dalam proses penyidikan.
Namun, tampaknya perjalanan calon perundang-undangan ini tak akan mulus. Luhut M. Pangaribuan, Wakil Ketua Ikatan Advokat Indonesia, tak setuju jika advokat maupun notaris harus melapor ke PPATK. Alasannya, menurut Luhut, wewenang PPATK hanyalah mengintip transaksi melalui Bank. Lalu, apabila PPATK menemukan transaksi mencurigakan, “Maka yang berwenang menelusuri adalah polisi, bukan PPATK,” tuturnya.
Masalahnya, selama ini polisi terkesan “setengah hati” meladeni laporan dari PPATK. Coba lihat, hingga kini, kabar tentang 15 rekening mecurigakan milik perwira tinggi polisi yang disampaikan PPATK ke Mabes Polri seolah lenyap di telan bumi. Agaknya, persoalan seperti itulah yang membuat PPATK geregetan dan ingin memiliki kewenangan melakukan penyelidikan hingga menyita aset.*
Ariyanto, Teguh Usia Imam, Eko Zulham, dan Saswitariski

Mau Investasi Asing? Revisi Dulu

TRUST, No. 36 Tahun IV, 2006, 22-Juni-2006
Sampai saat ini, PPATK telah menerima 413 laporan dugaan kasus pencucian uang. Namun, dari sebanyak itu, baru 6 kasus yang pelakunya dijerat Undang-Undang Pencucian Uang. Agar kita diterima dalam pergaulan internasional, memang sudah saatnya UU Tindak Pidana Pencucian Uang direvisi.
Sampai saat ini, PPATK telah menerima 413 laporan dugaan kasus pencucian uang. Namun, dari sebanyak itu, baru 6 kasus yang pelakunya dijerat Undang-Undang Pencucian Uang. Agar kita diterima dalam pergaulan internasional, memang sudah saatnya UU Tindak Pidana Pencucian Uang direvisi.
Keterlaluan. Meski Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah berupaya sekuat tenaga mengurangi tindak pidana pencucian uang, toh aparat penegak hukum tak menyambut laporan itu dengan baik. Padahal, bagi investor asing, tingkat pencucian uang di sebuah negeri merupakan salah satu faktor penting yang dipertimbangkan untuk menanamkan modalnya di negara yang bersangkutan.
Ini jelas tak bisa dipandang sebelah mata. Di tengah tingkat pengangguran yang semakin tinggi, investasi asing merupakan kebutuhan yang mendesak bagi Indonesia. Tapi lihat apa yang terjadi terhadap laporan PPATK. Dari 413 laporan yang disodorkan ke aparat penegak hukum, baru 100 yang diproses oleh jaksa maupun polisi. Lantas, dari jumlah itu, 30 kasus sudah diproses di pengadilan. Yang membuat miris, “Dari 30 kasus yang sudah divonis itu, hanya enam pelaku yang dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang,” kata Yunus Husein, Kepala PPATK.
Sudah begitu, menurut Yunus, masih ada sejumlah transaksi mencurigakan yang tidak dilaporkan pihak bank. Pasalnya, selama ini masih ada sejumlah kendala yang membuat bank enggan melaporkannya. Ada tiga alasan mengapa bank enggan melaporkan transaksi yang mencurigakan. Pertama, perbankan masih takut melaporkan transaksi yang mencurigakan yang melibatkan orang-orang penting seperti pejabat atau politisi. Kedua, adanya kultur bangsa Indonesia yang belum menjunjung tinggi kejujuran. Ketiga, perbankan khawatir akan ditinggalkan nasabah jika kerap melaporkan adanya transaksi yang mencurigakan.
Mengenai nilai transaksi mencurigakan dan bank yang melapor, Yunus tidak bersedia menjelaskan. Alasan Yunus, karena menurut UU No. 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang, pelapor harus dirahasiakan. Yunus juga mengataakan bahwa potensi pencucian uang yang terjadi di Indonesia sangatlah besar. “Berdasarkan prediksi dari Dana Moneter Internasional (IMF), uang hasil kejahatan bisa mencapai 2%-5% PDB atau sekitar Rp. 150 triliun,” katanya.
Sementara itu, berdasarkan data dari Markas Besar (Mabes) Polri, ada 11 kasus yang telah dilaporkan BI. Perinciannya, empat kasus ternyata hanya transaksi biasa antarbank yang bisa dipertanggungjawabkan, serta empat kasus terkait dengan transaksi ekspor impor dan kini polisi sedang memintaa klarifikasi dari luar negeri. Kemudian, ada juga tiga kasus lainnya yang kini dalam penelusuran dan penelitian. Yunus menambahkan, “Dua dari 11 kasus pencucian uang tersebut diduga terkait dengan terorisme internasional.”
Dari Adrian Waworuntu sampai E. C. W. Neloe
Adapun kasus pencucian uang yang telah divonis dengan jerat pasal pencucian uang, yang paling terkenal tentu saja kasus pembobolan BNI senilai Rp. 1,7 triliun. Para tersangkanya misalnya Adrian Waworuntu, telah divonis hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada akhir tahun 2005 silam.
Begitu juga yang menimpa Dicky Iskandar Dinata, salah satu tersangka dalam kasus pembobolan BNI. Selain dituduh korupsi, ia juga didakwa melakukan pencucian uang. Dalam persidangan yang juga digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada awal Juni 2006 silam, Dicky, Direktur Utama PT. Brokolin Internasional yang menerima kucuran dana sebesar Rp. 49,2 miliar dan US$ 2,99 juta hasil pencairan L/C fiktif PT. Gramarindo Group pada BNI Kebayoran Baru, dituntut hukuman mati.
Kendati begitu, dalam pleidoinya, Dicky menyatakan bahwa dirinya tidak mengetahui asal dana yang ditransfer ke PT. Brocolin International itu. Dengan kata lain, ia mengaku tidak tahu apakah dana yang masuk ke rekening perusahaannya itu adalah hasil transaksi haram atau bukan. “Kasus ini bukan kasus korupsi atau pencucian uang. Ini kasus penipuan informasi asal-usul uang,” ujar Dicky di persidangan.
Kasus besar lainnya adalah kasus yang menimpa mantan Direktur Utama Bank Mandiri, Edward Cornelis William (E. C. W.) Neloe. Setelah lolos dari kasus kredit macet di bank yang dipimpinnya, pria asal Nusa Tenggara Timur itu kembali dijerat kasus lain, yakni kasus pencucian uang (money laundering). Bahkan dalam kasus itu, sejak April 2006 silam, Neloe telah ditetapkan sebagai tersangka.
Menurut Kepala Bidang Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Pol. Bambang Kuncoko, Neloe diperiksa terkait dengan kepemilikan sejumlah dana atas namanya di sebuah bank di Swiss. Hanya saja, Bambang Kuncoko tidak menjelaskan berapa total dana yang disimpan Neloe di negara yang terkenal dengan kerahasiaan banknya itu.
Namun, pada 28 Februari 2006 lalu, Ketua Tim Pemburu Koruptor (TPK) Basrief Arief mengaatakan telah menemukan rekening milik Neloe senilai US$ 5,3 juta, di salah satu bank di Swiss. Untuk mengamankan temuan itu, menurut Basrief, TPK telah bekerja sama dengan otoritas perbankan Swiss untuk memblokir dana tersebut. Pemeriksaan terhadap kasus itu hingga kini masih dilakukan oleh Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Meski berstatus tersangka, menurut Bambang Kuncoko, penyidik belum memutuskan menahan Neloe. Alasannya, selain masih dalam taraf pemeriksaan , selama ini sikap Neloe juga dinilai kooperatif. “Yang bersangkutan [Neloe] bersikap kooperatif selama ini dan penyidik yakin dia tidak akan melarikan diri,” ungkap perwira menengah polisi ini.
Selain dua kasus besar tadi, ada juga kasus rekening perwira polisi yang pernah mencuat pada September 2005. Saat itu, Kepala PPATK melaporkan 15 nama perwira tinggi dan perwira menengah Polri yang memiliki rekening dengan saldo miliaran rupiah di sejumlah bank. Konon, uang yang tersimpan di rekening yang nilainya antaara Rp. 150 miliar hingga Rp. 800 miliar itu berasal dari upeti bisnis haram. Namun, dalam pemeriksaan selanjutnya, yang terbukti rekeningnya dikucuri uang hasil transaksi haram itu hanya menyangkut tiga perwira menengah polisi.
Merambah Bisnis Asuransi
Kendati jumlah transaksinya masih kecil, bisnis asuransi pun tak lepas dari dugaan pencucian uang. Setidaknya begitulah yang diungkapkan oleh Firdaus Djaelani, Direktur Asuransi Ditjen Lembaga Keuangan, beberapa waktu lalu. Menurutnya, pada tahun 2005, ada 20 transaksi mencurigakan yang terjadi di tiga sampai empat perusahaan asuransi jiwa yang dilaporkan ke PPATK. “Memang, yang paling memungkinkan untuk dimanfaatkan menjadi kendaraan (vehicle) bagi para pelaku pencucian uang adalah asuransi jiwa, terutama produk yang mengandung unsur investasi (unit linked),” katanya.
Adapun modus operandinya, menurut Firdaus, misalnya pelaku membeli produk unit linked berjangka 10 tahun senilai Rp. 5 miliar, dimana perbulannya si pelaku tadi diharuskan membayar premi Rp. 10 juta. Namun, belum genap 10 tahun, katakan pada tahun ketiga, seluruh kewajibannya dilunasi. Selanjutnya, pada beberapa bulan berikutnya, nasabah asuransi itu menarik investasinya di unit linked dan memindahkannya ke lembaga perbankan. “Dengan demikan, aliran dan mencurigakan tadi telah berpindah dari perusahaan asuransi ke perbankan,” katanya.
Dengan kondisi seperti itu, pantas saja bila PPATK berupaya memperluas kewenangannya. Kalau tidak, Indonesia akan tetap tercantum sebagai salah satu dari enam negara yang masuk dalam daftar Non-Cooperative Countries & Territories (NCCT) bersama Cook Island, Myanmar, Nauru, Nigeria, dan Filipina. Padahal, kalau kita mau diterima dalam pergaulan internasional, tidak bisa tidak, norma internasional harus diikuti.” Jika kita dinilai kotor, negara lain akan mengisolasi kita,” ujar Kepala PPATK, Yunus Husein. Akibatnya, “Recovery ekonomi kita akan semakin sulit,” katanya lagi.*
Riza Sofyat dan Teguh Usia Imam