Monday, September 18, 2006

Mengincar Rezeki Para TKI

Trust Edisi:49 Thn:04/Keuangan/Hal:32/Tgl: 9/18/2006
Komisi untuk broker naik hampir tiga kali lipat menjadi 40%. KPPU akan memaksa Menakertrans untuk membatalkan surat keputusannya.

Upaya Menakertrans Erman Suparno untuk membenahi program asuransi TKI tampaknya akan berakhir di tengah jalan. Pasalnya, langkah penertiban yang ditempuh, dengan membentuk konsorsium asuransi TKI, dianggap telah melanggar UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Akibatnya, tak bisa ditawar lagi, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) meminta Kepmenakertrans No. 280/MEN/VII/2006 tentang Asuransi Perlindungan TKI segera dicabut.
Menurut Soy Pardede, Ketua Tim Monitoring KPPU, dalam proses seleksi sebenarnya ada dua konsorsium dari 20 perusahaan penyelenggara asuransi TKI. Tanpa alasan yang jelas, Depnakertrans justru hanya menunjuk satu konsorsium. “Penunjukan ini jelas mengandung unsur monopoli dan mengarah ke kartel,” katanya. Jika teguran itu tidak diindahkan, KPPU akan menghentikan kegiatan usaha anggota konsorsium tersebut.
Soy menjelaskan, selain akan mengirimkan surat ke Depnakertrans, ia juga akan menembuskan surat keputusan itu ke Depkeu. “Menkeu kami harap bisa lebih proaktif memfasilitasi dan membina asuransi TKI,” katanya.
Lain penilaian KPPU, lain pula suara Erman. Menurut sang Menteri, proses seleksi perusahaan asuransi TKI telah melalui prosedur dan hukum yang berlaku. “Semua sudah sesuai undang-undang. Tiap tiga bulan, saya akan mengevaluasi konsorsium. Jadi, Oktober nanti saya akan mengevaluasi kualitas dan pelayanan konsorsium itu,” katanya. Dari evaluasi triwulan ini, lanjut Erman, bisa jadi peran konsorsium yang sudah ditunjuk akan diteruskan, dibatalkan, atau dibentuk konsorsium baru lagi.
Terlepas dari polemik itu, bisa dibilang, keputusan KPPU ini menjadi pukulan telak program Menteri Erman. Sebelumnya, beleid ini juga telah ditolak oleh sejumlah asosiasi perusahaan penyedia jasa TKI dan pelaku industri asuransi.
Jika mengedepankan obyektivitas, di balik pembentukan konsorsium itu sebenarnya ada sebuah iktikad baik pemerintah tentang cara melindungi TKI secara optimal. Melalui Kepmen No. 280, Depnaker ingin memastikan bahwa tiap TKI yang diberangkatkan ke luar negeri sudah terdaftar sebagai peserta asuransi. Selain itu, instansi pemerintah ini juga berharap polis asuransi tidak lagi dipegang oleh perusahaan jawatan tenaga kerja Indonesia (PJTKI), melainkan langsung oleh pekerja yang bersangkutan. Lewat cara inilah TKI diharapkan bisa mendapat dana pertanggungan yang lebih besar.
Jadi, dari sudut pandang itu, memang tak ada yang salah dengan langkah yang diayunkan Pak Menteri. Persoalannya, siapa yang menjadi pelaksana megaproyek ini dan bagaimana aturan mainnya? Keputusan menunjuk Jasindo sebagai ketua konsorsium asuransi TKI, dan Grasia Media Utama sebagai pialang, terbukti malah menyisakan masalah yang berkepanjangan. Bahkan, keduanya diduga telah berkolusi dalam menentukan besaran komisi untuk pialang. Kejadiannya sekitar bulan Juni 2006. “Waktu itu mereka menandatangani MoU soal broker fee sebesar 40% dari nilai premi. Jadi, jika ditelisik, MoU itu sudah ada sebelum Kepmen terbit,” kata salah satu pelaku usaha asuransi yang minta dirahasiakan namanya.
Untungnya Tambah Gede
Jika kabar tentang komisi sebesar 40% itu benar adanya, maka yang diperoleh Grasia jelas hampir tiga kali lipat lebih tinggi dibanding broker sebelumnya (Dana Mitra), yang hanya menerima fee sebesar 15%. Padahal, dari sisi kualitas usaha, Grasia bukanlah pialang yang berpengalaman mengurus TKI. “Silakan Anda cek ke asosiasi broker. Grasia itu sebenarnya pialang lama yang baru beroperasi lagi,” kata si empunya cerita.
Melihat kenaikan yang tak biasa itu, tak heran jika muncul persepsi negatif tentang hubungan istimewa yang terjalin antara Jasindo dan Grasia. Dari penuturan anggota konsorsium asuransi TKI yang dibubarkan lebih dulu itu, terungkap bahwa banyak orang Edi Subekti yang mengisi beberapa jabatan penting di Grasia. Presiden Direktur Jasindo itu, konon, menempatkan anak adiknya (kemenakan), yang kini menjadi Duta Besar di Singapura, sebagai salah satu anggota direksi di Grasia. Tak hanya itu, kabarnya sebagian modal awal Grasia juga ditalangi oleh Jasindo.
Sayang, hingga tulisan ini diturunkan, konfirmasi dari Jasindo ataupun Grasia tak kunjung kami peroleh. Surat permohonan wawancara yang difaks ke Jasindo sejak Selasa lalu, juga tak jelas kelanjutannya. Begitu pula nomor seluler milik orang petinggi di perusahaan itu--yang biasanya mudah kami hubungi--tak pernah diangkat.
Sementara itu, Menteri Erman mengaku tidak tahu-menahu soal Grasia. “Saya tidak tahu. Yang jelas saya bukan pemilik atau bagian dari Grasia,” katanya. Ia juga menegaskan bahwa penentuan besaran komisi untuk broker adalah kewenangan konsorsium, bukan pemerintah.
Terlepas dari kontroversi soal Grasia dan Jasindo, yang pasti beleid yang tengah dipermasalahkan KPPU itu punya potensi mendatangkan untung yang cukup besar bagi perusahaan yang mengelolanya. Ketika kegiatan konsorsium asuransi TKI masih dipayungi Kepmen No. 157/MEN/2003, premi yang berhasil dikumpulkan hingga akhir 2005 mencapai Rp 104 miliar. Sementara dana yang dikembalikan kepada TKI hanya sebesar Rp 29 miliar. Perlu dicatat, pencapaian selama dua tahun itu baru mencerminkan 20% dari total TKI yang ada.
Jadi jelas, dengan dilansirnya Kepmen No. 280/MEN/2006, tentu akan lebih banyak lagi untung yang bakal didulang. Tinggal dihitung saja, jumlah TKI yang diberangkatkan dikalikan Rp 400 ribu. Wah.Boks: Yang Dulu juga Sudah EnakSelain menyisakan tanda tanya besar, Kepmen No. 280 itu juga mendapat tentangan dari sejumlah asosiasi. Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa TKI alias Apjati, Hussein Alaydrus, menilai langkah Depnakertrans menyamaratakan besaran premi dan pemusatan program asuransi bagi TKI sebagai tindakan kontraproduktif dan monopolistik. Alasannya, setiap negara tujuan memiliki karakteristik yang berbeda. Bagi negara-negara di Asia Pasifik, kenaikan premi itu sangat memberatkan. Sebab di negara tujuan, mereka sudah diasuransikan oleh para majikan. Makanya, ”Kalau tetap diikutkan program asuransi yang digariskan pemerintah, berarti ada over lapping, ada dobel asuransi,” katanya.
Selain itu, kata Hussein, pihaknya juga meragukan kemampuan konsorsium dalam memberi perlindungan yang maksimum selama TKI berada di luar negeri. “Apa yang bisa mereka kerjakan? Mereka tidak punya networking,” katanya seraya menegaskan bahwa asuransi yang identik dengan prosedur bertele-tele itu bukan perangkat yang tepat untuk melindungi TKI.
Lagi pula, masih kata Hussein, Undang-Undang Asuransi No. 2 Tahun 1992, Pasal 2-4, sudah menjelaskan batas kerja dan ruang lingkup asuransi. “Menurut undang-undang, asuransi kita tidak menyentuh masalah PHK, bantuan hukum, dan penganiayaan serta pelecehan seksual,” tuturnya.
Padahal, empat kategori itu merupakan hal yang paling krusial dalam memberikan perlindungan bagi TKI. “Asuransi tetap dibutuhkan, tapi untuk urusan melindungi keselamatan kerja TKI, kami mendesak pemerintah agar membentuk lembaga perlindungan yang bersifat nonkomersial,” lanjutnya.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Usama, S.T., MM. Direktur PT Aji Ayah Bunda Sejati (salah satu PJTKI) ini merasa lebih cocok dengan pola perlindungan TKI yang terdahulu. “Waktu kerja sama dengan mereka (Asuransi Paramitra), kami merasa cukup puas. Mereka bergerak cepat, dan pencairan klaimnya pun tidak berbelit-belit,” katanya. Soal pemberlakuan Kepmen No. 280, ia mengaku tak banyak tahu. Yang ia dengar, Asuransi Paramitra sudah dibekukan pemerintah.TKI yang Berangkat ke Luar Negeri
Tahun:Jumlah TKI (orang)
2001: 338.992
2002: 480.393
2003: 293.694
2004: 380.690
2005: 474.310
Nurul Kolbi, Pringgo Sanyoto, Syarif Hidayat, dan Teguh Usia Imam