Thursday, July 6, 2006

Dolar No, Rupiah Yes

Trust, No. 38, Tahun IV, 2006, 06-Juli-2006
Kelak, semua transaksi, termasuk pembayaran gaji pegawai asing, mesti menggunakan rupiah. Pemakaian mata uang asing akan dilarang.Kelak, semua transaksi, termasuk pembayaran gaji pegawai asing, mesti menggunakan rupiah. Pemakaian mata uang asing akan dilarang.
Putra berlari-lari kegirangan. Bocah laki-laki tiga tahun bertubuh gendut itu sangat senang mendapat selembar Rp 10 ribuan baru dari ayahnya. Tapi belum juga kaki mungilnya sampai ke warung di sebelah rumah, dia keburu jatuh. Tangisnya pecah. Karena kesal, uang yang ada dalam genggamannya diremas-remas, disobek, dan dilempar ke selokan.
Untuk saat ini bagi Putra dan ayahnya, Ade Hermansyah, hal itu mungkin tak berakibat apa-apa. Tapi kelak perbuatan Ade itu akan berbuah sanksi dari negara. Maklum, dalam Rancangan Undang-Undang tentang Mata Uang yang kini tengah dibahas di DPR disebutkan bahwa tindakan yang membuat mata uang rusak bisa dikenai sanksi.
Nantinya, terang Andi Rahmat, anggota Komisi XI DPR, orang tidak boleh “ngucel-ngucel” alias membuat kusut uang. Menurut Andi, aturan teknis nan unik itu dibuat dengan tujuan untuk mengefisienkan kriteria tentang uang rusak, waktu, siapa, dan cara penggantiannya. Dia menunjuk aturan serupa di Amerika.”Dolar kan juga seperti itu, enggak boleh kucel,” cetusnya.
Sejatinya, latar belakang disusunnya undang-undang baru itu adalah untuk memenuhi kewajiban yang diamanatkan oleh UUD 1945. Di sana disebutkan bahwa mata uang harus ditetapkan dengan undang-undang. Karena itu, tegas Andi, Undang-Undang tentang Mata Uang ini perlu dibuat.
Alasan lainnya, mata uang merupakan salah satu software in the symbol dari kedaulatan negara. Oleh karena itu, napas dari seluruh undang-undang ini adalah usaha untuk memuliakan mata uang rupiah di negerinya sendiri. “Kami,” kata Andi. “Ingin menjadikan mata uang rupiah sebagai raja di negeri sendiri.”
Seperti diketahui, saat ini banyak orang yang bekerja di perusahaan asing dibayar dengan dolar. Misalnya, di Freeport dan Caltex yang membayar gaji karyawannya-khususnya karyawan asing-dengan dolar. “Sekarang hal itu tak dilarang. Tapi kelak itu enggak boleh lagi,” cetus Andi.
Anggota DPR dari fraksi PKS itu memberikan alasan bahwa pelangaran pembayaran gaji dengan mata uang asing akan memberikan manfaat besar, salah satunya memperkuat transaksi. Nilai tukar rupiah, kata Andi, akan menjadi lebih bagus, karena Bank Indonesia tidak perlu lagi belanja dolar. Jadi, tegasnya, “Semua orang yang bekerja dan mencari penghasilan di Indonesia mesti dibayar dengan rupiah.”
Ada beberapa hal penting lain yang akan diatur secara detail dalam undang-undang dimaksud. Diantaranya, mata uang rupiah mesti diakui sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah dalam wilayah negara Indonesia.
Agar Black Market Tidak Tumbuh
Maklum, saat ini ada kecenderungan global yang membuat mata uang itu mudah ditekan dan tidak memiliki arti . Lebih-lebih dalam kondisi ekonomi negara yang sedang carut-marut seperti ini pasar gelap mata uang tumbuh subur. “Lewat undang-undang ini kami berharap black market itu enggak tumbuh,” kata Andi.
Benar bahwa hal itu telah diatur dalam Undang-undang tentang Bank Indonesia. Namun dalam beleid itu black market of money, kata Andi, bukan merupakan hal pokok. Karena itu, menurutnya, dalam Rancangan Undang-Undang tentang Mata Uang hal tersebut lebih dipertegas.
Bukan hanya itu. Rancangan Undang-Undang tentang Mata Uang juga mengatur standar gambar dan keterangan yang ada pada uang. Misalnya, mesti ada tulisan “Uang Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Demikian juga dengan gambar pahlawan mana saja yang bisa digunakan pada uang.
Beleid dimaksud memberikan otoritas pemakaian gambar itu ke Bank Indonesia. Dengan otoritas yang diberikan oleh undang-undang, kata Andi, jangan sampai gugatan pemakaian gambar seperti pada uang pecahan Rp 10 ribu terjadi lagi. Sekadar menyegarkan ingatan, Bank Indonesia pernah digugat di Pengadilan Niaga Jakarta gara-gara menggunakan lukisan Sultan Badaruddin tanpa seizin pembuatnya. Perkara tersebut saat ini masih diperiksa di tingkat kasasi.
Cukup? Belum. Disana juga diatur mengenai dua jenis ancaman hukuman, yakni bersifat sanksi untuk pelanggaran dan pidana untuk kejahatan. Tapi, kata Andi, dalam rancangan undang-undang itu kami menitikberatkan pada kejahatan. Misalnya, setiap orang yang menggunakan fotografi, gambar dan atau menyerupai uang rupiah yang masih berlaku dalam ukuran atau warna apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling sedikit lima tahun atau paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar (Pasal 22).
Selain itu, setiap orang yang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, menyimpan, atau mendistribusikan mesin, peralatan, alat cetak kertas uang dan logam, zat pewarna dan bahan lain yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat uang palsu dipidana dengan pidana penjara paling sedikit lima tahun atau paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 15 miliar (Pasal 21).
Selama ini, kata Andi, tidak ada aturan yang memuat ketentuan kapan dan dimana Bank Indonesia mesti mencetak uang. Jadi, Bank Indonesia itu bisa “seenaknya”. Apalagi hal itu hanya dipertanggungjawabkan dalam kewajiban moneternya tiga bulan sekali ke DPR. Yang jadi masalah, tegasnya, kalau anggota DPR mengasumsikan bahwa uang yang beredar itu sampai tingkat membahayakan ekonomi, dengan cara apa melarang Bank Indonesia karena belum ada undang-undang yang mengatur.
Sementara, di mata Komisaris Jenderal Pol. Zamris Anwar, Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri, rancangan undang-undang itu sangat ditunggu kelahirannya. Beleid itu diharapkan lebih memberikan kepastian hukum dalam proses penyelidikan dan penyidikan untuk kasus pemalsuan uang.
Selama ini, katanya, belum ada aturan-aturan yang bisa memayungi tugas kepolisian dalam mengungkap kasus pemalsuan uang palsu. Ketika mengungkap tindak pidana itu, proses penyidikannya mesti berasal dari laporan masyarakat. “Penyidik kesulitan menangkap pelaku pemalsuan uang karena kejahatan itu masih masuk dalam tindak pidana umum,” katanya.
Mesinpun Wajib Lapor
Jika Dewan Perwakilan Rakyat Baru menyusun rancangan untuk “memuliakan” rupiah, Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu alias Botasupal malah sudah mengambil langkah lebih jauh. Lembaga yang dikepalai oleh Syamsir Siregar itu belum lama ini melansir surat keputusan yang isinya cukup mengejutkan. Pemakaian mesin printer multifungsi (bisa digunakan untuk mencetak, pemindai (scanner), fotokopi, dan faksimile), mesin fotokopi berwarna dan mesin pengganda berwarna lainnya mesti dilakukan atas sepengetahuan Botasupal.
Persisnya, beleid itu menyebutkan bahwa pemakai peranti-peranti itu wajib memiliki izin operasional. Yang dimaksud izin operasional adalah izin untuk menggunakan mesin multifungsi berwarna, fotokopi berwarna, dan mesin-mesin pengganda berwarna lain yang dikeluarkan oleh Botasupal kepada para konsumen mesin.
Hebatnya lagi, pemilik printer “serba-bisa” yang telah memiliki mesin itu sebelum beleid itu dilahirkan-pada April lalu-tetap harus mendaftar. Wajib daftar itu dibatasi hingga Oktober nanti. Sementara, utnuk mesin-mesin baru pendaftarannya dilakukan oleh produsen, importir, dan distributor. Konsumen cukup mengisi daftar semacam kartu garansi. Bahkan pemindahtanganan dan kehilangan atas mesin-mesin itu juga mesti dilaporkan.
Pasal 4 beleid tersebut menyatakan bahwa instansi yang berwenang-Botasupal, Polri, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, dan Ditjen Bea Cukai-akan melakukan pengawasan terhadap produsen atau importir, pemilik pengguna mesin multifungsi berwarna, mesin fotokopi berwarna dan mesin pengganda berwarna lainnya secara berkala dan insidental minimal satu kali setahun.
Lantas bagaimana jika tidak melapor? Jangan main-main. Buat produsen, beleid tersebut sudah menyiapkan sanksi mulai dari peringatan sampai dengan pencabutan izin produksi. Sedangkan mesinnya bisa disita. Tentu saja ancaman pidana siap menjerat jika ketahuan mesin tersebut digunakan untuk mencetak uang palsu.*
Ariyanto, Teguh Usia Imam, dan Budi Supriyantoro

Wednesday, July 5, 2006

MENUNGGU AKSI POLISI CUKAI

Trust, No. 38, Tahun IV,2006, 05-Juli-2006
Kewenangan pejabat bea dan cukai kian besar. Tarif cukai pun akan digenjot sebesar 65%. Pemerintah tutup mata terhadap putusan Mahkamah Agung yang mengharamkan penunjukkan Peruri sebagai satu-satunya pencetak pita cukai.
Kewenangan pejabat bea dan cukai kian besar. Tarif cukai pun akan digenjot sebesar 65%. Pemerintah tutup mata terhadap putusan Mahkamah Agung yang mengharamkan penunjukkan Peruri sebagai satu-satunya pencetak pita cukai.
Keinginan pemerintah meningkatkan pendapatan negara dari cukai agaknya tak bisa ditawar lagi. Menurut draf revisi Undang-Undang tentang Cukai yang Rabu pekan lalu kembali dibahas di DPR, selain menambah kriteria barang kena cukai (ada empat kriteria), bakal perundangan-undangan itu juga menaikkan tarif cukai maksimal 65%.
Guna menggapai target itu, wewenang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pun dibuat semakin kuat. Kelak, selain berhak mengawasi pemakaian cukai, pejabat bea dan cukai juga berwenang melakukan audit cukai terhadap pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, dan pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan.
Dalam melakukan audit tersebut, undang-undang memberikan wewenang kepada pejabat bea dan cukai untuk meminta laporan keuangan, keterangan lisan dari pengusaha dan memasuki bangunan atau ruangan tempat penyimpanan laporan keuangan. Bukan itu saja, tempat usaha barang importir kena cukai, tempat usaha penyalur, hingga tempat penjualan eceran juga bisa dikunci ataupun disegel oleh aparat bea dan cukai.
Sayangnya, dengan kewenangan yang besar itu, undang-undang hanya memerintahkan adanya kode etik bagi pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Selain itu, juga diamanatkan pembentukan Komisi Kode Etik untuk menyelesaikan pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai. Sementara, jika terdapat indikasi tindak pidana di bidang cukai yang menyangkut pegawai Dirjen Bea dan Cukai, Menteri dapat menugaskan unit pemeriksa internal di lingkungan Departemen Keuangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap pegawai guna menemukan bukti permulaan.
Menariknya lagi, pada Pasal 64D dalam draf revisi itu disebutkan bahwa orang yang berjasa dalam menangani pelanggaran di bidang cukai berhak memperoleh premi. Jumlah premi diberikan sebesar 50% dari sanksi administrasi berupa denda dan/atau dari hasil lelang barang kena cukai hasil pelanggaran di bidang cukai.
Cukup? Belum. Draf revisi itu rupanya secara tegas juga mengakui dokumen dalam bentuk data elektronik sebagai alat bukti. Hal itu tertuang dalam Pasal 3A yang berbunyi dokumen cukai dan/atau dokumen pelengkap cukai dalam bentuk data elektronik merupakan alat bukti yang sah menurut undang-undang ini.
Di mata Andi Rahmat, anggota DPR Komisi XI, pemberian premi itu merupakan hal yang wajar. Sepanjang tidak diambil dari pendapatan negara, kata Andi, maka hal itu bisa dilaksanakan. “Hal itu akan merangsang para pegawai untuk membongkar kasus-kasus di lapangan”, tegasnya.Andi juga menerangkan bahwa dia menolak secara keras usulan dikenakannya bea keluar. Dulu, katanya, Bea dan Cukai hanya memungut bea masuk saja. Tetapi, dalam draf revisi baru ini pemerintah mengusulkan supaya ada bea keluar. Menurutnya, hal itu berbahaya karena akan menjadi tarif berganda. “Kalau itu diterapkan”, ujarnya, “Daya saing produk ekonomi Indonesia akan semakin lemah.”
Lebih dari itu, Andi juga melihat bahwa draf revisi tersebut berpotensi memberikan kekuasaan yang besar kepada Menteri Keuangan. Soalnya, banyak sekali ketentuan yang ujung-ujungnya merujuk ke menteri untuk membuat aturan lebih lanjut. “Ada banyak diskresi ke menteri, hal itu akan kami batasi”, tuturnya.
Pita Cukai Tetap Peruri
Kritik terhadap rencana revisi beleid itu juga meluncur dari bibir Ismanu Soemiran, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia. Menurutnya, rencana itu tidak mengacu pada industri yang ada di Indonesia. Tarif cukai maksimum yang sekarang ditetapkan pemerintah adalah 55%, tapi yang berlaku adalah 40%. “Nah, yang 55% saja belum pernah tercapai, kok sekarang mau dinaikkan lagi?” ujar Ismanu. “Kami tidak setuju terhadap rencana itu”, katanya lagi.
PASAL-PASAL KRUSIAL ITU
Pasal 2(1) Barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakterisrik yang: konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; produksi dan/atau pemakaiannya dapat memberikan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara dalam rangka keadilan dan keseimbangan, dikenai cukai berdasarkan undang-undang ini.
Pasal 39
(1) Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan audit cukai terhadap pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, dan pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan.
(1a) Dalam melaksanakan audit cukai sebagaimana dimaksud pada ayat(1), Pejabat Bea dan Cukai berwenang:
a. Meminta laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan dan surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai;
b. Memasuki bangunan serta melakukan pemeriksaan laporan keuangan yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan kegiatan usaha dan/atau tempat-tempat lain yang dianggap penting.
Pasal 40A
(1) Direktur Jenderal karena jabatan atau atas permohonan dari orang yang bersangkutan, dapat membetulkan surat tagihan, surat keputusan keberatan, surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat tagihan yang tidak benar yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung.
Pasal 40B
(1) Direktur Jenderal karena jabatan atau atas permohonan dari orang yang bersangkutan dapat:
a. Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa denda dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan orang yang dikenakan sanksi atau bukan karena kesalahannya;
b. Mengurangkan atau membatalkan surat tagihan yang tidak benar.Pasal 43AOrang yang berkeberatan atas keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) dapat mengajukan banding dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan atau keputusan, setelah kekurangan cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang terutang dibayar.
Pasal 43C
Permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43A atau gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43B, diajukan kepada pengadilan pajak sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur tentang pengadilan pajak.
Pasal 58A1.
Setiap orang yang secara tidak sah mengakses sistem elektronik yang berkaitan dengan pelayanan dan/atau pengawasan di bidang cukai, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).2. Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).*
Ariyanto, Saswitariski, Teguh Usia, dan Ahmad Pahingguan.