Friday, April 6, 2007

KBC ; Mengungkap Jejak Purnomo

Mengungkap Jejak Purnomo


Dirut Pertamina Ari H. Soemarno mengaku sudah menyiapkan dana US$ 261 juta untuk membayar klaim ganti rugi yang diajukan Karaha Bodas Company (KBC). Rakyat harus mencegah rencana tersebut, utamanya karena proyek pembangunan power plant warisan rezim Soeharto itu sarat dengan korupsi. Purnomo Yusgiantoro diduga kuat menjadi aktor utama.

Untuk kesekian kali, rakyat Indonesia harus bersiap menanggung beban berat akibat ulah korup oknum pejabat negara. Yakni, membayar klaim ganti rugi sebesar US$ 261 juta, terkait kasus pembatalan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Karaha Bodas. Kepada pers di Jakarta, awal Januari lalu, Dirut Pertamina Ari H. Soemarno mengaku, dana yang setara dengan Rp 2,34 triliun (kurs US$ 1 = Rp 9.000) itu sudah ia siapkan dalam anggaran perusahaan tahun 2007 ini.

Menurut Ari, pencadangan dana – yang notabene milik rakyat – itu merupakan antisipasi dari kemungkinan terburuk, jika Pertamina kembali knock out dalam pengadilan di Cayman Island. ”Putusan pengadilan Cayman Island diperkirakan keluar pada Maret 2007. Ini upaya perlawanan terakhir agar uang kita tidak diambil begitu saja,” kilahnya.

Meski kemungkinannya sangat kecil, Ari terkesan masih berharap ada ”mukjizat” turun lewat pengadilan Cayman Island – negeri pulau yang menjadi alamat badan hukum Karaha Bodas Company. Yang pasti, upaya membawa kasus KBC ke pengadilan di kawasan belahan barat Karibia ini, merupakan usulan penasihat hukum Pertamina yang asal Singapura. ”Kepada pengadilan Cayman Island, kita katakan bahwa KBC telah melakukan penipuan,” kata Ari, meski menolak merincikan detail gugatannya.

Persoalannya, kalau mau jujur, ada kesan dusta di balik pernyataan Ari Soemarno. Setidaknya, menurut catatan Investigasi, pernyataan bernada ”pasrah” itu kontradiktif dengan pernyataan Ari sebelumnya. Oktober tahun lalu, saat masih baru menjabat dirut Pertamina, Ari sempat keukeuh mempersoalkan kewajiban yang harus dibayar Pertamina terkait gugatan KBC.

Ia bahkan kencang menyampaikan penolakan jika Pertamina harus menanggung sendiri klaim tersebut. Ari berdalih, pembatalan proyek Karaha Bodas tidak dilakukan oleh Pertamina, tapi oleh pemerintah. ”Jadi, harus clear dulu, ini sesungguhnya tanggung jawab siapa? Jangan semua dibebankan ke Pertamina, dong,” cetus Ari, usai rapat kerja dengan Komisi VII DPR, 10 Oktober 2006.

Namun, seiring guliran waktu, sikap Ari tiba-tiba berbalik 180 derajat. Saat dicegat Investigasi, pekan lalu, ia bahkan terkesan menghindar seraya menyebut dirinya hanya mewarisi persoalan masa lalu. ”Kasus KBC itu warisan lama. Saya hanya bertanggung jawab terhadap manajemen Pertamina dan apa yang terjadi di internal Pertamina sekarang,” tangkisnya.

Jika dicermati, sikap ”pasrah” – yang ditandai dengan pernyataan kesediaan membayar klaim KBC – sebenarnya bukan sekali ini mengemuka. Pernyataan yang sama pernah dilontarkan oleh dirut Pertamina semasa masih dijabat Ariffi Nawawi.

Menyusul kemudian, pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, sebelum dipungkasi dengan pernyataan Ari Soemarno tadi.

Pengecualian terjadi saat dirut Pertamina dijabat Widya Purnama. Dialah satu-satunya pejabat yang berani menolak dengan tegas membayar klaim ganti rugi tersebut.
Widya pula orangnya, yang terang-terangan menyebut proyek KBC sarat dengan korupsi. ”Untuk apa membayar ganti rugi proyek yang jelas-jelas sarat dengan korupsi. Proyek itu sudah pasti di-mark up, sudah pasti nipu,” ujarnya. Widya bahkan pernah mengancam mundur dari jabatannya jika dipaksa membayar klaim tersebut.

Tidak cuma itu. Desakan Menteri Negara BUMN Sugiharto, melalui deputinya Roes Aryawijaya, agar Pertamina membayar klaim KBC pun berani ditolaknya. ”Tolong tanyakan ke Pak Sugi, permintaan itu dalam kapasitas beliau sebagai menteri atau pemegang saham (Pertamina)?” kata Widya kepada Roes, dengan nada tinggi. Roes tak berani menjawab hingga kini. Toh, sejarah kemudian mencatat, sikap ”bandel” Widya benar-benar harus ditebus dengan kursi basahnya. Ia dilengserkan.

Pernyataan kesanggupan membayar klaim KBC kembali mencuat, Oktober lalu. Kali ini terlontar dari mulut Menkeu Sri Mulyani. Pernyataan Ibu Menteri merujuk pada putusan Mahkamah Agung AS, yang menolak permintaan pemerintah RI dan Pertamina untuk tidak membayar klaim ganti rugi KBC. ”Kalau tinggal dieksekusi, ya eksekusi saja. Itu kan sudah persoalan lama, jadi dana dan lain-lainnya sudah ada,” tutur Sri, seperti dikutip sejumlah media massa nasional, 5 Oktober 2006.

Seolah mengamini pernyataan Menkeu, Purnomo ikut nimbrung dengan mengatakan: dana milik Pertamina sudah diblokir oleh salah satu bank AS. ”Jadi, kalau banding kita memang ditolak, ya kita harus bayar. Kan dana kita sudah diblokir mereka di bank sana (AS),” ujarnya.

Masalah sumber dana pun riuh menjadi perdebatan. Sebab, menurut Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR RI Hafiz Zawawi, tidak ada anggaran di APBN yang disiapkan untuk membayar klaim KBC. ”Yang ada hanya anggaran untuk biaya di pengadilan arbitrase. Itu adanya di pos anggaran lain-lain APBN 2005,” tuturnya.

Namun, bagi Hafiz, juga pihak-pihak lain yang tahu persis borok di balik kemegahan proyek power plant ini, inti persoalan dalam kasus KBC sesungguhnya bukan terletak pada ada-tidaknya duit atau duit siapa yang akan dipakai untuk membayar klaim tersebut. Melainkan, lebih pada perlu tidaknya pemerintah atau Pertamina membayar klaim KBC.

Kenapa? Seperti pendapat Widya Purnama, untuk sejumlah alasan yang sangat rasional, pemerintah, Pertamina, PLN, bahkan seluruh rakyat Indonesia harus menolak putusan arbitrase internasional maupun kelak jika pengadilan Cayman Island kembali men-smack down Pertamina. Alasan pertama dan terutama, sudah pasti karena proyek KBC benar-benar pekat oleh aroma korupsi.

Sudah begitu, jumlah ganti rugi yang diklaim KBC (US$ 320 juta) juga kelewat besar dan diwarnai dengan tipu muslihat. Pasalnya, merujuk laporan akhir uji tuntas yang dilakukan ELC Electroconsult – lembaga konsultansi dan penaksir independen untuk proyek-proyek energi yang berkedudukan di Milan, Italia – nilai investasi KBC pada saat proyek dihentikan tidak lebih dari US$ 50 juta.

Setelah proyek dihentikan, KBC juga sudah menerima klaim ganti rugi asuransi sebesar US$ 75 juta dari Berry Palmer & Lyle Limited, Loyd’s Brokers, London.

Dus, berdasarkan asas subrograsi, KBC sudah tidak boleh meneruskan tuntutannya kepada Pertamina dan PLN, karena haknya telah beralih kepada Berry Palmer & Lyle.
Menurut ketentuan Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, Centennial Editions (1991-1991): subrogasi adalah pergantian kedudukan seseorang kepada orang lainnya, dalam kaitan klaim yang berdasarkan hukum, permintaan atas hak, sehingga orang yang menggantikan itu mempunyai hak terhadap pihak lain, dalam kaitan dengan utang, klaim dan hak, penggantian atau jaminan.

Namun, dengan penuh tipu muslihat, KBC tetap menggugat Pertamina dan PLN untuk membayar klaim ganti rugi secara tanggung renteng di arbitrase internasional.

Korupsi sejak dari hulu

Sekadar mengkilas balik, Proyek PLTP Karaha Bodas yang berlokasi di Malangbong, dekat Garut, Jawa Barat, adalah salah satu dari 27 proyek power plant yang dirancang di penghujung pemerintahan Soeharto. Proyek-proyek tadi seluruhnya melibatkan orang-orang di lingkaran keluarga maupun kroni Soeharto. Khusus Karaha Bodas, yang melibatkan anak dan menantu mantan Wapres Sudharmono, kapasitas listrik yang dihasilkan direncanakan sebesar 120 megawatt (MW). Terdiri atas 6 unit power plant x 20 MW, dengan jangka waktu konsesi 30 tahun.

Ringkas kisah, dua kontrak kemudian ditandatangani bersamaan pada 28 November 1994. Masing-masing, kontrak operasi bersama (Joint Operation Contract/JOC) antara Pertamina dan KBC, berkaitan dengan pengembangan lapangan panas bumi, dan kontrak penjualan energi (Energy Sales Contract/ESC) antara Pertamina dan KBC selaku penjual, dengan PLN yang akan bertindak sebagai pembeli tenaga listrik yang kelak dihasilkan.

Penandatanganan JOC dan ESC yang dilakukan secara bersamaan, jelas menyimpang dari asas kepatutan. Lazimnya, JOC ditandatangani terlebih dulu. Setelah itu, investor melakukan eksplorasi atau – dalam hal ini – pencarian uap panas bumi. Setelah diketemukan, si investor masih harus membangun fasilitas pengumpulan uap, pemipaan, membangun fasilitas pembangkit tenaga listrik, sekaligus pengujian.

Dalam tahap eksplorasi ini, belum tentu uap panas bumi yang dicari berhasil diketemukan. Bisa jadi, yang keluar malah lumpur sebagaimana yang dialami Lapindo Brantas di Sidoarjo. Dengan kata lain, ESC seharusnya baru dapat ditandatangani setelah KBC membuktikan bahwa pihaknya mampu menghasilkan listrik dan siap menjual listrik itu kepada PLN.

Namun, badai krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak 1997, merusak semua rencana. September 1997, atas tekanan Dana Moneter Internasional (IMF), Presiden Soeharto menerbitkan Keppres Nomor 39 tentang penghentian beberapa proyek pemerintah. Karaha Bodas termasuk di antaranya. Keputusan itu sempat dibatalkan pada November 1997, namun proyek kembali mandek setelah keluarnya Keppres Nomor 5 pada Januari 1998.

Merasa kontrak dilanggar dan diputuskan sepihak, KBC meradang. Mereka menggugat Pertamina melalui pengadilan arbitrase internasional di Jenewa, Swiss, 21 bulan terhitung sejak keputusan penghentian proyek dikeluarkan. Desember 2000, pengadilan arbitrase memenangkan KBC. Pertamina diperintahkan membayar ganti rugi sebesar US$ 261 juta kepada KBC.

Putusan arbitrase itu kemudian diperkuat oleh pengadilan AS, di tingkat distrik, banding, hingga Mahkamah Agung. Ancamannya, jika menolak membayar ganti rugi, aset-aset Pertamina senilai US$ 300 juta di Bank of America dan Bank of New akan dibekukan. Ironisnya, karena memperhitungkan bunga 4 persen per tahun, klaim ganti rugi itu terus membengkak. Angka terakhir diperkirakan US$ 320 juta atau sekitar Rp 2,9 triliun.

So? Jika Presiden SBY serius hendak menegakkan hukum di bumi Indonesia, sekaligus mencegah duit rakyat diembat oknum pejabat, ada senjata pamungkas yang sebenarnya masih bisa digunakan. Yakni, mengusut tuntas dan membongkar hingga ke akar kasus korupsi yang membingkai proyek ini. ”Kalau kita mampu membuktikan kasus ini sarat korupsi, kita bisa meminta Mahkamah Arbitrase menunda atau menganulir putusannya,” ujar Adnan Buyung Nasution, advokat senior yang pernah membela pemerintah, Pertamina dan PLN di persidangan arbitrase.

Memang benar, upaya untuk mengungkap kasus korupsi dalam proyek KBC – yang sahamnya dimiliki Caithness Energy, Florida Power & Light, Tomen Corp, dan PT Sumarah Dayasakti sebagai mitra lokal – pernah dilakukan. Namun, sepanjang 2004-2006 itu, Mabes Polri hanya menetapkan tiga tersangka: Senior Vice President and Director KBC, Robert McKichan; mantan Kepala Divisi Geothermal Pertamina, Priyanto; dan stafnya Syafei Sulaeman.

Fakta pun berbicara, pengembangan penyidikan tidak berlangsung menyeluruh dan sama sekali tidak menyentuh sosok penting yang diduga merupakan pelaku utama yang sebenarnya. Selain Purnomo Yusgiantoro bersama koleganya: Mohammad Bawazeer dan Loedito Setyawan Poerbowasi, juga Robert E. Tucker, penanggung jawab KBC.

Ironisnya, dalam proses hukum selanjutnya, yang diajukan menjadi terdakwa di pengadilan hanya Priyanto dan Syafei Sulaeman, dua pegawai Pertamina berpangkat rendahan. Sedangkan Mr. McKichan buron entah di mana. Dakwaan jaksa pun hanya berkisar pada ketidakbecusan Priyanto dan Syafei dalam mengelola dana proyek KBC (1995-1998) sebesar US$ 93,1 juta, sehingga menguntungkan KBC dan merugikan pemerintah sebesar US$ 43,1 juta – menurut hitungan BPKP.

Jaksa berpendapat, Priyanto tidak mengelola kegiatan eksploitasi dan pengembangan serta operasi dan produksi lapangan panas bumi secara efisien dan efektif. Sedangkan Syafei dianggap tidak melakukan pembinaan dan pengawasan untuk memastikan biaya operasi ditekan serendah mungkin. Alhasil, persidangan berakhir anti-klimaks. Selasa, 24 Januari 2006, kedua terdakwa diputus bebas oleh hakim PN Jakarta Pusat, meskipun jaksa menuntut hukuman sembilan tahun penjara.

Mark up nilai investasi hingga harga listrik

Sejatinya, ada sejumlah temuan penting yang menunjukkan berlangsungnya praktik korupsi dalam proyek PLTP Karaha Bodas. Pertama, terkait dengan mark up dalam nilai investasi KBC, yang kemudian disidangkan dengan terdakwa Priyanto dan Syafei Sulaeman tadi.

Menurut data yang diperoleh Investigasi, klaim KBC bahwa pihaknya telah menggelontorkan dana sebesar US$ 93,1 juta jelas mengandung unsur penggelembungan nilai (mark-up). Waktu itu, dari dana sebesar itu KBC merinci: sebesar US$ 8,3 juta dikeluarkan tahun 1995, lantas US$ 26,4 juta (1996), US$ 48,5 juta (1997), dan US$ 9,9 juta (1998).

Padahal, telah disebut, berdasarkan laporan akhir uji tuntas ELC Electroconsult, nilai investasi KBC sesudah proyek Karaha Bodas dihentikan (1996-1998) tidak lebih dari US$ 50 juta. Rinciannya: untuk biaya exploration well sebesar US$ 30 juta, general fasilities US$ 5 juta, gradient holes US$ 8 juta, dan operating expenses US$ 7 juta.

Dari sini saja, patut dipertanyakan, apa yang menjadi dasar majelis arbitrase internasional dalam menetapkan angka US$ 261 juta – terdiri atas nilai kehilangan investasi (US$ 111,1 juta) dan kehilangan laba (US$ 150 juta) – sebagai klaim yang harus dibayar pemerintah, Pertamina dan PLN. Awam pun akan mengatakan, metodologi penghitungan dan variabel yang digunakan majelis arbitrase sangat tidak proporsional dan merugikan pemerintah Indonesia.

Kedua, terkait dengan mark-up dalam penetapan harga listrik. Di sini, sepak terjang Purnomo – waktu itu penasihat Mentamben Bidang Energi, Ketua Tim Pelaksana Panas Bumi, dan Ketua Tim Negosiasi Listrik Swasta – terlihat sangat dominan. Semula, dalam rancangan ESC yang ditandatangani di Bali oleh KBC-Pertamina dengan PLN, harga listrik ditetapkan US$ 71.58/MWh. Namun dalam ESC yang diberlakukan, jika dihitung secara flat, di-mark up menjadi US$ 72.98/MWh. Harga mark up muncul setelah Purnomo, selaku Ketua Tim Negosiasi Listrik Swasta, menyetujui Finalizing Energy Sales Contract yang diajukan pimpinan KBC – ditandatangani Robert E. Tucker dan Loedito S. Poerbowasi – pada 15 November 1994.

Jika dirunut, harga flat yang lebih tinggi itu merujuk pada perubahan penawaran harga jual listrik yang diajukan KBC. Melalui surat tertanggal 15 November 1994, KBC mengajukan perubahan penawaran harga listrik menjadi: US$ 330.10/kWyr untuk 14 tahun pertama, US$ 165,05/kWyr untuk delapan tahun berikutnya, dan US$ 82.53/kWyr untuk tahun-tahun berikutnya.

Jelasnya, Finalizing Energy Sales Contract yang diajukan sebagai penawaran oleh pimpinan KBC itulah yang kemudian diadopsi mentah-mentah, sekaligus diberlakukan sebagai harga jual listrik dalam ESC (lihat: Dokumen Surat Purnomo). Ini berarti, proses pengambilan keputusan dalam penetapan harga jual listrik yang telah di-mark up dan diberlakukan dalam ESC, hanya ditentukan oleh Purnomo.

Prosedur seperti itu jelas tidak wajar. Seharusnya, kesepakatan Bali yang telah menetapkan harga listrik sebesar US$ 71.58/MWh itu, kemudian diusulkan oleh Dirut PLN kepada Mentamben. Lantas, Mentamben-lah yang memberikan persetujuan terhadap harga jual yang nantinya diberlakukan dalam ESC.

Tindakan mark-up harga jual listrik, tentu saja, berakibat panjang dan memberatkan rakyat. Menurut kalkulasi, bila proyek berjalan selama masa konsesi 30 tahun, negara tentu dirugikan triliunan rupiah. Bahkan, sekalipun proyek Karaha Bodas akhirnya dihentikan, negara tetap masih dirugikan. Pasalnya, dalam melakukan penghitungan ganti rugi untuk rencana pendapatan yang hilang (sebesar US$ 150 juta), Majelis Arbitrase Uncitral jelas-jelas berpedoman pada harga jual listrik yang telah di-mark up.

Yang bikin geregetan, pernah di depan anggota Komisi VII DPR RI, Purnomo membantah terlibat dalam proses pembuatan JOC dan ESC. Termasuk dalam menetapkan harga jual listrik. Padahal, berdasarkan nota dinas yang ditandatanganinya, yang ditujukan kepada Mentamben tertanggal 17 November 1994, Purnomo antara lain menulis, ”negosiasi harga sudah selesai, dipimpin kami sendiri...” (lihat: Dokumen Surat Purnomo).

Dalam dokumen lain, terlihat betapa Purnomo memang berperan dominan dalam menentukan harga jual listrik panas bumi. Maklum, selain menjadi Penasihat Mentamben Bidang Energi dan Ketua Tim Negosiasi Listrik Swasta, Purnomo juga menjabat Ketua Tim Pelaksana Panas Bumi, berdasarkan Keputusan Mentamben Nomor: 501.K/702/M.PE/1994 tanggal 18 April 1994. Dalam melaksanakan tugasnya, Purnomo sepenuhnya dibantu dan menunjuk Roes Aryawijaya selaku Ketua Tim Kecil Pelaksana Panas Bumi.

Sumber Investigasi menambahkan, dalam sebuah kesempatan, mantan dirut PLN Prof. Dr. Zuhal pernah mengatakan, nota kesepahaman (MoU) pengembangan proyek lima lapangan panas bumi (Dieng, Patuha, Karaha Bodas, Wayang Windu, dan Bedugul) tidak pernah dibicarakan dengan PLN. Dengan kata lain, sedari awal dirut PLN tidak pernah dilibatkan dalam proses penentuan tarif.

Selaku pembeli, PLN belum mempunyai ”owners estimate” harga listrik panas bumi, karena seluruh kegiatan penentuan tarif hanya berlangsung di Deptamben (kini Departemen ESDM). Menurut Zuhal, terdapat beberapa ketentuan dalam kontrak yang bersifat timpang dan merugikan PLN. Misalnya, penempatan titik pengukuran (meetering point) yang diletakkan pada sisi bruto. Juga, tanggung jawab penyediaan trafo generator tidak pada HCE, yang lazimnya harus sudah termasuk pada harga yang ditawarkan kontraktor.

Yang lebih fatal lagi, harga jual listrik swasta umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual PLN kepada konsumen (masyarakat). PLN sendiri sebenarnya mampu memenuhi kebutuhan pasokan listrik nasional. Namun, tetap diwajibkan membeli listrik swasta, meski dengan harga mahal dan sudah terjadi over supply.

Dampaknya? PLN harus menanggung beban utang yang besarnya bisa membikin bangkrut perusahaan pelat merah itu. Yakni, Rp 26,4 triliun ketika kurs 1 US$ = Rp 3.000, lalu meningkat tajam menjadi Rp 37,4 triliun, setelah Indonesia dilanda krisis ekonomi dan nilai tukar rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS.

Lebih celaka lagi, upaya ”penyelamatan” ala pemerintah, lazimnya dilakukan dengan cara membebani rakyat. Yakni, menaikkan tarif dasar listrik (TDL) dan menerapkan automatic tariff adjustment (ATA) sebesar 60 persen. Dengan memberlakukan ketentuan ini, harga listrik yang dibayar rakyat otomatis naik 20 persen setiap empat bulan sekali.

Jadi? Terlalu banyak fakta dan data yang sesungguhnya bisa diungkap untuk membongkar korupsi proyek Karaha Bodas, juga kasus-kasus proyek power plant yang lain. Kuncinya memang hanya satu: konsistensi dan keberanian SBY – presiden pertama pilihan rakyat – dalam membongkar kasus-kasus korupsi warisan pendahulunya. Tidak terkecuali, kasus yang melibatkan anak buahnya di kabinet. l

(Tim Investigasi)
Skandal Pajak dan Backing Pejabat

Tindakan culas Karaha Bodas Company (KBC) ternyata juga terekam di ranah perpajakan. Tidak tanggung-tanggung, KBC diketahui telah menunggak pajak, bahkan terlibat dalam kejahatan perpajakan di Indonesia. Padahal, untuk jenis kejahatan ini, aturan hukumnya sangat jelas. Dengan melakukan kejahatan perpajakan, menurut hukum Indonesia dan undang-undang AS, si pemilik KBC yang notabene warga negara AS dapat diburu dengan bantuan Interpol dan FBI.

Namun, sama seperti kasus korupsinya, kejahatan KBC di ranah pajak ini pun belum pasti terungkap, apalagi memberikan keuntungan kepada negara. Padahal, upaya untuk menjerat KBC dari sektor fiskal ini sudah tak kurang dilakukan. Terakhir, sesaat setelah Mahkamah Agung AS mengetukkan palu, awal Oktober lalu, Dirjen Pajak Darmin Nasution langsung berkirim surat ke pengadilan distrik New York, meminta agar aset Pertamina tidak buru-buru dibekukan.

Alasan Darmin sangat terang: KBC belum membayar pajak ke pemerintah Indonesia sebesar Rp 30 miliar dan US$ 254 juta. Jumlah itu merupakan akumulasi utang pajak KBC sejak 1998. Yakni, tunggakan PPN dan PPh badan sebesar 30 persen dari penghasilan senilai US$ 261 juta.

Tidak cuma itu. Menurut hasil investigasi tim pemeriksa pajak, KBC juga terlibat dalam tindak kejahatan perpajakan di Indonesia. Untuk itu, sejak 1998 hingga 2004, sudah berulang kali Ditjen Pajak mengirim surat teguran, surat paksa, hingga penagihan ke KBC. Namun, sang wajib pajak badan usaha tetap ini tak diketahui lagi keberadaannya. Direktur Pemeriksaan Pajak Amri Zaman mengaku, pihaknya tak pernah menemukan orang atau pengurus KBC.

Sejauh ini, PPN yang bisa dihimpun negara praktis hanya didapat dari Loedito S. Poerbowasi sebesar Rp 1,2 miliar. Menantu Sudharmono yang juga salah satu pemegang saham KBC ini, menyetorkan pajak ke pemerintah setelah Ditjen Pajak melakukan upaya ”paksa badan” – dengan menjebloskannya ke LP Cipinang – pada November 2004.

Oleh Ditjen Pajak, Loedito waktu itu diharapkan membantu pemerintah untuk menagih pajak kepada para pemegang saham lainnya. Namun, karena bukan pengendali, ia mengaku tak bisa mendesak KBC untuk melunasi pajaknya. Menurut Amri, pemegang saham lokal memang tak dipedulikan oleh pengendali.

Pengiriman surat ke pengadilan AS itu sendiri, kata Darmin Nasution, merupakan tindakan hukum terakhir yang diambil agar pengadilan di AS mengetahui status pajak KBC. Masalahnya, sejak surat dilayangkan pada Oktober 2006, hingga kini – empat bulan kemudian – pengadilan AS tak kunjung memberikan tanggapan.

Selain via surat, Ditjen Pajak juga sudah meminta bantuan Internal Revenue Services (IRS), semacam kantor pajak di AS, untuk mengejar kewajiban pajak KBC. Namun, dengan alasan KBC berbadan hukum di Cayman Island, IRS mengaku tidak bisa membantu, karena pihaknya tak punya kerja sama perpajakan dengan Cayman Island.

So? Menilik susahnya menjerat pemilik KBC dengan menggunakan peradilan asing, satu-satunya cara untuk menyelamatkan duit rakyat itu praktis hanya tinggal menggunakan hukum Indonesia dan dilakukan di lembaga peradilan Indonesia. Yakni, itu tadi, dengan membongkar habis praktik korupsi yang sejak awal membekap kasus KBC.

Persoalannya, sejarah telanjur tak berpihak kepada rakyat. Meskipun fakta dan data sudah kelewat menumpuk, calon tersangka juga sudah jelas, tetapi selalu ada ganjalan yang membuat pengungkapan kasus korupsi KBC kandas. Ihwal ini, tak kurang dari Adnan Buyung Nasution pernah merasakan sendiri susahnya mendorong pemerintah untuk membongkar kasus korupsi KBC.

Buyung mengaku, saat dirinya tampil membela pemerintah, Pertamina dan PLN dalam persidangan arbitrase, ia sempat kerepotan mencari pejabat atau mantan pejabat yang mau dihadirkan untuk memberikan kesaksian. ”Arbitrase memang hanya mengadili sengketa tentang isi perjanjian. Meski demikian, Abang tetap berusaha menunjukkan ada kasus korupsinya,” kata Buyung.

Akhirnya, hanya Djiteng Marsudi (mantan dirut PLN) yang mau memberikan kesaksian – menceritakan adanya tekanan kuat yang ia hadapi saat menandatangani kontrak. Saksi kunci lain yang diharapkan membantu Buyung adalah Mar’ie Muhammad, mantan Menteri Keuangan. ”Mar’ie waktu itu sudah janji datang. Tapi pada saatnya, dia tidak muncul,” ujarnya.

Usulan membongkar kasus korupsi proyek-proyek power plant (tidak hanya KBC), juga pernah disampaikan Buyung kepada Presiden BJ Habibie. Kala itu, Habibie setuju, bahkan langsung memerintahkan Jaksa Agung (saat itu) Andi Ghalib untuk menindaklanjuti. Hasilnya? Nihil. ”Padahal, kalau Ghalib mau, minimal proses persidangan arbitrasenya bisa ditunda sampai ada keputusan final perkara korupsinya,” ujar si Abang, yang merasa tidak dibantu pejabat untuk membongkar korupsi.

Puncaknya, tindakan Buyung menggugat kontrak Paiton lewat PN Jakarta Pusat – dan berhasil dimenangkan – akhirnya kandas di tangan Presiden Abdurrahman Wahid. Di tingkat pertama, Buyung menang. Namun, saat terjadi pergantian kepemimpinan nasional dari Habibie ke Gus Dur, tanpa setahu Buyung dan kliennya (dirut PLN Satria), perkara tersebut dicabut dari pengadilan. Sejak itu, Buyung menyatakan keluar sebagai pembela pemerintah.

Jadi? Di mata lelaki berambut perak ini, persoalan KBC sejatinya sudah sangat jelas. Sulitnya membawa kasus ini – juga kasus-kasus sejenis – ke pengadilan korupsi, tak lepas dari adu kepentingan di level pejabat. ”Asal tahu, sekarang ini sedang ada pertarungan antara pihak yang mendorong pemerintah untuk membayar klaim KBC dan yang berpendapat sebaliknya,” katanya.

Pelengseran Widya Purnama dari kursi dirut Pertamina adalah contoh kuatnya adu kepentingan itu. ”Pencopotan Widya membuktikan, memang ada kekuatan di pemerintah kita sendiri yang berkomplot agar klaim ini cepat dibayar.” Kepentingan komplotan ini mudah dibaca. ”Kalau kalaim itu dibayar, mereka akan dapat back commission. Saya yakin, mereka pasti dapat. Pejabat ikut main, brokernya juga calo semua,” tegas Buyung. Nah! l

(Tim Investigasi)

KBC ; Analisa Berita

Delapan Keganjilan Itu

Kekalahan Pertamina dalam persidangan arbitrase internasional Uncitral, diwarnai beraneka keganjilan. Mulai dari masalah teknis seputar persidangan, korupsi, hingga ”kecerobohan” Pertamina maupun pemerintah sendiri dalam melakukan deal kerja sama dengan KBC. Investigasi menghimpun setidaknya ada delapan keganjilan di balik kekalahan Pertamina melawan KBC.


Pertama, setelah KBC menyampaikan pemberitahuan gugatan arbitrase, Pertamina tidak segera menunjuk arbiter yang dikehendakinya. Akibatnya, sesudah lewat jangka waktu 30 hari – berdasarkan ketentuan Pasal 13.2 Joint Operation Contract (JOC) – penunjukan arbiter dilakukan oleh Sekretaris Jenderal ICSID (International Centre for Settlement of Investment Disputes) tanpa membutuhkan persetujuan para pihak yang bersengketa.

Seperti diketahui, berdasarkan ketentuan Pasal 8 Energy Sales Contract (ESC), Pertamina dan KBC berhak menunjuk masing-masing 1 (satu) arbiter. Para arbiter tersebut lalu menunjuk arbiter ketiga, sebagai chairman. Ini sesuai dengan Konvensi New York 1958, Pasal V (1) (d), ”susunan arbiter harus menurut prosedur yang telah disetujui oleh para pihak dalam klausul arbitrase.”

Tidak digunakannya kesempatan berjangka waktu 30 hari untuk mengangkat arbiter yang dipilihnya, menyebabkan Pertamina dan PLN tidak memiliki arbiter yang dipercaya dapat bertindak adil, obyektif, dan menguasai ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam kenyataan, arbiter yang duduk di majelis arbitrase memang berpihak kepada KBC, sehingga hasil putusannya sangat merugikan Pertamina dan PLN.

Kedua, pada preliminary award, Majelis Arbritase Uncitral telah menyatakan bahwa tindakan pemerintah Indonesia menerbitkan Keppres No. 39 Tahun 1997 juncto Keppres No. 5 Tahun 1998 bukan merupakan wanprestasi, melainkan force majeure, sehingga membebaskan kewajiban pemerintah. Anehnya, ketika sidang dibuka kembali, majelis arbitrase dengan tegas menyatakan: Pertamina dan PLN telah wanprestasi.

Pernyataan ini telah ”menjungkirbalikkan” akal sehat orang yang awam hukum sekalipun. Lebih aneh lagi, pihak Pertamina sama sekali tidak memberikan pernyataan berkeberatan. Padahal, sikap penolakan tegas dapat disampaikan Pertamina ketika persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan.

Yang harus dipahami, dalam kasus ini Pertamina dan PLN dikualifikasi sebagai pihak yang mengalami ketidakmampuan secara hukum (incapacity). Mereka harus tunduk dan patuh terhadap keputusan pemerintah yang menangguhkan Proyek Karaha Bodas melalui Keppres No. 5/1998. Menurut ketentuan hukum Indonesia, Keppres tersebut merupakan tindakan publik yang dibenarkan, bahkan memiliki kapasitas dan legitimasi sebagai peraturan perundang-undangan yang berlaku sah. Terlebih, hal itu diputuskan berdasarkan rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF), dengan tujuan mengamankan kesinambungan perekonomian nasional.

Dengan demikian, menurut ketentuan hukum Indonesia, peristiwa ini dikualifikasi sebagai force majeure yang membebaskan Pertamina dan PLN dari kewajiban membayar penggantian biaya kerugian. JOC dan ESC yang telah ditandatangani pun menjadi tidak dapat dijalankan dan dilaksanakan (null and void inoperative or incapable of being performed).

Ketiga, Pertamina tidak melakukan bantahan, protes, dan penolakan meski mengetahui majelis arbitrase telah melakukan kesalahan mendasar, yakni: melakukan penggabungan perkara tanpa persetujuan atau di luar kewenangan yang diberikan oleh para pihak. Antara JOC yang dilakukan KBC dengan Pertamina, dengan ESC yang ditandatangani KBC-Pertamina dengan PLN, secara kontraktual berbeda dan mempunyai kepentingan yang berlainan.

PLN, selaku pihak Turut Tergugat, posisinya adalah pembeli listrik, sedangkan KBC selaku Penggugat adalah penjual listrik yang berada satu wadah dan berperan serta terkait erat dengan Pertamina selaku Tergugat. Karena kegiatan KBC selaku
Penggugat baru pada tahapan eksplorasi dan belum menghasilkan energi listrik (apalagi sudah menjualnya), maka perkara yang terjadi sebenarnya belum masuk wilayah perselisihan penyediaan tenaga listrik. Dus, tidak punya korelasi perselisihan hukum dengan PLN, apalagi menempatkannya sebagai pihak yang Turut Tergugat, bahkan diputuskan ikut membayar ganti rugi secara tanggung renteng.

Perselisihan baru pada lingkup hukum perjanjian JOC, yang hanya melibatkan KBC dan Pertamina sebagai para pihak. Kewajiban PLN untuk mengambil tenaga listrik masih sangat jauh, sehingga tidak masuk akal bila diputuskan melakukan kewajiban kontraktual membeli listrik.

Ketika Proyek PLTP Karaha Bodas dihentikan, KBC baru mencapai tahap eksplorasi atau pencarian uap panas bumi. Setelah diketemukan, KBC masih harus membangun fasilitas pengumpulan uap, pemipaan, pencarian dana pembangunan fasilitas pembangkit listrik sekaligus pengujiannya. Semua itu dilakukan dengan memakan waktu biaya dan risiko.

Berdasarkan Pasal 4.3 ESC, KBC wajib menyiapkan dana sedikitnya US$ 500 juta (project financing). Dana tersebut dapat berupa pinjaman (borrowing money) dari bank atau modal sendiri (equity). Dalam konteks ini, KBC sesungguhnya justru dapat dikualifikasi telah melakukan akal-akalan. Pasalnya, berdasarkan bukti surat KBC tanggal 10 Februari 1998, KBC menyatakan tidak bisa memperoleh pembiayaan proyek. Jelasnya, KBC sebenarnya telah sadar proyek tersebut tidak akan mampu diselesaikannya. KBC juga paham, tidak ada dasar untuk meminta PLN membayar tenaga listrik yang memang tidak pernah disediakan.

Keempat, Pertamina dan kuasa hukumnya membiarkan dan tidak mengingatkan, ketika majelis arbitrase menjalankan proses persidangan dengan tidak berdasarkan ketentuan yang sudah disepakati para pihak. Pasal 20 JOC dan Pasal 12.1 ESC menyebut secara tegas, perjanjian ini tunduk pada hukum dan peraturan pemerintah Republik Indonesia. Namun dalam kenyataan, majelis arbitrase telah mengesampingkan sekaligus melanggar ketentuan hukum Indonesia. Bahkan, bertindak di luar batas kewenangan yang dimiliki (eceed its powers).

Seperti di negara-negara lain, hukum di Indonesia mengatur pula perihal pemerolehan kembali atas laba yang hilang (lucrum cessans) sebagai bagian dari ganti rugi terhadap pihak yang tidak bersalah. Juga, dalam hal pelanggaran kontrak yang tidak dapat diampuni, selain kerugian yang dikenal sebagai damnun emergens. Namun dalam penerapannya, hukum Indonesia dibatasi oleh apa yang disebut sebagai ”kerugian yang dapat diperhitungkan sejak semula (foresseable)”. Jelasnya, suatu pembayaran ganti rugi harus didasarkan atas bukti-bukti kerugian yang nyata.

Ironisnya, persidangan arbitrase internasional Uncitral nyata-nyata berlangsung tidak berdasarkan kebenaran dan kepatutan (ex aequa et bono), sebagaimana prinsip yang seharusnya dianut. Juga, tidak dibuktikan terlebih dahulu sesuai dengan ketentuan Pasal 1865 KUH Perdata dan Pasal 163 HIR, serta mempertimbangkan aspek kewajaran (appropriateness). Hanya karena alasan telah wanprestasi, Majelis Arbitrase Uncitral menghilangkan hak Pertamina dan PLN untuk menanyakan kewajaran nilai klaim ganti rugi KBC.

Ini menunjukkan, kualitas pertimbangan Majelis Arbitrase Uncitral pada putusan ganti rugi terhadap rencana pendapatan yang hilang (lost profit) bersifat meraba-raba, sangat spekulatif dan fiktif, karena tidak didahului dengan membuktikan adanya kerugian secara riil. Singkatnya, hanya mendasarkan pada perkiraan dan pertimbangan yang kelewat prematur, sehingga cenderung menyederhanakan persoalan.

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI dalam putusan nomor: 525K/SEP/1973 tanggal 17 Oktober 1973 menyatakan: ”...suatu perkara ganti rugi karena perjanjian yang tidak terpenuhi, majelis hakim agung telah menolak tuntutan keuntungan yang seharusnya diperoleh (lost profit). Dengan pertimbangan, keuntungan tersebut belum dapat dipastikan, karena dalam perjalanan usaha selalu ada kemungkinan orang menderita kerugian, meskipun berdasarkan perkiraan semula akan mendapat untung.”

Jadi? Sangat jelas, penentuan besarnya keuntungan yang bakal diperoleh KBC – seandainya proyek selesai – sangat spekulatif. Tidak berdasar fakta dan bertentangan dengan prinsip yang dianut dalam sistem hukum Indonesia. Dengan kata lain, perhitungan ganti rugi biaya dan keuntungan yang dilakukan KBC hanya didasarkan pada asumsi spekulatif atau akal-akalan yang menjurus pada tipu muslihat.

Kelima, Pertamina dan PLN pernah mengajukan permohonan untuk membatalkan putusan arbitrase di Swiss Federal Supreme Court. Namun tidak berhasil, bahkan memalukan, karena hanya lantaran faktor: tidak membayar biaya pemeriksaan pada waktunya, Swiss Federal Supreme Court akhirnya menolak permohonan tersebut.
Keenam, dalam argumentasi pembelaan dan penolakan atas gugatan KBC, Pertamina tidak pernah memakai dan menekankan adanya unsur tindak pidana korupsi, manipulasi pajak, dan mark-up investasi dalam Proyek KBC. Padahal, secara universal korupsi merupakan ”simbol” paling radikal dari perilaku yang memiliki itikad tidak baik.

Sekurang-kurangnya, Pertamina dapat meminta penundaan waktu untuk melakukan legal due dilligence. Uji tuntas hukum ini meliputi aspek finansial, untuk mengetahui nilai nyata investasi KBC sesudah proyek dihentikan, dan aspek teknis, berkaitan dengan jumlah kandungan energi, nilai keekonomian, dan sebagainya. Legal due dilligence seharusnya bahkan sudah dilakukan Pertamina menjelang proyek dihentikan.

Sedikit kilas balik, pembelaan Pertamina pada intinya terdiri atas tiga bagian. Pertama, menyatakan, KBC tidak berhak menerima ganti rugi – tetapi hal itu dinyatakan tanpa kualitas argumentasi yang memadai. Kedua, menyatakan, ganti rugi harus dikurangi US$ 32,2 juta karena KBC melakukan inefisiensi. Ketiga, minta agar pembayaran ganti rugi dilakukan dalam bentuk rupiah, sesuai nilai tukar saat biaya dikeluarkan.

Bantahan pembelaan Pertamina, selaku Tergugat, justru malah menguntungkan posisi hukum Penggugat, sekaligus memudahkan majelis arbitrase memenangkan gugatan KBC. Pasalnya, Pertamina hanya mengkualifikasi dan mendalilkan, KBC telah mengeluarkan ongkos sebesar US$ 32,2 juta dengan sia-sia, karena tidak tepat dan tidak efisien dalam melakukan eksplorasi.

Melengkapi argumentasinya, Pertamina – merujuk laporan ahli – menyatakan: selama dua tahun KBC berkonsentrasi melakukan eksplorasi di Utara Karaha, tapi tidak produktif dan tidak mendapat manfaat apa-apa. Padahal, apabila program penelitian geologi yang mengukur kadar konduktifitas listrik pada batu itu tidak dilakukan, sesungguhnya jutaan dolar AS dapat dihemat.

Pertamina juga menyatakan, KBC telah salah memilih daerah proyek, yakni: daerah kawah di Telaga Bodas yang disinyalir mengandung zat-zat kimia. Adanya kandungan itu membuat daerah tersebut tidak aman untuk pengolahan sumber panas bumi. Sedangkan dari segi komersialisasi, usaha pembangunan tersebut tidak praktis.

Ketujuh, klaim KBC atas kehilangan laba sebesar US$ 512,5 juta dan diputuskan lembaga arbitrase internasional sebesar US$ 150 juta, selain mengacu pada harga jual listrik yang sudah di mark-up, juga bertolak dari estimasi kandungan energi yang secara materiil diragukan kebenarannya, yakni 210 MW. Klaim tersebut semata-mata mendasarkan pada NORC, yang diperbaharui tanggal 16 Desember 1977, dan ditelan mentah-mentah oleh forum arbitrase internasional.

Mengacu pada hasil due dilligence, bila dilakukan pengembangan, cadangan energi yang ada di Karaha Bodas maksimum hanya 120 MW. Bahkan, realitas di lapangan sampai hari ini hanya 30 MW. (Perihal jumlah kandungan energi yang sebenarnya tersedia dapat dipelajari dari hasil laporan final uji tuntas yang dilakukan ELC Electroconsult).

Kedelapan, kelemahan pemerintah ternyata sudah terjadi sejak proses pembuatan dan penandatanganan perjanjian. Berdasarkan JOC maupun ESC, Pertamina tidak memiliki hak untuk menyatakan keberatan dan menolak keinginan KBC membangun energi panas bumi dengan jumlah yang dinyatakan dalam NORC dan NOID. Pertamina hanya diperkenankan ”secara teknis mengevaluasi” energi panas bumi di bawah NORC, sekadar untuk ”bahan” diskusi mengenai ketepatan data teknis kandungan energi. Celakanya, kesempatan ini pun ternyata tidak dilakukan oleh Pertamina.

Mencermati delapan keganjilan di atas, wajar bila kemudian timbul dugaan: telah terjadi ”persekongkolan jahat” di balik kekalahan Pertamina pada persidangan arbitrase internasional Uncitral, dengan tujuan membobol uang negara ratusan juta dolar yang melibatkan oknum pejabat pemerintah Indonesia. l
(ES)

KBC, Wawancara I

DR. Adnan Buyung Nasution, SH

Bongkar Terus Korupsinya


Menghadapi gugatan KBC di lembaga arbitrase Uncitral, Pertamina dan PLN menunjuk pengacara kondang DR. Adnan Buyung Nasution, SH sebagai pembela. Beberapa kalangan menilai kerja tim pengacara tersebut tidak maksimal. Tetapi benarkah demikian? Berikut wawancara dengan DR. Adnan Buyung Nasution, SH di Bisnis Center Hotel Aryaduta, beberapa waktu lalu.

Dalam kesempatan tersebut Abang, begitu panggilan akrab Adnan Buyung bercerita blak-blakan mengenai KBC dan behind the scene-nya:

Bagaimana ceritanya Abang bisa menjadi kuasa hukum Pertamina?
Pertama, ingin Abang sampaikan penghargaan atas perhatian kalian terhadap kasus KBC. Kasus ini memang sangat memberatkan rakyat jika dilihat dari besarnya uang yang harus dibayar pemerintah. Selain KBC, ada 26 kontrak power plant yang betul-betul merugikan negara.

Kenapa merugikan? Karena kontrak itu semuanya dibuat dengan berbagai kejanggalan, kesalahan, bahkan penuh dengan aroma KKN. Dengan alasan itulah kenapa Abang mau membela dan menjadi kuasa hukum Pertamina dan PLN menghadapi KBC di arbitrase internasional pada November 1998, tujuh bulan setelah KBC mendaftarkan gugatan arbitrase ke Uncitral. Apa yang terjadi sebelumnya, Abang tidak tahu.

Prosesnya, 30 hari setelah notes, dibentuklah majelis arbitase di mana masing-masing pihak mempunyai kesempatan untuk menunjuk arbiternya. Sayangnya, pemerintah RI tidak menggunakan hak tersebut sesuai aturan hukum internasional Uncitral. Maka ditunjuklah Mr. Ahmed Al Khoseri dari Mesir. Praktis, kita sudah nggak bisa apa-apa, karena kita tidak bisa menunjuk arbiter kita sendiri.

Mengapa dalam jangka waktu tujuh bulan itu sama sekali tidak ada tindakan apa pun dari pemerintah RI yang akhirnya berakibat ditunjuknya arbiter asing yang notabene tidak terlalu paham hukum kita. Adakah itu kesengajaan?
Kalau itu, no comment-lah. Tapi nanti after all kalian bisa mengambil kesimpulan ketika Abang cerita soal lain. Abang akan ceritakan kendala-kendalanya membela kepentingan pemerintah di arbitrase ini. Pertama, peradilan arbitrase itu sifatnya tertutup. Lain dengan misalnya pengadilan biasa, yang boleh dibuka untuk umum materinya. Alasan rasionalnya, kalau orang nggak mau berperkara di pengadilan negeri, maka dia bisa memilih ke arbitrase. Itu akan selesai dengan bagus, dan nggak ada yang dipermalukan di kemudian hari. Reasoning dipilihnya pengadilan arbitrase memang untuk menghindari proses peradilan yang terbuka. Karena prinsip itu lah Abang nggak boleh buka mulut masalah proses dan substansi atau proses arbitrasenya.

Kedua, sebagai lawyer profesional, Abang punya kode etik. Kalau Abang ngomong isi perut bagaimana persidangan itu, nanti Abang akan dituntut oleh pihak lawan. Itu memang diatur. Boleh materinya dibuka, asalkan ada izin dari kedua belah pihak yang berperkara. Dalam hal ini pemerintah RI, Pertamina, PLN dan KBC sebagai lawannya. (Pasal 32 Ayat 5 Uncitral). Ini yang membuat Abang nggak bisa ngomong masalah materi dan substansi persidangan di Uncitral. Termasuk, bagaimana jawab menjawabnya, bagaimana proses pemeriksaan saksinya, dan proses-proses formal lainnya.

Lalu, apa yang bisa diceritakan kepada publik kalau pernyataan Abang nggak bisa dikutip?
Okelah, kita bicara kondisi umumnya dulu. Waktu itu, kedudukan kita di mata majelis arbitrase itu sangat terjepit. Kenapa? Semua kontrak yang dibuat itu bermasalah semua. Bukan hanya KBC saja, tetapi juga kontrak-kontrak yang lain. Paiton, Patuha dll, semua ada 27 proyek, sarat dengan KKN.

Dari situ, strategi Abang adalah mengupayakan pembongkaran kasus korupsinya dulu. Dalam hal materi pemeriksaan di arbitrase, kita kan sudah kalah separo nih, karena arbitrase hanya mengadili masalah kontraknya. Bagi arbitrase, contract is contract. Arbitrase nggak peduli hal lain, selain kontrak itu sendiri.

Salah seorang saksi yang Abang pakai waktu itu mengatakan, ”Saya sebenarnya tidak setuju dengan isi kontrak itu, tetapi saya harus teken. Kalau saya tolak, itu namanya bunuh diri”.

Jadi?
Ibarat seorang pendekar, Abang ini disuruh perang di ruang gelap tanpa tahu siapa musuhnya dan siapa kawannya, bahkan kemudian ditusuk dari belakang.

Jujur saja, Abang waktu itu minta mati-matian kepada pemerintah Habibie supaya membongkar korupsinya. Juga tentang pembuatan kontraknya. Habibie setuju, lalu memerintahkan Ghalib sebagai jaksa agung supaya membongkar korupsinya. Waktu itu Ghalib setuju, maka dirapatkanlah masalah itu oleh tujuh menteri.

Ketujuh menteri tersebut ditunjuk oleh presiden untuk membantu dan memberikan segala informasi dan masukan yang diperlukan oleh Abang sebagai ketua tim pembela pemerintah. Menteri-menteri itu, termasuk Hartarto, siap membantu. Ghalib pun bilang siap dan mengatakan: besok akan kirim lawyer terbaiknya untuk menemui Abang untuk memeriksa. Namun, bahkan sampai sekarang, apa yang dijanjikan oleh Ghalib nggak pernah terwujud. Ini yang membuat kasus korupsinya nggak bisa terbongkar. Padahal, itu merupakan strategi utama Abang.

Setelah Abang melihat jalannya proses persidangan, Abang sampai pada kesimpulan, ini memang nggak bisa. Bagaimana pun, ruang gerak Abang sudah sangat terbatas. Lalu, Abang bicara dengan Prof. Priyatna, Ketua BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia). Dia pun menyarankan agar korupsinya dibongkar. Kenapa kita menempuh strategi dengan membongkar korupsinya?

Dengan jaksa agung yang berani membongkar korupsinya, menangkap serta memeriksa semua yang terlibat, lalu proses hukumnya dijalankan, maka dengan bahan itu kita bisa minta bantuan kepada Jaksa Agung Amerika, supaya membongkar juga di pihak Amerikanya. Membongkar berdasarkan UU Foreign Anti-Corrupt Act (UU Anti-Korupsi Asing) yang berlaku di Amerika. UU tersebut mengatur perusahaan Amerika yang melakukan korupsi di luar negeri.

Kalau langkah pembongkaran korupsinya bisa berjalan dengan baik di Indonesia maupun di Amerika, hasilnya bisa kita ajukan ke mahkamah arbitrase. ”Nih, ada perkara korupsi dalam kasus KBC.” Berdasarkan fakta tersebut, kita bisa meminta proses arbitrasenya distop. Kalau pun tidak bisa distop, minimal perkara arbitrasenya ditunda sampai perkara korupsinya jelas dulu. Pemberantasan korupsi adalah jurus pamungkas yang bisa memenangkan kita di arbitrase.

Seandainya Ghalib waktu itu mau membuka kasus korupsinya, seberapa jauh efeknya terhadap peradilan arbitrase?
Oh, besar sekali. Paling tidak, arbitrasenya bisa ditunda proses persidangannya sampai ada keputusan final perkara korupsinya. Dan, satu lagi, yang namanya perjanjian yang didasari oleh perbuatan melawan hukum, maka (perjanjian) itu harus batal demi hukum. Sehingga, klausul arbitrase juga otomatis batal demi hukum.

Itulah mengapa, Abang memaksa menggugat perjanjian tersebut di PN Jakarta Pusat. Dan, itu bukan hanya untuk kasus KBC, lho. Sebenarnya, bila dulu tidak dicabut, bukan hanya kasus KBC saja yang mempunyai back up kuat, tetapi juga Dieng Patuha, Paiton dan semua kontrak power plant lainnya. Ini akan menguntungkan posisi pemerintah. Belum lagi kalau diplomasi luar negeri kita bagus, dengan mengadili KBC di sini kita juga bisa mendesak jaksa agung Amerika dengan bahan yang kita suplai untuk ikut mengusut dugaan persekongkolan, manipulasi dan korupsi yang dilakukan KBC di Indonesia.

Oh ya, bagaimana dengan Purnomo. Apa yang Abang ketahui tentang perannya dalam KBC?
No comment. Kalian sudah tahu dan hanya minta konfirmasi kan? (Tertawa) Jadi, Abang coba buka 27 kasus itu, terutama yang paling berat, Paiton. Dalam pertemuan dengan tujuh menteri tadi, mereka umumnya takut. Tetapi setelah dibujuk-bujuk, yang paling mendukung cuma Kuntoro Mangkusubroto. Satu-satunya menteri yang jujur waktu itu, menurut saya.

Belakangan, setelah semua menteri setuju, Hartarto sebagai ketua tim bilang, “Bang, soal ini nggak bisa kita putusin sendiri. Mesti dibawa ke presiden.” Jadi, berangkatlah kita ke Habibie, minta izin dari dia untuk membongkar korupsi pada kontrak-kontrak itu dengan cara membuat kasunya bisa diadili di PN Jakarta. Dari situ, Abang gugatlah kontrak-kontrak itu di PN Jakarta Pusat. Dunia internasional geger, perkara Paiton digugat di Jakarta. Saya pikir, strategi ini tepat.

Di tingkat pertama kasus itu, kita menang. Waktu itu, tergugat mendalilkan bahwa PN Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili kasus ini, karena ada klausul arbitrase. Abang tahu itu. Lalu, Abang bilang, yang dipersoalkan bukan masalah isi perjanjiannya. Itu memang kewenangan arbitrase. Abang hanya menyoroti perkara bagaimana proses terbentuknya kontrak yang sarat dengan korupsi. Alasan itu diterima hakim. Eksepsi lawan ditolak oleh PN. Tambah geger, karena Paiton kalah.

Tiba-tiba, ketika terjadi pergantian kepemimpinan dari Habibie ke Gus Dur. tanpa setahu Abang dan klien Abang si Satria (dirut PLN), perkara itu dicabut dari pengadilan. Abang kan kaget. Abang datengi Gus Dur, ”Kenapa dicabut, Gus?” Gus Dur waktu itu bilang, “Bang Buyung jangan marah-marahin saya dong. Itu si Kwik Kian Gie dan Laksamana yang cabut.” Setelah kejadian itu, Abang lalu menyatakan keluar sebagai pembela pemerintah. Sebelumnya, Satria juga sudah memilih mundur sebagai dirut PLN. Jadi, the end-nya begitu. Tragis memang. Kita mau bongkar, akhirnya malah kita yang dikorbankan. Dicabut perkaranya. Waktu itu, hakimnya sampai nangis. Kenapa? Nyabutnya juga bukan dicabut, tetapi perkarnya diminta oleh MA.

Masalahnya, di luar justu berkembang rumor, dalam kasus ini Abang tidak maksimal melakukan pembelaan?
Itu yang justru Abang mau bilang. Jangan sampai kalian masuk perangkap orang-orang yang memaksakan tuntutan bahwa pemerintah RI harus bayar. Salah satunya dengan cara memojokan Abang.

Sekarang ini kan lagi ada pertarungan. Dan, Abang berada di pihak orang yang bilang ”jangan bayar”. Salah satu pejabat yang berkeras nggak mau bayar adalah Widya Purnomo. Dia sudah ketemu Abang. Akhirnya, apa yang terjadi pada Widya? Dia digeser kan? Karena sebenarnya, memang ada kekuatan di dalam pemerintah kita sendiri yang berkomplot agar ini cepat dibayar. Kenapa? Mereka memang berkepentingan. Kalau jadi klaim itu dibayar US$ 320 juta, mereka akan dapat back commission. Berapa nilainya, Abang nggak tahu. Tapi Abang yakin, mereka pasti dapat. Mulai dari yang berperan sebagai konsultan, pemegang saham, dan banyak lagi. Pejabat ikut main. Belum lagi, para brokernya calo. Mereka semua dapat. Jadi, sekali lagi, dalam hal ini Abang bilang “jangan bayar”. Abang menolak, dan ayo bongkar terus korupsinya.

Selain itu, keliru kalau dibilang Abang tidak maksimal. Salah satu upaya nyata Abang adalah kita berhasil menurunkan klaim sampai US$ 261 juta dari kurang lebih US$ 600-an juta.

Kita juga berhasil mementahkan pendapat mereka tentang “deemed dipatc” dan “unjust enrichment”. Hal itu bisa kita mentahkan, karena tidak dikenal dalam hukum Indonesia. Masak gara-gara kita membatalkan proyeknya, lantas dituduh memperkaya diri sendiri. Itu kan nggak masuk akal menurut hukum kita. Dan, nilainya besar sekali. Totally, dari US$ 671 juta, mereka hanya dapat US$ 261 juta. KBC menggugat kita sebanyak itu karena dalam konsep hukum mereka (Anglo Saxon), lost potential profit itu bisa dimintakan ganti rugi. Di hukum kita, yang bisa dimintakan ganti rugi kan hanya kerugian konkret. Dan dalil yang Abang sampaikan itu diterima oleh majelis. Kita juga bisa mentahkan lebih dari US$ 400 juta klaim yang tak berdasar itu.

Seandainya kita tetap ngotot tidak mau bayar, apa yang terjadi?
Ancaman mereka itu kan mau menyita aset-aset Pertamina yang ada di luar negeri. PLN nggak punya apa-apa di luar negeri, baik kapal-kapal tanker atau uang. Tetapi sepanjang pengalaman, untuk melakukan itu juga tidak mudah. Buktinya Garuda. Waktu itu Abang juga jadi pembelanya. Mereka mengancam mau menyita, tapi nggak jadi. Kalaupun mereka maksa mau menyita, juga masih bisa kita lawan.

Sebenarnya, itu tinggal butuh political will saja bagaimana pemerintah mendukung Pertamina supaya nggak usah bayar.

Apa mungkin, wong Menkeu dan Dirut Pertamina saja sudah menyatakan siap membayar kok?
Lha itu? kenapa kok pemerintah kita begitu ngotot mau membayar. Padahal ini duit rakyat Indonesia.

Yang perlu jadi catatan, dalam kasus KBC ada tuduhan Abang berkomplot dengan KBC?Asal tahu, Abang sudah berpuluh-puluh tahun jadi pengacara. Tanyakan, apakah ada sifat-sifat Abang yang seperti itu dan bisa dibeli orang asing?

KBC ; Wawancara II

Drg. Mariati Murman Heliarto
SAYA DIKUDETA !
Mungkin tidak ada yang pernah menyangka, orang yang merintis proyek PLTP Karaha Bodas, yang akhirnya berujung pada putusan arbitrase internasional Uncitral dan mewajibkan pemerintah membayar ganti rugi ratusan juta dolar, ternyata seorang ibu.

Realitasnya memang demikian. Sosok tersebut adalah Mariati Murman Heliarto, kini 60 tahun, ibu tiga anak. Ada gelar dokter gigi (drg) di depan namanya. Pada 9 Oktober 1989, ia bersama rekannya Dr. Indah Julianto dan Ir. Sumirin, mendirikan PT Sumarah Dayasakti (PT SDS) yang dikukuhkan berdasarkan akta No. 36, yang dibuat Kantor Notaris Maria Theresia Budisantoso, SH. Dengan menggunakan bendera PT SDS, istri ahli bedah Murman ini lalu terjun ke kancah bisnis pertambangan. Untuk Proyek Karaha Bodas, pada 1989, ia menunjuk Purnomo Yusgiantoro sebagai konsultan.

Perempuan tua ini pula yang dulu berhasil mendatangkan investor Caithness ke Indonesia, kemudian bermitra dengan PT SDS dan membentuk PT Karaha Bodas Company, L.L.C, dengan komposisi saham 90% Caithness dan 10% PT SDS.

Pada awal 1990, Mariati bergabung dengan Tantyo AP Sudharmono dan Loedito Setyawan Poerbowasi dari kelompok bisnis PT Manggala Pratama, yang menyatakan minat bekerjasama, seraya berjanji akan ikut membiayai proyek-proyek Pertamina, termasuk Proyek PLTP Karaha Bodas.

Hasilnya? Boro-boro ikut setor modal, Tantyo Cs justru membuat Mariati harus menerima nasib tragis. Ia dikudeta secara melawan hukum oleh kelompok Tantyo. Peristiwanya berlangsung tepat menjelang kedatangan Presiden Amerika Serikat (waktu itu) Bill Clinton ke Indonesia. Selain untuk menghadiri pertemuan APEC di Bogor, Clinton datang sekaligus untuk mengikuti agenda penandatanganan Kontrak Kerjasama Operasi (Joint Operation Contract/JOC) antara KBC dengan Pertamina dan Kontrak Penjualan Energi (Energy Sales Contract/ESC) antara KBC-Pertamina dengan PLN.
Kepada Investigasi, Mariati bertutur panjang lebar seputar proyek Karaha Bodas, termasuk peran Purnomo Yusgiantoro. Berikut petikan wawancara Investigasi dengan drg. Mariati Murman Heliarto di kediamannya di bilangan Jln. Sawah Lunto, Jakarta.

Ibu seorang dokter, terjun ke bisnis pertambangan. Bagaimana ceritanya?
Ide tersebut bermula dari penawaran seorang kolega saya, Atiek Suwardi, Kepala Divisi Geothermal Departemen Pertambangan dan Energi, pada 1988. Ketika itu, Pertamina sedang gencar mempromosikan pemanfaatan energi geothermal sebagai sumber energi yang tepat dikembangkan. Salah satunya, ya Karaha Bodas itu. Proyek Karaha Bodas target pembangunannya menelan jangka waktu lima tahun, dan diharapkan mampu menghasilkan listrik berkekuatan 120 MW (6 Unit Power Plant x 20 MW). Masa kontraknya 30 tahun. Selain itu, saya juga merintis proyek dua ladang minyak di Tanjung Miring, Sumatera Selatan.

Bagaimana kondisi awal ketika Ibu merintis proyek panas bumi Karaha?
Kami sempat mengalami kendala, karena sulit mencari partner. Estimasi nilai investasi, berdasarkan proposal yang diperbaharui PT SDS-Scotia Geothermal tahun 1993, total dana yang diperlukan sebesar US$ 258 juta. Dalam perkembangannya kemudian, kebetulan saya dapat partner yang berminat, James D. Bishop. Dia adalah pemilik Caithness Resources Inc (Caithness). Mungkin karena kurang modal, James D Bishop menggandeng Jeff Bush, sekarang gubernur Negara Bagian Florida, AS. Jeff adalah adik George W. Bush, Presiden Amerika Serikat sekarang.

Kapan pertama kali kenal Purnomo?
Saya diperkenalkan melalui Dr. Didiet Hadianto yang, pada tahun 1989 itu, seorang pejabat di Pertamina. Ketika itu Pak Didiet bilang: ”Bu Atiek, ini ada yang mau ngelamar nyari pekerjaan”. Kasihan, katanya baru pulang dari Colorado. (Purnomo Yusgiantoro tercatat pernah melanjutkan pendidikan di Colorado, AS. Tahun 1986 meraih gelar M.Sc di Colorado School of Mine Golden, dan memperoleh M.A Ekonomi di Universitas of Colorado at Boulder Main Campus pada 1988. Tahun 1989 pulang ke Indonesia - Red). Purnomo lalu bergabung dan tak lama kemudian membawa serta orang kepercayaannya, Mohamad Bawazeer.

Waktu itu Purnomo berkantor di mana?
Kadang-kadang datang ke Jln. Supomo, pada kesempatan lain dia datang bila kita rapat di hotel.

Soal bergabung ke dalam kelompok bisnis PT Manggala Pratama, bagaimana ceritanya?
Saya membawa serta Purnomo dan Muhamad Bawazeer ke dalam kerja sama dengan kelompok bisnis PT Manggala Pratama pimpinan Tantyo Sudharmono, yang sudah saya kenal sejak kecil. Awalnya, semua berjalan baik-baik saja. Selain lapangan panas bumi Karaha Bodas, kami juga menggarap proyek dua lapangan minyak di Tanjung Miring Timur (TMT), Sumatera Selatan, menggunakan bendera PT Nusantara Energy Prima. Saya sebagai direktur utama, sedangkan Purnomo duduk sebagai salah satu direktur.

Selain sebagai pemegang 5 persen saham, Purnomo juga menjadi Team Leader Proyek TMT. Tetapi dalam perjalanan selanjutnya, menjelang ditandatanganinya JOC dan ESC KBC, saya ditendang keluar. Bukan cuma di KBC, di TMT pun saya juga dikudeta. Lapangan minyak Tanjung Miring belakangan telah dijual, tapi sepeser pun saya tidak dapat.

Purnomo ikut ditendang?
Oh, tidak. Setelah mengikuti kursus Lemhanas, dia aktif menjadi pejabat di Departemen Pertambangan dan Energi. Tetapi hubungan bisnisnya dengan kelompok Tantyo jalan terus, diwakili Muhamad Bawazeer. Saya sadarnya baru belakangan.

Setelah berhasil mewujudkan penandatanganan JOC dan ESC, konon, PT SDS mendapatkan pembayaran commitment fee dari KBC?
Benar. Sesuai kesepakatan yang tertuang dalam MoU, yang ikut saya tandatangani, besarnya 3,25 persen dari project cost atau sekitar US$ 15 juta. Dibayarkan empat tahap. Pertama, 0.25 persen, kemudian berturut-turut, 0.25 persen, 1.75 persen, dan 1.75 persen. Sepengetahuan saya, sepanjang tahun 1995 seluruh uang commitment fee telah diterima, setelah saya dikudeta Loedito Cs dari PT SDS.

Jelasnya?
Uang itu mereka kuasai semua. Saya tidak menerima sepeser pun. Padahal, untuk merintis proyek dari awal, saya telah menghabiskan dana miliaran rupiah. Saya pula yang mendapatkan investor dan mengurus semua tahapan menuju kontrak. Tetapi, semua itu ada hikmahnya. Bila suatu hari kasus Proyek KBC diusut sebagai perkara korupsi, paling tidak saya aman. Karena tidak ikut menikmati uangnya.

Dari mana Ibu tahu commitment fee itu telah dibayar?
Dari Purnomo. Tahun 1995 dengan ditemani Antoni, seorang anggota DPR dan Bayu, saya datang menemui Purnomo di kantornya di Departemen Pertambangan dan Energi. Purnomo ketika itu mengatakan, ”Uang commitment fee bagianmu ada di Loedito.” Tapi saya nggak tahu berapa nilainya waktu itu.

Kapan terakhir bertemu Purnomo?
Ya, saya ingat betul, pada tanggal 13 Januari 2004. Anak saya yang pertama Andra, meninggal dunia. Purnomo datang melayat pada jam 10 malam. Saat itu dia sudah jadi menteri di kabinetnya Megawati. Waktu itu dia sudah jengkel sama saya. Gara-garanya, kwitansi pembayaran dia saat jadi konsultan diambil polisi.

Sekarang, kwitansinya di mana?
Diambil Kombes Pol. Hutabarat (Ketua Tim Penyidik Kasus Korupsi KBC Mabes Polri – Red.). Dia bilang dipinjem.

Disita?
Sita? Nggak ada surat sitanya, kok.

Dalam kaitan harga jual listrik KBC, bagaimana versi sebenarnya?
Dalam ESC KBC, harga jual listrik di-mark up, levelized US$ 72.98 /MWh. Padahal, berdasarkan hasil kesepakatan di Bali hanya US$ 71.48/MWh. Selaku dirut PT SDS, sebelumnya saya ikut mengusulkan. Saya juga heran, kenapa kemudian bisa jadi lebih mahal. Walau hanya selisih 1 poin dari 71, orang awam mungkin banyak yang nggak tahu, selisih secara ekonomi nilainya sangat besar. Kalau harga jual listrik tidak di-mark up, mungkin nilai ganti rugi klaim KBC tidak sebesar sekarang. Si bulenya sudah dijanjiin harga mahal, ya senang saja dia.
Terakhir, apa yang Ibu inginkan sekarang?
Saya hanya ingin hukum ditegakkan. Saya sudah tidak ingin bermimpi punya uang puluhan juta dolar. Saya hanya ingin memperjuangkan apa yang menjadi hak saya. Tidak lebih, tidak kurang.
Purnomo Yusgiantoro

Tidak Benar Ada Commitment Fee”

Tidak mudah meminta konfirmasi langsung dari Purnomo Yusgiantoro. Terlebih jika urusannya menyangkut ”masa lalu” Pak Pur, sapaan karibnya, saat belum menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Itu pula yang dialami Investigasi saat hendak mengonfirmasikan sejumlah hal berkaitan dengan dugaan korupsi dalam Proyek PLTP Karaha Bodas.

Dua kali surat resmi, berikut daftar pertanyaan, dikirim ke kantor Pak Menteri, meminta waktu khusus untuk melakukan wawancara. Namun, hingga sebulan berlalu, kedua surat tak beroleh tanggapan. Padahal, sang sekretaris memastikan, surat Investigasi sudah berada di meja Pak Pur.

Upaya mencegat Purnomo di berbagai kesempatan pun tak kurang dilakukan. Namun, di tengah kesibukannya, praktis hanya komentar ”formal” yang bisa didapat. Sejak Desember 2006, setidaknya tiga kali wartawan Investigasi mencegat Purnomo. Pertama, di kantornya, Kamis (7/12), saat ia bersiap hendak pergi melawat ke Nigeria.

Kedua, usai mengikuti Rapat Kerja dengan Komisi I DPR RI, Senin (29/1), dan terakhir selepas Pak Pur memberikan kata sambutan dalam acara Donor Darah Peduli Sesama, di pelataran kantor Departemen ESDM, Kamis (8/2). Apa saja komentar tokoh kunci yang ikut terlibat sejak dari perencanaan proyek hingga penetapan harga jual listrik Karaha Bodas itu? Berikut rangkuman hasil wawancara di tiga kesempatan terpisah itu:

Sejauh mana penanganan masalah KBC sampai saat ini?
Yang tahu persis tentang KBC, itu Pertamina. Departemen ESDM hanya mengkoordinasikan. Dari awal sampai sekarang, Pertamina tahu betul. Anda cari saja informasinya ke sana.

Pemerintah kan sudah berencana membayar klaim KBC sebesar US$ 320 juta. Konfirmasi Anda?
Itu kan baru rencana, baru wacana. Belum ada bukti kalau pemerintah mbayar, ya ndak? Sebab, dana sebesar itu jelas harus melalui persetujuan Presiden dan Dewan (DPR). Tidak bisa sembrono.

Menkeu Sri Mulyani seolah menyiratkan pemerintah memang mau bayar?
Jangan pakai seolah-olah. Kalau ya...ya, kalau tidak, tidak. Anda harus klarifikasi dengan Menteri Keuangan kalau memang pernyataan itu berasal dari sana.
Jika benar pemerintah berencana membayar klaim KBC, dari pos mana dana sebesar itu mau dianggarkan?
Nah, itu masalahnya. Cuma, kalau memang kita kalah, ya kita harus bayar. Tidak bisa tidak. Dan yang bayar pun Pertamina, bukan departemen saya.

Bukankah rekening pemerintah RI sudah diblokir oleh KBC?
Soal blokir-blokiran, itu urusan Departemen Keuangan. Anda tanya Ibu Sri Mulyani.

Peran Anda dalam Proyek KBC sangat besar, bahkan sejak sebelum Anda menjadi menteri?
(Menatap Investigasi dengan mimik serius). Saya hanya sebagai konsultan waktu itu. Tidak lebih, tidak kurang.

Banyak data menunjukkan, Proyek KBC sejak awal diindikasikan sarat dengan korupsi?
Harus dibuktikan dulu prosesnya bagaimana, dan itu tugas polisi atau jaksa. Kita harus tetap menjunjung asas praduga tak bersalah. Jangan karena Anda dapat informasi sedikit, rumor, langsung dicap sarat korupsi. Buktikan dulu. Anda tidak mau kan dituduh korupsi tanpa ada bukti yang menguatkan?

Ada juga dugaan mark up harga jual listrik yang ternyata lebih mahal?
Lebih mahal bagaimana? Coba Anda bandingkan. Harga Sarua, PLTA Salak, kan lebih tinggi dari Paiton. Persisnya saya lupa. Sedangkan Paiton sendiri mematok US$ 8,5 cent/per kWh, lalu Karaha US$ 7,2 cent/kWh. Mana yang lebih mahal? Jadi, sama sekali tidak benar kalau disebutkan lebih mahal, apalagi terjadi mark up.

Selain itu, dalam kontrak bersama sudah disebutkan, kalau mereka (KBC) baru melakukan tahapan eksplorasi, lalu terbitlah keppres (penghentian proyek). Padahal listriknya belum nyala. Seharusnya kan memang tidak ada kerugian dari pihak mana pun, karena toh proyeknya belum jalan. Jadi, kalau harga listriknya dibilang mahal, itu tidak betul.

Dokumen proyek KBC yang kami miliki sangat jelas indikasi korupsinya, dan itu mengarah ke Anda?
Data yang mana coba? Anda harus melihat kasus ini secara proporsional, harus lihat kontrak-kontraknya. Jangan karena kita kalah di arbitrase internasional, terus dikait-kaitkan dengan saya, seolah-olah ada korupsi atau apalah. Perlu saya tegaskan, kekalahan kita karena terlambat mbayar, sehingga di-past cost.

Setahu Anda, kenapa kita bisa kalah?
Masalah itu saya tidak bisa menjawab. Itu bukan wewenang saya, dan saya memang tidak dalam posisi itu.

Menurut informasi yang kami terima, Anda juga terima commitment fee?Kalau benar-benar dapet, kalian-kalian semua saya kasih. Tapi begini...waktu itu diterbitkan keppres infrastruktur. Seingat saya ada tiga Keppres yang diterbitkan, kemudian ditunda akibat krismon dan desakan IMF. Itu semua mengakibatkan pembuatan kontrak-kontrak menjadi tidak benar. Jadi, tidak benar ada commitment fee.

Empat Kasus Melilit Dedy Garna

Dalam satu waktu, empat kasus pidana langsung menjerat pengusaha asal Bandung, Dedy Budiman Garna. Namun, yang paling menyita perhatian, tentu saja terkait sepak terjangnya dalam menilep dana Tunjangan Wajib Perumahan (TWO) milik prajurit TNI Angkatan Darat.

Museum Rekor Indonesia (MURI) mungkin perlu menimbang nama Dedy Budiman Garna sebagai ”tokoh” yang layak memperoleh plakat pemecah rekor. ”Prestasi”-nya memang ruarr biasa. Bayangkan, dalam satu kurun waktu, ia harus menghadapi dan menjadi pesakitan pada empat kasus pidana sekaligus. Hebatnya lagi, seluruhnya kental beraroma korupsi.

Kini, lelaki 53 tahun yang mulai ”meroket” saat namanya masuk menjadi salah satu terdakwa kasus korupsi penggelapan dana Tunjangan Wajib Perumahan (TWP) prajurit, itu memang harus bersiap untuk mengisi hari-harinya dengan agenda sidang. Bisa diperkirakan, berapa lama kelak sisa hidupnya yang harus ia lewati di balik jeruji besi.

Saat ini saja, ketika perkara korupsi dana prajurit di lingkungan TNI Angkatan Darat tersebut disidangkan, Dedy Garna sudah harus menjalani hukuman penjara 3,5 tahun. Itu terjadi setelah Mahkamah Agung menerbitkan putusan kasasi dalam perkara pidana penipuan dan penggelapan, berdasarkan laporan Bupati Kutai Kertanegara, Syaukani HR.

Sedangkan dua kasus lain yang bakal segera dihadapi laki-laki yang berpenampilan bak seorang kiai ini, yakni: dugaan korupsi di PT Petral dan penyalahgunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2004 Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Hari-hari ini, ia meringkuk di sel tahanan Kejaksaan Agung.

Dalam kasus TWP, Dedy adalah orang yang mengajak Kepala Badan Pengelola Tabungan Wajib Prajurit (BPTWP) Kolonel Ngadimin Darmo Sujono, untuk mengeluarkan dana Rp 100 miliar dan menginvestasikannya. Nama Dedy sendiri muncul dari pengakuan Ngadimin di persidangan. Dua nama lagi yakni Samuel Kristianto (Ketua Yayasan Mahanaim-Bekasi Barat) dan Rafael Harry Wong (belum tertangkap). Selain itu, disebut pula seorang perwira tinggi dengan pangkat Mayjen berinisial ”SM”, yang disinyalir ikut menikmati aliran dana.
Berdasarkan pelacakan Pusat Intelijen Angkatan Darat, selama kurun waktu 28 Februari-28 November 2005, Dedy diketahui sudah empat kali menerima transfer dana dari rekening Ngadimin dan Samuel. Masing-masing pada 26 dan 27 April, 2 Mei, serta 2 Agustus 2005. Besarnya Rp 15 miliar, Rp 12 miliar, Rp 13 miliar, dan Rp 2,3 miliar. Seluruhnya disetor ke rekening Dedy di Bank Mandiri Cabang Ragunan, Jakarta Selatan.

Dedy Garna, bisa dibilang, memang aktor utama yang memperoleh aliran dana terbesar. Ia menerima sebanyak 30-40 persen dari total aliran dana yang diselewengkan. Di luar itu, Dedy kini juga menyandang status tahanan Kepolisian Daerah Jawa Barat karena kasus korupsi PT Petral, anak perusahaan Pertamina.

Sayang, keluarga Dedy yang tergabung dalam PT Khidmah Fajr Bandung, tak bisa dimintai konfirmasi. Kedua kantor mereka di Jakarta telah pindah alamat, sedangkan di kantor Bandung tidak ada orang yang bisa dimintai keterangan.

Ngadimin dan Samuel kemudian juga mengikat perjanjian dengan PT Khidmah Fajr Bandung milik keluarga Dedy Garna untuk pembelian Repo Oil Bond Production Certificate senilai US$ 65 juta.

Kendati telah mengantongi uang tabungan prajurit sebanyak Rp 43,8 miliar, Dedy masih mampu menilai bahwa dakwaan jaksa penuntut umum merupakan skenario dusta. Bahkan, menurut alibinya, kontrak Repo Oil Production Bond miliknya bertujuan sebagai transaksi penyelamatan dua terdakwa lain agar dapat langsung dipercaya Bank Credit Industriel et Commercial Banque Privee Singapore.

Persidangan koneksitas
Fokus perhatian Dedy, sulit dimungkiri, untuk sementara memang tercurah pada prosesi persidangan kasus korupsi TWP. Sampai Senin (5/2) lalu, persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan masih berkutat pada keberatan (eksepsi) terdakwa, berkaitan dengan sah-tidaknya dakwaan jaksa dan bertentangan-tidaknya dengan hukum acara pidana.

Putusan sela yang dibacakan majelis hakim yang diketuai Soedarmadji pada Senin siang itu, intinya menolak eksepsi terdakwa dan memerintahkan jaksa melanjutkan pemeriksaan. Majelis hakim beranggotakan Wahjono dan Mayor CHK Budi Purnomo juga menyatakan, surat dakwaan jaksa sah dan tidak bertentangan dengan hukum acara pidana. Ariano Sitorus, penasihat hukum Samuel Kristianto, langsung menyatakan banding atas putusan sela majelis hakim. Hal itu diikuti oleh penasihat hukum Ngadimin dan Dedy Garna.

Berkaitan dengan eksepsi Ngadimin perihal anggota hakim koneksitas yang pangkatnya dua tingkat lebih rendah dari dirinya, majelis hakim mempertimbangkan, berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Militer, sah saja apabila seorang militer berpangkat lebih rendah menangani anggota militer yang pangkatnya lebih tinggi. ”Tidak ada aturan dalam KUHAP yang mengharuskan pangkat hakim lebih tinggi daripada terdakwa,” kata hakim.
Sedangkan mengenai surat dakwaan, hakim menilai telah memenuhi syarat formal dan material. Penuntutan sudah sah, sesuai aturan yang berlaku. Sementara perihal siapa yang dirugikan dalam perkara ini, akan dipersoalkan dalam pokok perkara. Jadi? Jalan memang masih panjang. Artinya, masih tersedia cukup waktu bagi MURI untuk mengukir dan menyiapkan plakat pemecah rekor bagi Dedy.

Imam Kabul Selangkah Lagi Jadi Tersangka...?

Dua orang staf Wali Kota Batu ditahan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, terkait perkara korupsi rekayasa kenaikan pangkat dan jabatan. Imam Kabul, Wali Kota Batu, selangkah lagi akan ditetapkan menjadi tersangka.

Selayaknya lakon dalam film India, penanganan kasus korupsi sering menari berputar-putar. Bila tak sering diawasi, bisa mengendap lalu setelah itu hilang tak jelas. Proses hukum kasus rekayasa kenaikan pangkat dan jabatan di lingkungan Pemerintahan Kota Batu juga pernah bernasib sama. Tak percaya? Pada era Kajati Jatim dipegang M.S Raharjo, Wali Kota Batu Imam Kabul, pejabat yang paling bertanggungjawab dalam kasus itu justru dapat tetap melenggang dengan penuh percaya diri.

Ketika itu, Kejati Jatim hanya menetapkan dua pembantunya sebagai tersangka. Mereka adalah Kepala Bagian Kepegawaian Budiono Ikhsan, dan Kepala Sub Bagian Mutasi Herry Satmoko. Sayangnya, penetapan kedua tersangka oleh Kejati Jatim tersebut tidak serta merta membuat proses hukumnya berjalan lancar.

Sekadar menyegarkan ingatan, seperti pernah ditulis Investigasi (Edisi 12 th 1). Geger di lingkungan Pemkot Batu ini, bermula dari kenaikan pangkat dan jabatan 69 PNS di lingkungan Pemkot Batu yang ditengarai penuh dengan rekayasa. Termasuk Imam Kabul yang kenaikan pangkatnya tergolong istimewa. Bagaiamana tidak, dua kali naik pangkat dalam tiga bulan.

Kok bisa? Bukan hal aneh sebenarnya. Sebagai penguasa tertinggi di wilayah Batu urusan menaikkan pangkat atau jabatan bukan hal sulit baginya. Lihat saja, awal tahun baru 2002, Imam mendapat kenaikan pangkat dari Pembina (IV/a) menjadi Pembina Tingkat I (IV/b). Tak lama kemudian, berselang 90 hari, lelaki kelahiran Sumenep, 21 Desember 1952 ini kembali mendapat kenaikan pangkat menjadi Pembina Utama Muda (IV/c). Pangkat naik, tentu saja pendapatannya ikut terdongkrak naik. Gaji pokoknya saja naik dari Rp 1.192.900 menjadi Rp 1.279.600. Belum lagi tunjangan lainnya.

Tetapi ada yang unik dari kenaikan pangkat Imam Kabul. Surat Pertimbangan Teknis Kepala Kantor Regional II Badan Kepegawaian Negara (BKN) ternyata memiliki nomor yang sama antara kenaikan pangkat pertama dengan yang berikutnya. Kedua-duanya bernomor CB 6538000315. Padahal, kedua surat tersebut dikeluarkan pada tanggal yang berbeda, yakni 29 April 2002 dan 22 Juli 2002. Tak ayal, keganjilan ini seolah menegaskan, kenaikan pangkat Imam Kabul memang penuh dengan rekayasa.

Hanya itu keganjilannya? Tentu tidak. Ketika ditelusuri lebih jauh, petikan Surat Keputusan Wali Kota Batu yang ditandatangani Sekretaris Daerah Batu M. Haryono Anwar, SH, untuk kenaikan pangkat Imam yang pertama dengan yang kedua, ternyata sama yaitu 823.4/353/422.015/ 2002. Kecurigaan tersebut menjadi semakin lengkap ketika terungkap fakta bahwa penetapan kenaikan pangkat Imam itu ditandatangani oleh dirinya sendiri dan lebih eloknya lagi, antara yang surat pertama dan yang kedua hanya berselang dua hari!

Belakangan terungkap, rekayasa kenaikan pangkat tersebut bukan hanya dilakukan pada diri Imam Kabul sendiri. Pak Wali ternyata juga menyetujui rekayasa kenaikan pangkat bagi 69 PNS di lingkungan Pemkot Batu.

Cerita inilah yang kemudian merebak. Hingga kemudian, Kejati Jawa Timur turun tangan melakukan serangkaian penyidikan. Hasilnya, setelah memeriksa sejumlah saksi serta menelisik setumpuk dokumen, Kamis, 23 Maret 2002, Kejati Jatim menetapkan tiga orang pejabat di Pemkot Batu menjadi tersangka, seperti yang dikisahkan di awal cerita.

Salah satu bukti awal yang dijadikan dasar menetapkan Imam Kabul sebagai tersangka adalah surat memo kepada bawahannya. Memo inilah yang kemudian oleh Kepala Kepegawaian daerah Pemkot Batu Budiono Iksan dan Kepala Sub bagian Mutasi Heri Soemoko digunakan sebagai dasar untuk menaikkan pangkat pegawai dan pejabat di lingkungan pemkot Batu.

Untuk rekayasa pengangkatan PNS, modus yang dilakukan terbilang sederhana. Cara pertama, 27 PNS pengangkatannya dilakukan tanpa nota persetujuan dari Badan Kepegawaian Negara (BKN). Sementara untuk 42 PNS lainnya, nota persetujuan dari BKN direkayasa dan menggantinya dengan nama pejabat yang akan diangkat. Jadi nomor persetujuan sama, tetapi digunakan untuk nama pejabat yang lain.

Cara kedua, dilakukan dengan mengundurkan “terhitung mulai tanggal” (TMT) jabatan terakhir. Misalnya, pejabat dari golongan III/d, yang TMT-nya Januari 2002, diundur menjadi Januari 1999 sehingga bisa naik menjadi golongan IV/a.

Dari rekayasa kenaikan pangkat jabatan ini, terhitung sejak 2002 sampai dengan tahun 2006, setiap pejabat yang pangkatnya dinaikkan negara digerogoti keuangannya kurang lebih Rp 78 juta per orang. Jadi, total jenderal kerugian negara dalam kasus ini berkisar antara Rp 700 juta sampai dengan Rp 1 miliar.

Statusnya menjadi simpang siur
Walau sebenarnya kasus ini terang benderang dan bukti awal yang didapat sudah cukup untuk menjerat Imam Kabul, toh, tidak berarti proses hukumnya kemudian berjalan mulus. Sejak di tetapkan menjadi tersangka 10 bulan lalu, nyaris perkaranya hanya jalan di tempat. “Sebetulnya nggak lamban kok, penanganannya berjalan terus,” ujar Kajati Jatim MS Rahardjo ketika ditemui Investigasi ketika itu. Tak lama, status Kabul berubah menjadi saksi. Lho?
“Lagi pula untuk memeriksa wali kota kan harus ada izin presiden. Nggak bisa begitu saja dipanggil untuk diperiksa,” kelit Rahardjo saat ditanya mengapa Imam Kabul tidak kunjung di periksa.

Pak Kajati waktu itu mungkin masih bisa berkelit, karena izin presiden untuk memeriksa Imam memang belum turun. Tetapi ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan suratnya No 99/PresXII/2006 memberikan lampu hijau sekaligus mempersilakan Imam Kabul diperiksa kejaksaan Tinggi, akhirnya Pak Wali pun diperiksa juga, Selasa (13/1).

Tanpa didampingi pengacaranya, Imam diperiksa hampir sembilan jam. Dicecar dengan 24 pertanyaan seputar rekayasa kenaikan pangkat di lingkungan kerjanya. Seusai peneriksaan, Mulyono SH, Kapenkum Kejati menjelaskan, materi pemeriksaan diarahkan seputar kewenangan Imam Kabul sebagai wali kota dalam kenaikan pangkat dan jabatan yang akhirnya menuai polemik itu.

Masih menurut Mulyono, Imam Kabul diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi atas dua tersangka skandal rekayasa jabatan, yakni Budiono Iksan dan Herry Satmoko. Lho?

Ya, perubahan status Imam Kabul menjadi hanya sekadar sebagai saksi inilah yang kemudian menimbulkan keanehan.

Keanehan dan simpang siur status Imam Kabul ini yang kemudian coba dijelaskan oleh Mulyono. ”Selama ini hanya ada dua tersangka dalam rekayasa jabatan PNS di Pemkot Batu, Budiono dan Herry Satmoko.” Mulyono menduga, Devi Sudarso (eks Kepenkum Kejati) terlalu emosional waktu itu. “Yang saya tahu selama ini beliau (Imam Kabul) memang belum menjadi tersangka.”

Bila Kejati bersikap lunak terhadap Imam Kabul, lain lagi perlakuan yang diterima Budiono Iksan. Ia harus segera mencicipi dinginnya terali besi setelah Kejati Jawa Timur menahannya (19/1) seusai menjalani pemeriksaan.

Selang empat hari kemudian, giliran mantan Kabag Mutasi Heri Soemoko diperiksa Kajati Jatim (23/1). Heri sesungguhnya sudah diminta datang ke Kajati sehari sebelumnya, Senin (22/1). Tapi, waktu itu ia hanya mengirimkan salah seorang pengacaranya, memberitahu bahwa Heri sedang sakit dan meminta pemeriksaan di tunda.

Baru keesokan harinya ia bisa datang. Itu pun Heri mesti dampingi pegacaranya. Begitu tiba pukul 10.00, ia langsung masuk ke ruang pemeriksaan dan baru keluar dari ruangan itu pukul 15.45 dengan dikawal tiga orang petugas kejaksaan. Heri langsung menuju mobil yang mengantarnya ke Rutan Kelas I Surabaya. Benar, ia langsung ditahan begitu pemeriksaan usai.

Perlakuan berbeda yang di terima Imam Kabul dibanding kedua bawahannya sebenarnya tidaklah mengherankan. Pasalnya, begitu kasus ini merebak, Imam langsung “bergerilya” mendekati Rahardjo. Pertengahan Juli 2006, dalam sebuah pertemuan di Klub Bunga Resort & Villa, dirancang skenario untuk meloloskan Imam Kabul. Pertemuan tersebut antara lain dihadiri oleh Imam Kabul, MS Rahardjo dan IG Nyoman Subawa, Kajari Batu.

Skenarionya, Rahardjo akan “mengolah” kasus tersebut agar fokusnya bergeser dari kasus korupsi menjadi kasus administratif biasa. Kalaupun kasus tersebut akan terus dilanjutkan, sasaran tembaknya bukan lagi wali kota, melainkan pejabat bawahan lainnya.

Tampaknya, rencana yang disusun dalam pertemuan tersebut berjalan lancar. Sepekan kemudian, setelah pertemuan tersebut (20/07/06), status Imam Kabul yang semula tersangka diturunkan hanya menjadi saksi. Dengan alternatif, kalau pun ada kemungkinan Imam Kabul diperiksa sebagai tersangka, pemeriksaannya diatur; menunggu hasil persidangan Budiono dan Heri.

”Naudzubilahi minzalik... No way...nggak ada itu. Dari mana informasi seperti itu? Ah! Tidak benar, isu saja itu. Kami serius kok,” ungkap Rahardjo, saat dikonfirmasi seputar pertemuan itu.

Serius? Bisa jadi, ucapan Rahardjo sungguh-sungguh alias bukan sekadar isapan jempol. Tetapi yang tidak bisa disangkal, keseriusan dan tindakan tegas Kejati itu selama ini hanya ditujukan kepada Herry dan Budiono yang notabene adalah para bawahan. Terhadap Imam Kabul, Kejati Jatim seperti ompong tak bergigi.
Padahal, selaku pimpinan, mustahil Imam tidak mengetahui perilaku para bawahannya. Apalagi jelas-jelas bukti awal menyebutkan, kenaikan pangkat dan jabatan di lingkungan Pemkot Batu sebagian atas perintah Imam melalui memo kepada Budiono.

Tapi, kini mungkin Imam Kabul tak bisa lagi tenang dan tidur nyenyak. Sebab, Kajati Jatim yang baru, Marwan Effendy, dikenal gemar menahan koruptor. Jaksa yang tak suka cengengesan dan main golf dengan pejabat itu suka menggunakan kacamata kuda dalam mengusut suatu perkara. So, baiklah kita tunggu, kapan Imam Kabul menjadi tersangka dan ditahan. Oke? L


Terganjal Makelar Tanah...

“Power tends to corrupt. Absolute power corrupt absolutely,” kata Lord Acton di akhir abad 19. Imam Kabul mungkin tak kenal siapa Lord Acton. Tetapi itulah yang
terjadi, jabatannya sebagai walikota Batu memberinya kesempatan untuk korupsi.

Belum lagi kasus kenaikan pangkat dan jabatan PNS dilingkungan pemkot Batu beres endingnya, Imam Kabul diduga terlibat dalam mark up pengadaan rumah perwakilan pemkot Batu di Jakarta.

Kasus ini sendiri bermula ide mendirikan kantor perwakilan pemkot Batu di Jakarta. Yang disampaikan Imam Kabul dalam sidang paripurna DPRD kota Batu, 15 Desember 2003. Waktu itu agenda sidangnya membahas pembacaan jawaban walikota atas pandangan umum fraksi-fraksi terhadap nota keuangan rancangan APBD kota Batu tahun 2004. Menurut perkiraan Imam Kabul, proyek ini akan menghabiskan dana sebesar Rp 2 miliar.

Karena alasannya memang masuk akal, gayungpun bersambut. Rencana tersebut langsung disetujui dewan. Masalah kemudian timbul ketika pembelian yang dilakukan oleh sekertaris daerah kota Batu Haryono Anwar SH tak sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya.

Nilai transaksi kedua bidang tanah itu (lengkap dengan perolehan hak atas tanah dan bagunan) masing-masing sebesar Rp 579 juta dan Rp 530 juta. Jadi total yang dikeluarkan untuk pembelian dua bidang tanah tersebut sebesar Rp 1,1 miliar.

Tetapi persoalannya, kedua bidang tanah itu tidak dibayar langsung dengan Surat Perintah Untuk Membayar yang di keluarkan oleh Pemkot Batu dan di tandatangai oleh pemilik tanah. Haryono Anwar justru melakukan transaksi atas namanya sendiri, dengan bukti pembayaran berupa kuitansi biasa yang di ketahui oleh Sukarto, wakil ketua DPRD kota Batu. Angka yang tercantum dalam kuitansi itu Rp 2 milliar, hingga ada selisih sekitar Rp 900 juta dari harga tanah yang sebenarnya.

Setelah pembayaran beres barulah kemudian balik nama kepemilikannya dilakukan. Tetapi bukannya langsung atas nama Pemkot Batu, Haryono mengganti atas namanya sendiri. Belakangan karena ditegur BPK kepemilikan tersebut dialihkan kepada pribadi Imam Kabul.

Ketika kemudian kasus itu merebak, Imam menepisnya dengan mengatakan bahwa telah diadakan pelepasan hak atas nama Imam Kabul kepada Walikota Batu atas nama Pemkot Batu. Tetapi dokumen Kantor pertanahan Jakarta Timur jelas berkata lain. Tampak, dalam dokumen tersebut bahwa 26 April 2004 telah dilakukan balik nama asset SHM No 484 luas 435 meter persegi dari M Haryono Anwar SH kepada Drs Imam Kabul. Balik nama juga dilakukan untuk bidang tanah yang satunya.

Padahal prosedur yang semestinya dalam transaksi tersebut seharusnya Surat Perintah Untuk Membayar (SPMU) di tandatangi oleh Soebandi (pemilik tanah sebelumnya). Jika ternyata yang menandatangi SPMU tersebut adalah pejabat pemkot Batu sendiri, artinya telah terjadi penggelapan. Dan pejabat pemkot Batu bertindak sebagai makelarnya.

Sayangnya, seperti kasus-kasus lainnya yang layu sebelum berkembang. Kasus pengadaan rumah perwakilan ini pun bernasib sama, masuk keranjang sampah aparat. Polda Jawa Timur melalui Tipikornya sebenarnya pernah berupaya untuk menyidik kasus ini. Tetapi urung karena staf pemkot batu yang diperiksa mengaku perkaranya sudah di tangani Kejari Batu. Padahal sejatinya kasus tersebut belum disentuh sedikitpun oleh kejaksaan.

Menuntut Jaksa Nakal

Ibarat sapu yang kotor, bukannya membuat bersih, tetapi justru malah menambah kotor. Ungkapan itu mungkin tepat disematkan kepada Jaksa Burdju Ronni Sembiring dan Cecep Sunarto. Bagaimana mereka bisa diharapkan menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi, bila secuil kesempatan pun diembat untuk memperkaya diri sendiri.

Yup, Burdju dan Cecep memang salah satu potret yang menunjuk buramnya penegak hukum kita. Keduanya dituduh ”memeras” Achmad Djunaidi, terdakwa kasus korupsi Jamsostek, yang belakangan nyanyi dan mengaku sudah menyetor Rp 550 juta kepada mereka. Djunaidi sendiri divonis PN Jakarta Selatan delapan tahun penjara.

Merasa dicoreng mukanya, aparat bertindak gesit. Burdju dan Cecep disidik dan langsung disidang. Dalam sidang terakhirnya di PN Jakarta Selatan, Senin (29/1), Burdju dan Cecep dituntut dua tahun penjara. Mereka juga dituntut membayar denda Rp 150 juta subsider enam bulan penjara.

Menurut ketua tim jaksa penuntut umum, Ali Mukartono, dua koleganya itu bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima hadiah atau janji. Kata Ali, penyerahan uang sebesar Rp 550 juta dari mantan Dirut PT Jamsostek Achmad Djunaidi kepada kedua terdakwa, dianggap telah memenuhi unsur-unsur menerima hadiah atau janji yang berhubungan dengan jabatannya sebagai jaksa.

Terkait dengan tuntutan itu, Cecep dan Burdju tak mau berkomentar. Padahal, dalam sidang-sidang sebelumnya, mereka selalu mengelak tuduhan itu. Bahkan, mengaku tidak pernah mengenal sosok Aan yang disuruh Djunaidi melakukan penyuapan. ”Saya tidak kenal Aan sebagaimana yang didakwaan JPU,” kata Burdju.

Selain itu, ketika diperiksa di Jamwas, ia juga pernah menyampaikan saat penyidik bertanya: apakah dirinya hendak mengajukan saksi yang meringankan, tetapi dipatok hanya empat orang. ”Ternyata, dua saksi yang meringankan saya tidak dipanggil,” ujarnya. Dalam persidangan sebelumnya, Aan yang berperan sebagai penghubung Djunaidi dan kedua JPU mengaku telah memberikan sendiri uang Rp 550 juta itu. Menurut Aan, uang itu diberikan dalam tiga tahap. Masing-masing Rp 100 juta, Rp 250 juta, dan Rp 200 juta dalam bentuk tunai. Tentu, Burdju dan Cecep boleh berkelit, tetapi kebenaran tetap harus diungkap kan?

Suami Yuni Shara Ditahan

Henry Siahaan, kini tak bisa lagi menemani istri tercintanya, Yuni Shara, bernyanyi. Pasalnya, tersangka kasus pidana alat komunikasi dan jaringan komunikasi itu telah ditahan polisi dengan tuduhan pelanggaran hak konsumen. Hal ini disampaikan oleh Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Sisno Adiwinoto di Mabes Polri, Kamis (8/2). Namun, Sisno belum mau berkomentar, siapa korban dari pelanggaran hak konsumen itu.

Mau tahu siapa konsumennya? Tidak salah. Bisik-bisik santer yang beredar menyebut, konsumennya adalah Densus 88 Antiteror yang terkenal cerdas itu. Kepada Densus 88 Antiteror, Henry memasok alat penyadap telepon dan handphone bernama Intervet, tapi tak bisa digunakan alias rusak.
Mabes Polri pun disebut-sebut menahan Henry dengan tuduhan melanggar pasal penggelapan dan penipuan. Mengutip Sisno, kasus ini akan terus diperiksa untuk mengetahui siapa saja yang terlibat. Termasuk, jika hal itu melibatkan para petinggi Polri.

Sebelum ditahan, Henry pernah diperiksa dalam kasus pengadaan alkom-jarkom untuk Mabes Polri dengan total nilai proyek sebesar Rp 602 miliar. Kerugian negara diduga sebesar 30-40 persen dari total harga itu. Kasus ini pertama kali dimunculkan oleh Ketua Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) M. Yusuf Rizal.
Rizal sendiri menyebut, ada 12 nama yang layak dimintai keterangan terkait dengan dugaan korupsi proyek ini. Termasuk, mantan Kapolri Jenderal Pol. Da’i Bachtiar. Rizal mendesak diadakan pemeriksaan juga pada perusahaan rekanan, salah satunya ya milik Henry Siahaan ini

Vonis MA “Sempurnakan” Derita Pak Djun

Betapa masygul nasib Ahmad Djunaidi, 61 tahun, mantan Direktur Utama PT Jamsostek. Selama mendekam dipenjara, serangkaian peristiwa memilukan terjadi. Ibundanya tercinta Halimah Kartodimejo meninggal dunia dan upacara pemakaman tanpa dapat dihadirinya. Menyusul kemudian, Isteri mudanya bernama Yusni Kurniawati, 30 tahun yang konon paling disayanginya, diam-diam menggugat cerai melalui Pengadilan Agama Depok.

Penderitaan, sepertinya masih belum cukup puas menerpa. Pekan lalu, Mahkamah Agung dalam putusan kasasi tetap memvonis terdakwa mantan Direktur Utama PT Jamsostek Ahmad Djunaidi delapan tahun penjara. Vonis ini telah “menyempurnakan” beban hidup, yang harus dijalani dipenghujung usianya.

Majelis kasasi Mahkamah Agung yang dipimpin hakim agung Iskandar Kamil beranggotakan Rehngena Purba dan Artidjo Alkostar memutus perkara kasasi itu pada 6 Februari lalu. Selain vonis delapan tahun, Mahkamah Agung mengharuskan Djunaidi membayar denda sebesar Rp 500 juta atau hukuman pengganti selama satu tahun.
Dalam petikan putusan kasasi dinyatakan bahwa terdakwa Djunaidi terbukti melakukan korupsi. Vonis ini menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang memvonis Djunaidi delapan tahun penjara. Tapi, jumlah denda dinaikkan dari Rp 200 juta menjadi Rp 500 juta. “Semua sesuai pertimbangan Pengadilan Tinggi dan hanya diimbuhkan penambahan denda.”

Busway, Jalan Rustam Menuju Penjara

Banyak jalan menuju penjara. Salah satunya, bisa dengan menggunakan busway, seperti yang dilakukan Rustam Efendi Sidabutar, mantan Kadis Perhubungan Pemda Provinsi DKI Jakarta. Kamis (8/2), terdakwa kasus korupsi pengadaan busway tahun 2003 dan 2004 itu divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 200 juta atau subsidair enam bulan kurungan.

Vonis dijatuhkan oleh majelis hakim yang diketuai Moerdiono di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Selatan. Vonis ini lebih ringan dua tahun dari tuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yessi Esmeralda.
Rustam terbukti telah menunjuk PT Armada Usaha Bersama (AUB) sebagai pengada busway tahun 2003 dan 2004, tanpa melalui proses tender. Negara telah dirugikan Rp 10,62 miliar dengan perincian: Rp 6,3 miliar pada 2003, Rp 3,5 miliar pada 2004, dan pajak balik nama keduanya sebesar Rp 794 juta.

Penunjukan langsung ini terendus dan akhirnya terbukti sebagai tindakan Rustam untuk memperkaya orang lain, dan korporasi. Namun, karena tidak terbukti memperkaya diri sendiri, Rustam dibebaskan dari kewajiban membayar uang pengganti. Selain Rustam, kasus ini juga menyeret dua terdakwa lain, yakni Budi Santosa, Dirut PT AUB, dan Sylvira Ananda, Ketua Pengadaan Busway. Rustam mulai ditahan KPK sejak 13 Juni 2006 dan dititipkan sementara di Rutan Polda Metro Jaya. Melalui pengacaranya, Luhut MP Pangaribuan, Rustam mempertanyakan putusan hakim. Pasalnya, hakim tidak memasukkan bukti surat metode penunjukan langsung dari Gubernur Sutiyoso. Luhut sendiri mengaku masih pikir-pikir untuk mengajukan banding atas putusan hakim tersebut.

Membantarkan Diri Sebelum Ditahan

Bagi sebagian orang, sakit mungkin musibah. Tapi kadangkala sakit merupakan anugerah atau jalan keluar. Tak percaya? Lihat saja, Jenderal Besar Soeharto lolos dari jerat hukum karena sakit dan kasusnya sendiri langsung masuk peti es!

”Sukses” Soeharto, mungkin, mengilhami Bupati Kutai Kertanegara Syaukani Hasan Rais, untuk juga melakukan hal yang sama. Setelah diperiksa KPK sebagai tersangka, terkait pembangunan Bandar Udara Loa, badannya lansung ”meriang”. Wajar bila Pak Kaning – sapaan Syaukani – meriang. Di KPK, tidak ada cerita: setiap orang yang sudah diberi status tersangka, tak lama lagi pasti ditahan. Kasusnya pun tidak dapat dihentikan. Berbeda dengan kasus Pak Kaning yang lain, yakni korupsi pajak bumi dan bangunan tahun 2001, yang mandek karena di-SP-3 oleh Kejaksaan Agung.

Di KPK, Syaukani langsung diperiksa pada 11 Desember 2006, terkait dugaan korupsi dalam penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kutai Kertanegara. Seperti diketahui, pada Juni 2004, Syaukani mengeluarkan surat keputusan pembangunan Bandar Udara Loa Kulu. Dari lahan bandara yang rencananya seluas 1.300 hektare itu baru 350 hektare yang sudah dibebaskan. Dari 350 hektare itu, 250 hektare di antaranya milik putra-putri Syaukani.

Belum sempat pemeriksaan mendapat hasil, Pak Kaning keburu sakit dan masuk RS Gading Mas, Jakarta tanggal 17 Desember silam. Tak mau kehilangan buruannya, pada 18 Desember 2006, KPK menetapkan Syaukani menjadi tersangka. KPK bahkan telah mengajukan permintaan pencegahan ke luar negeri atas nama Syaukani HR, ke Direktorat Jenderal Imigrasi.

”Kami (KPK) memang selalu memantau kondisi kesehatannya, apakah yang bersangkutan sudah bisa diperiksa penyidik KPK atau belum,” kata Johan Budi SP, humas KPK. Karenanya, Johan membantah kabar yang menyebutkan Syaukani kabur dari rumah sakit tempat ia dirawat.
”Kami sudah mengecek ke pihak rumah sakit, juga ke dokter yang merawatnya. Mereka mengatakan, Selasa (6/2) Syaukani masih berada di rumah sakit. Kalau ternyata sudah sembuh, tentu akan langsung kita periksa,” Johan menambahkan. Masih ada jurus lain Pak Kaning?

Nyanyian Sjachriel Dari Balik Terali

Terali besi sudah mulai diakrabi mantan Gubernur Kalimantan Selatan periode 2001-2005, Sjachriel Dahram. Sejak 3 Januari 2007, ia ditahan KPK dan mendekam sementara di Rumah Tahanan Mabes Polri. Lelaki tua dengan perut buncit ini sedang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk diperiksa dengan kapasitas sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana belanja rutin kepala daerah antara 2001-2004 sebesar Rp 10,4 miliar.

Dalam siaran persnya, KPK – berdasarkan hasil penyidikan – menduga Sjachriel telah menggunakan dana tersebut tidak sesuai dengan fungsinya. Penyidik KPK menemukan bukti, sebagian dana itu digunakan untuk kepentingan pribadi. Misalnya, untuk membeli kendaraan pribadi, merenovasi rumah pribadi, membeli ruko, dan membeli asuransi sebesar Rp 5,47 miliar.

Dalam pemeriksaan sebelumnya, Sjachriel menyangkal tuduhan tersebut. Ia mengaku hanya menggunakan dana taktis tak lebih dari Rp 1 miliar. Itu pun, kata dia, salah satunya digunakan untuk sumbangan wartawan dan biaya kongres. Menurut Sjahriel, semua penggunaan biaya itu ada tanda terima dan mempersilakan KPK memeriksanya. ”Toh, semua kuitansi masih ada,” ujarnya.

Namun, pada pemeriksaan selanjutnya, Sjachriel mengaku sudah mengembalikan dana Rp 2,143 miliar satu bulan sebelum penyidikan. Sepanjang proses selanjutnya, sang mantan gubernur itu dikabarkan menderita sakit dan harus mendekam di RS Polri Kramat Jati. Satu ”wabah” yang jamak diderita oleh orang-orang yang sedang menjalani proses hukum. Menurut Wakil Ketua KPK bidang Penindakan, Tumpak H Panggabean, KPK bisa memberi izin keluar sementara kepada Sjahriel mulai 12 Januari 2007. Sjachriel diperiksa di RS Polri Kramat Jati dengan kawalan ketat dua penyidik KPK.

Proses penyidikan terhadap Sjachriel memang harus dilakukan teliti dan cermat. Pasalnya, ia mengaku pernah berupaya menghentikan penyidikan KPK, dengan meminta bantuan oknum pimpinan Komisi III DPR RI, berinisial AS dari FKP, dan memberikan ”uang jasa” sebesar Rp 2,75 miliar.

Namun, belakangan, Sjachriel seperti dikibuli. Pasalnya, setelah ”uang jasa” diberikan, penyidikan toh tetap berjalan, bahkan ia langsung ditahan. Merasa gagal, si anggota dewan ini pun mengembalikan ”uang jasa” tersebut. Tetapi masih kurang Rp 500 juta, dengan alasan sudah telanjur dibagikan kepada sejumlah anggota Komisi III. Nah, ini menjadi tantangan KPK untuk memberantas korupsi, termasuk menindak anggota DPR yang kerap jadi calo perkara.

Sang Jenderal Dicomot dari Rumah Sakit

Siapa bilang jenderal sekarang kebal hukum? Buktinya, Mayjen TNI (Purn.) Gusti Sjaifudin akhirnya kena batunya juga. Setelah berkas perkaranya dinyatakan lengkap (P-21), sepasukan polisi dari Polda Kalimantan Timur datang ”mencomotnya” dari Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta, untuk dilakukan penyerahan tahap kedua kepada jaksa penuntut umum.

Sebelumnya, setelah buron dan menyerahkan diri, penahanan Gusti sempat dibantar di Rumah Sakit Polri, lantaran penyakit jantung yang dideritanya. ”Pemberkasan kasusnya sudah selesai. Tahapan berikutnya tinggal menyerahkan tersangka,” kata Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Kalimantan Timur, Kombes Pol. I Wayan Tjatra. ”Kemarin, Rabu (7/2), dia sudah kita serahkan ke Kejati Kaltim,” tambah Wayan.

Sejatinya, tidak ada yang istimewa dengan kasus Gusti Sjaifudin. Ia berurusan dengan hukum setelah Tim Mabes Polri dan Polda Kaltim, sekitar Mei 2006, menemukan adanya penyimpangan dalam Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) di Desa Sajau, Kecamatan Tanjung Palas Timur, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur.

Dugaan ini menguat, karena IPK milik PT Tunggul Buana Perkasa (PT TBP) ternyata telah habis masa berlakunya terhitung sejak Maret 2003. Selain itu, kepolisian juga menyita 18 unit traktor dan 6.214,3 meter kubik kayu atau 1.242 batang. Kayu dilelang Rp 3.025.864.660, untuk kemudian dijadikan barang bukti.
Sampai di situ, kasusnya masih mengalir datar. Beritanya baru menjadi headline media massa ketika Gusti, setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, tiba-tiba menghilang. Padahal, ketika itu, Kapolda Kaltim Irjen Pol. DPM Sitompul sempat mengatakan kepada pers, Direktur PT TBP itu tidak ditahan karena kooperatif. Sehingga, kaburnya Gusti tak pelak menampar muka jajaran Kepolisian Daerah Kaltim. Belum lagi isu kongkalikong polisi dengan Gusti yang kemudian merebak.