Friday, April 6, 2007

Imam Kabul Selangkah Lagi Jadi Tersangka...?

Dua orang staf Wali Kota Batu ditahan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, terkait perkara korupsi rekayasa kenaikan pangkat dan jabatan. Imam Kabul, Wali Kota Batu, selangkah lagi akan ditetapkan menjadi tersangka.

Selayaknya lakon dalam film India, penanganan kasus korupsi sering menari berputar-putar. Bila tak sering diawasi, bisa mengendap lalu setelah itu hilang tak jelas. Proses hukum kasus rekayasa kenaikan pangkat dan jabatan di lingkungan Pemerintahan Kota Batu juga pernah bernasib sama. Tak percaya? Pada era Kajati Jatim dipegang M.S Raharjo, Wali Kota Batu Imam Kabul, pejabat yang paling bertanggungjawab dalam kasus itu justru dapat tetap melenggang dengan penuh percaya diri.

Ketika itu, Kejati Jatim hanya menetapkan dua pembantunya sebagai tersangka. Mereka adalah Kepala Bagian Kepegawaian Budiono Ikhsan, dan Kepala Sub Bagian Mutasi Herry Satmoko. Sayangnya, penetapan kedua tersangka oleh Kejati Jatim tersebut tidak serta merta membuat proses hukumnya berjalan lancar.

Sekadar menyegarkan ingatan, seperti pernah ditulis Investigasi (Edisi 12 th 1). Geger di lingkungan Pemkot Batu ini, bermula dari kenaikan pangkat dan jabatan 69 PNS di lingkungan Pemkot Batu yang ditengarai penuh dengan rekayasa. Termasuk Imam Kabul yang kenaikan pangkatnya tergolong istimewa. Bagaiamana tidak, dua kali naik pangkat dalam tiga bulan.

Kok bisa? Bukan hal aneh sebenarnya. Sebagai penguasa tertinggi di wilayah Batu urusan menaikkan pangkat atau jabatan bukan hal sulit baginya. Lihat saja, awal tahun baru 2002, Imam mendapat kenaikan pangkat dari Pembina (IV/a) menjadi Pembina Tingkat I (IV/b). Tak lama kemudian, berselang 90 hari, lelaki kelahiran Sumenep, 21 Desember 1952 ini kembali mendapat kenaikan pangkat menjadi Pembina Utama Muda (IV/c). Pangkat naik, tentu saja pendapatannya ikut terdongkrak naik. Gaji pokoknya saja naik dari Rp 1.192.900 menjadi Rp 1.279.600. Belum lagi tunjangan lainnya.

Tetapi ada yang unik dari kenaikan pangkat Imam Kabul. Surat Pertimbangan Teknis Kepala Kantor Regional II Badan Kepegawaian Negara (BKN) ternyata memiliki nomor yang sama antara kenaikan pangkat pertama dengan yang berikutnya. Kedua-duanya bernomor CB 6538000315. Padahal, kedua surat tersebut dikeluarkan pada tanggal yang berbeda, yakni 29 April 2002 dan 22 Juli 2002. Tak ayal, keganjilan ini seolah menegaskan, kenaikan pangkat Imam Kabul memang penuh dengan rekayasa.

Hanya itu keganjilannya? Tentu tidak. Ketika ditelusuri lebih jauh, petikan Surat Keputusan Wali Kota Batu yang ditandatangani Sekretaris Daerah Batu M. Haryono Anwar, SH, untuk kenaikan pangkat Imam yang pertama dengan yang kedua, ternyata sama yaitu 823.4/353/422.015/ 2002. Kecurigaan tersebut menjadi semakin lengkap ketika terungkap fakta bahwa penetapan kenaikan pangkat Imam itu ditandatangani oleh dirinya sendiri dan lebih eloknya lagi, antara yang surat pertama dan yang kedua hanya berselang dua hari!

Belakangan terungkap, rekayasa kenaikan pangkat tersebut bukan hanya dilakukan pada diri Imam Kabul sendiri. Pak Wali ternyata juga menyetujui rekayasa kenaikan pangkat bagi 69 PNS di lingkungan Pemkot Batu.

Cerita inilah yang kemudian merebak. Hingga kemudian, Kejati Jawa Timur turun tangan melakukan serangkaian penyidikan. Hasilnya, setelah memeriksa sejumlah saksi serta menelisik setumpuk dokumen, Kamis, 23 Maret 2002, Kejati Jatim menetapkan tiga orang pejabat di Pemkot Batu menjadi tersangka, seperti yang dikisahkan di awal cerita.

Salah satu bukti awal yang dijadikan dasar menetapkan Imam Kabul sebagai tersangka adalah surat memo kepada bawahannya. Memo inilah yang kemudian oleh Kepala Kepegawaian daerah Pemkot Batu Budiono Iksan dan Kepala Sub bagian Mutasi Heri Soemoko digunakan sebagai dasar untuk menaikkan pangkat pegawai dan pejabat di lingkungan pemkot Batu.

Untuk rekayasa pengangkatan PNS, modus yang dilakukan terbilang sederhana. Cara pertama, 27 PNS pengangkatannya dilakukan tanpa nota persetujuan dari Badan Kepegawaian Negara (BKN). Sementara untuk 42 PNS lainnya, nota persetujuan dari BKN direkayasa dan menggantinya dengan nama pejabat yang akan diangkat. Jadi nomor persetujuan sama, tetapi digunakan untuk nama pejabat yang lain.

Cara kedua, dilakukan dengan mengundurkan “terhitung mulai tanggal” (TMT) jabatan terakhir. Misalnya, pejabat dari golongan III/d, yang TMT-nya Januari 2002, diundur menjadi Januari 1999 sehingga bisa naik menjadi golongan IV/a.

Dari rekayasa kenaikan pangkat jabatan ini, terhitung sejak 2002 sampai dengan tahun 2006, setiap pejabat yang pangkatnya dinaikkan negara digerogoti keuangannya kurang lebih Rp 78 juta per orang. Jadi, total jenderal kerugian negara dalam kasus ini berkisar antara Rp 700 juta sampai dengan Rp 1 miliar.

Statusnya menjadi simpang siur
Walau sebenarnya kasus ini terang benderang dan bukti awal yang didapat sudah cukup untuk menjerat Imam Kabul, toh, tidak berarti proses hukumnya kemudian berjalan mulus. Sejak di tetapkan menjadi tersangka 10 bulan lalu, nyaris perkaranya hanya jalan di tempat. “Sebetulnya nggak lamban kok, penanganannya berjalan terus,” ujar Kajati Jatim MS Rahardjo ketika ditemui Investigasi ketika itu. Tak lama, status Kabul berubah menjadi saksi. Lho?
“Lagi pula untuk memeriksa wali kota kan harus ada izin presiden. Nggak bisa begitu saja dipanggil untuk diperiksa,” kelit Rahardjo saat ditanya mengapa Imam Kabul tidak kunjung di periksa.

Pak Kajati waktu itu mungkin masih bisa berkelit, karena izin presiden untuk memeriksa Imam memang belum turun. Tetapi ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan suratnya No 99/PresXII/2006 memberikan lampu hijau sekaligus mempersilakan Imam Kabul diperiksa kejaksaan Tinggi, akhirnya Pak Wali pun diperiksa juga, Selasa (13/1).

Tanpa didampingi pengacaranya, Imam diperiksa hampir sembilan jam. Dicecar dengan 24 pertanyaan seputar rekayasa kenaikan pangkat di lingkungan kerjanya. Seusai peneriksaan, Mulyono SH, Kapenkum Kejati menjelaskan, materi pemeriksaan diarahkan seputar kewenangan Imam Kabul sebagai wali kota dalam kenaikan pangkat dan jabatan yang akhirnya menuai polemik itu.

Masih menurut Mulyono, Imam Kabul diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi atas dua tersangka skandal rekayasa jabatan, yakni Budiono Iksan dan Herry Satmoko. Lho?

Ya, perubahan status Imam Kabul menjadi hanya sekadar sebagai saksi inilah yang kemudian menimbulkan keanehan.

Keanehan dan simpang siur status Imam Kabul ini yang kemudian coba dijelaskan oleh Mulyono. ”Selama ini hanya ada dua tersangka dalam rekayasa jabatan PNS di Pemkot Batu, Budiono dan Herry Satmoko.” Mulyono menduga, Devi Sudarso (eks Kepenkum Kejati) terlalu emosional waktu itu. “Yang saya tahu selama ini beliau (Imam Kabul) memang belum menjadi tersangka.”

Bila Kejati bersikap lunak terhadap Imam Kabul, lain lagi perlakuan yang diterima Budiono Iksan. Ia harus segera mencicipi dinginnya terali besi setelah Kejati Jawa Timur menahannya (19/1) seusai menjalani pemeriksaan.

Selang empat hari kemudian, giliran mantan Kabag Mutasi Heri Soemoko diperiksa Kajati Jatim (23/1). Heri sesungguhnya sudah diminta datang ke Kajati sehari sebelumnya, Senin (22/1). Tapi, waktu itu ia hanya mengirimkan salah seorang pengacaranya, memberitahu bahwa Heri sedang sakit dan meminta pemeriksaan di tunda.

Baru keesokan harinya ia bisa datang. Itu pun Heri mesti dampingi pegacaranya. Begitu tiba pukul 10.00, ia langsung masuk ke ruang pemeriksaan dan baru keluar dari ruangan itu pukul 15.45 dengan dikawal tiga orang petugas kejaksaan. Heri langsung menuju mobil yang mengantarnya ke Rutan Kelas I Surabaya. Benar, ia langsung ditahan begitu pemeriksaan usai.

Perlakuan berbeda yang di terima Imam Kabul dibanding kedua bawahannya sebenarnya tidaklah mengherankan. Pasalnya, begitu kasus ini merebak, Imam langsung “bergerilya” mendekati Rahardjo. Pertengahan Juli 2006, dalam sebuah pertemuan di Klub Bunga Resort & Villa, dirancang skenario untuk meloloskan Imam Kabul. Pertemuan tersebut antara lain dihadiri oleh Imam Kabul, MS Rahardjo dan IG Nyoman Subawa, Kajari Batu.

Skenarionya, Rahardjo akan “mengolah” kasus tersebut agar fokusnya bergeser dari kasus korupsi menjadi kasus administratif biasa. Kalaupun kasus tersebut akan terus dilanjutkan, sasaran tembaknya bukan lagi wali kota, melainkan pejabat bawahan lainnya.

Tampaknya, rencana yang disusun dalam pertemuan tersebut berjalan lancar. Sepekan kemudian, setelah pertemuan tersebut (20/07/06), status Imam Kabul yang semula tersangka diturunkan hanya menjadi saksi. Dengan alternatif, kalau pun ada kemungkinan Imam Kabul diperiksa sebagai tersangka, pemeriksaannya diatur; menunggu hasil persidangan Budiono dan Heri.

”Naudzubilahi minzalik... No way...nggak ada itu. Dari mana informasi seperti itu? Ah! Tidak benar, isu saja itu. Kami serius kok,” ungkap Rahardjo, saat dikonfirmasi seputar pertemuan itu.

Serius? Bisa jadi, ucapan Rahardjo sungguh-sungguh alias bukan sekadar isapan jempol. Tetapi yang tidak bisa disangkal, keseriusan dan tindakan tegas Kejati itu selama ini hanya ditujukan kepada Herry dan Budiono yang notabene adalah para bawahan. Terhadap Imam Kabul, Kejati Jatim seperti ompong tak bergigi.
Padahal, selaku pimpinan, mustahil Imam tidak mengetahui perilaku para bawahannya. Apalagi jelas-jelas bukti awal menyebutkan, kenaikan pangkat dan jabatan di lingkungan Pemkot Batu sebagian atas perintah Imam melalui memo kepada Budiono.

Tapi, kini mungkin Imam Kabul tak bisa lagi tenang dan tidur nyenyak. Sebab, Kajati Jatim yang baru, Marwan Effendy, dikenal gemar menahan koruptor. Jaksa yang tak suka cengengesan dan main golf dengan pejabat itu suka menggunakan kacamata kuda dalam mengusut suatu perkara. So, baiklah kita tunggu, kapan Imam Kabul menjadi tersangka dan ditahan. Oke? L


Terganjal Makelar Tanah...

“Power tends to corrupt. Absolute power corrupt absolutely,” kata Lord Acton di akhir abad 19. Imam Kabul mungkin tak kenal siapa Lord Acton. Tetapi itulah yang
terjadi, jabatannya sebagai walikota Batu memberinya kesempatan untuk korupsi.

Belum lagi kasus kenaikan pangkat dan jabatan PNS dilingkungan pemkot Batu beres endingnya, Imam Kabul diduga terlibat dalam mark up pengadaan rumah perwakilan pemkot Batu di Jakarta.

Kasus ini sendiri bermula ide mendirikan kantor perwakilan pemkot Batu di Jakarta. Yang disampaikan Imam Kabul dalam sidang paripurna DPRD kota Batu, 15 Desember 2003. Waktu itu agenda sidangnya membahas pembacaan jawaban walikota atas pandangan umum fraksi-fraksi terhadap nota keuangan rancangan APBD kota Batu tahun 2004. Menurut perkiraan Imam Kabul, proyek ini akan menghabiskan dana sebesar Rp 2 miliar.

Karena alasannya memang masuk akal, gayungpun bersambut. Rencana tersebut langsung disetujui dewan. Masalah kemudian timbul ketika pembelian yang dilakukan oleh sekertaris daerah kota Batu Haryono Anwar SH tak sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya.

Nilai transaksi kedua bidang tanah itu (lengkap dengan perolehan hak atas tanah dan bagunan) masing-masing sebesar Rp 579 juta dan Rp 530 juta. Jadi total yang dikeluarkan untuk pembelian dua bidang tanah tersebut sebesar Rp 1,1 miliar.

Tetapi persoalannya, kedua bidang tanah itu tidak dibayar langsung dengan Surat Perintah Untuk Membayar yang di keluarkan oleh Pemkot Batu dan di tandatangai oleh pemilik tanah. Haryono Anwar justru melakukan transaksi atas namanya sendiri, dengan bukti pembayaran berupa kuitansi biasa yang di ketahui oleh Sukarto, wakil ketua DPRD kota Batu. Angka yang tercantum dalam kuitansi itu Rp 2 milliar, hingga ada selisih sekitar Rp 900 juta dari harga tanah yang sebenarnya.

Setelah pembayaran beres barulah kemudian balik nama kepemilikannya dilakukan. Tetapi bukannya langsung atas nama Pemkot Batu, Haryono mengganti atas namanya sendiri. Belakangan karena ditegur BPK kepemilikan tersebut dialihkan kepada pribadi Imam Kabul.

Ketika kemudian kasus itu merebak, Imam menepisnya dengan mengatakan bahwa telah diadakan pelepasan hak atas nama Imam Kabul kepada Walikota Batu atas nama Pemkot Batu. Tetapi dokumen Kantor pertanahan Jakarta Timur jelas berkata lain. Tampak, dalam dokumen tersebut bahwa 26 April 2004 telah dilakukan balik nama asset SHM No 484 luas 435 meter persegi dari M Haryono Anwar SH kepada Drs Imam Kabul. Balik nama juga dilakukan untuk bidang tanah yang satunya.

Padahal prosedur yang semestinya dalam transaksi tersebut seharusnya Surat Perintah Untuk Membayar (SPMU) di tandatangi oleh Soebandi (pemilik tanah sebelumnya). Jika ternyata yang menandatangi SPMU tersebut adalah pejabat pemkot Batu sendiri, artinya telah terjadi penggelapan. Dan pejabat pemkot Batu bertindak sebagai makelarnya.

Sayangnya, seperti kasus-kasus lainnya yang layu sebelum berkembang. Kasus pengadaan rumah perwakilan ini pun bernasib sama, masuk keranjang sampah aparat. Polda Jawa Timur melalui Tipikornya sebenarnya pernah berupaya untuk menyidik kasus ini. Tetapi urung karena staf pemkot batu yang diperiksa mengaku perkaranya sudah di tangani Kejari Batu. Padahal sejatinya kasus tersebut belum disentuh sedikitpun oleh kejaksaan.