Friday, April 6, 2007

Empat Kasus Melilit Dedy Garna

Dalam satu waktu, empat kasus pidana langsung menjerat pengusaha asal Bandung, Dedy Budiman Garna. Namun, yang paling menyita perhatian, tentu saja terkait sepak terjangnya dalam menilep dana Tunjangan Wajib Perumahan (TWO) milik prajurit TNI Angkatan Darat.

Museum Rekor Indonesia (MURI) mungkin perlu menimbang nama Dedy Budiman Garna sebagai ”tokoh” yang layak memperoleh plakat pemecah rekor. ”Prestasi”-nya memang ruarr biasa. Bayangkan, dalam satu kurun waktu, ia harus menghadapi dan menjadi pesakitan pada empat kasus pidana sekaligus. Hebatnya lagi, seluruhnya kental beraroma korupsi.

Kini, lelaki 53 tahun yang mulai ”meroket” saat namanya masuk menjadi salah satu terdakwa kasus korupsi penggelapan dana Tunjangan Wajib Perumahan (TWP) prajurit, itu memang harus bersiap untuk mengisi hari-harinya dengan agenda sidang. Bisa diperkirakan, berapa lama kelak sisa hidupnya yang harus ia lewati di balik jeruji besi.

Saat ini saja, ketika perkara korupsi dana prajurit di lingkungan TNI Angkatan Darat tersebut disidangkan, Dedy Garna sudah harus menjalani hukuman penjara 3,5 tahun. Itu terjadi setelah Mahkamah Agung menerbitkan putusan kasasi dalam perkara pidana penipuan dan penggelapan, berdasarkan laporan Bupati Kutai Kertanegara, Syaukani HR.

Sedangkan dua kasus lain yang bakal segera dihadapi laki-laki yang berpenampilan bak seorang kiai ini, yakni: dugaan korupsi di PT Petral dan penyalahgunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2004 Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Hari-hari ini, ia meringkuk di sel tahanan Kejaksaan Agung.

Dalam kasus TWP, Dedy adalah orang yang mengajak Kepala Badan Pengelola Tabungan Wajib Prajurit (BPTWP) Kolonel Ngadimin Darmo Sujono, untuk mengeluarkan dana Rp 100 miliar dan menginvestasikannya. Nama Dedy sendiri muncul dari pengakuan Ngadimin di persidangan. Dua nama lagi yakni Samuel Kristianto (Ketua Yayasan Mahanaim-Bekasi Barat) dan Rafael Harry Wong (belum tertangkap). Selain itu, disebut pula seorang perwira tinggi dengan pangkat Mayjen berinisial ”SM”, yang disinyalir ikut menikmati aliran dana.
Berdasarkan pelacakan Pusat Intelijen Angkatan Darat, selama kurun waktu 28 Februari-28 November 2005, Dedy diketahui sudah empat kali menerima transfer dana dari rekening Ngadimin dan Samuel. Masing-masing pada 26 dan 27 April, 2 Mei, serta 2 Agustus 2005. Besarnya Rp 15 miliar, Rp 12 miliar, Rp 13 miliar, dan Rp 2,3 miliar. Seluruhnya disetor ke rekening Dedy di Bank Mandiri Cabang Ragunan, Jakarta Selatan.

Dedy Garna, bisa dibilang, memang aktor utama yang memperoleh aliran dana terbesar. Ia menerima sebanyak 30-40 persen dari total aliran dana yang diselewengkan. Di luar itu, Dedy kini juga menyandang status tahanan Kepolisian Daerah Jawa Barat karena kasus korupsi PT Petral, anak perusahaan Pertamina.

Sayang, keluarga Dedy yang tergabung dalam PT Khidmah Fajr Bandung, tak bisa dimintai konfirmasi. Kedua kantor mereka di Jakarta telah pindah alamat, sedangkan di kantor Bandung tidak ada orang yang bisa dimintai keterangan.

Ngadimin dan Samuel kemudian juga mengikat perjanjian dengan PT Khidmah Fajr Bandung milik keluarga Dedy Garna untuk pembelian Repo Oil Bond Production Certificate senilai US$ 65 juta.

Kendati telah mengantongi uang tabungan prajurit sebanyak Rp 43,8 miliar, Dedy masih mampu menilai bahwa dakwaan jaksa penuntut umum merupakan skenario dusta. Bahkan, menurut alibinya, kontrak Repo Oil Production Bond miliknya bertujuan sebagai transaksi penyelamatan dua terdakwa lain agar dapat langsung dipercaya Bank Credit Industriel et Commercial Banque Privee Singapore.

Persidangan koneksitas
Fokus perhatian Dedy, sulit dimungkiri, untuk sementara memang tercurah pada prosesi persidangan kasus korupsi TWP. Sampai Senin (5/2) lalu, persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan masih berkutat pada keberatan (eksepsi) terdakwa, berkaitan dengan sah-tidaknya dakwaan jaksa dan bertentangan-tidaknya dengan hukum acara pidana.

Putusan sela yang dibacakan majelis hakim yang diketuai Soedarmadji pada Senin siang itu, intinya menolak eksepsi terdakwa dan memerintahkan jaksa melanjutkan pemeriksaan. Majelis hakim beranggotakan Wahjono dan Mayor CHK Budi Purnomo juga menyatakan, surat dakwaan jaksa sah dan tidak bertentangan dengan hukum acara pidana. Ariano Sitorus, penasihat hukum Samuel Kristianto, langsung menyatakan banding atas putusan sela majelis hakim. Hal itu diikuti oleh penasihat hukum Ngadimin dan Dedy Garna.

Berkaitan dengan eksepsi Ngadimin perihal anggota hakim koneksitas yang pangkatnya dua tingkat lebih rendah dari dirinya, majelis hakim mempertimbangkan, berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Militer, sah saja apabila seorang militer berpangkat lebih rendah menangani anggota militer yang pangkatnya lebih tinggi. ”Tidak ada aturan dalam KUHAP yang mengharuskan pangkat hakim lebih tinggi daripada terdakwa,” kata hakim.
Sedangkan mengenai surat dakwaan, hakim menilai telah memenuhi syarat formal dan material. Penuntutan sudah sah, sesuai aturan yang berlaku. Sementara perihal siapa yang dirugikan dalam perkara ini, akan dipersoalkan dalam pokok perkara. Jadi? Jalan memang masih panjang. Artinya, masih tersedia cukup waktu bagi MURI untuk mengukir dan menyiapkan plakat pemecah rekor bagi Dedy.