Friday, April 6, 2007

KBC ; Analisa Berita

Delapan Keganjilan Itu

Kekalahan Pertamina dalam persidangan arbitrase internasional Uncitral, diwarnai beraneka keganjilan. Mulai dari masalah teknis seputar persidangan, korupsi, hingga ”kecerobohan” Pertamina maupun pemerintah sendiri dalam melakukan deal kerja sama dengan KBC. Investigasi menghimpun setidaknya ada delapan keganjilan di balik kekalahan Pertamina melawan KBC.


Pertama, setelah KBC menyampaikan pemberitahuan gugatan arbitrase, Pertamina tidak segera menunjuk arbiter yang dikehendakinya. Akibatnya, sesudah lewat jangka waktu 30 hari – berdasarkan ketentuan Pasal 13.2 Joint Operation Contract (JOC) – penunjukan arbiter dilakukan oleh Sekretaris Jenderal ICSID (International Centre for Settlement of Investment Disputes) tanpa membutuhkan persetujuan para pihak yang bersengketa.

Seperti diketahui, berdasarkan ketentuan Pasal 8 Energy Sales Contract (ESC), Pertamina dan KBC berhak menunjuk masing-masing 1 (satu) arbiter. Para arbiter tersebut lalu menunjuk arbiter ketiga, sebagai chairman. Ini sesuai dengan Konvensi New York 1958, Pasal V (1) (d), ”susunan arbiter harus menurut prosedur yang telah disetujui oleh para pihak dalam klausul arbitrase.”

Tidak digunakannya kesempatan berjangka waktu 30 hari untuk mengangkat arbiter yang dipilihnya, menyebabkan Pertamina dan PLN tidak memiliki arbiter yang dipercaya dapat bertindak adil, obyektif, dan menguasai ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam kenyataan, arbiter yang duduk di majelis arbitrase memang berpihak kepada KBC, sehingga hasil putusannya sangat merugikan Pertamina dan PLN.

Kedua, pada preliminary award, Majelis Arbritase Uncitral telah menyatakan bahwa tindakan pemerintah Indonesia menerbitkan Keppres No. 39 Tahun 1997 juncto Keppres No. 5 Tahun 1998 bukan merupakan wanprestasi, melainkan force majeure, sehingga membebaskan kewajiban pemerintah. Anehnya, ketika sidang dibuka kembali, majelis arbitrase dengan tegas menyatakan: Pertamina dan PLN telah wanprestasi.

Pernyataan ini telah ”menjungkirbalikkan” akal sehat orang yang awam hukum sekalipun. Lebih aneh lagi, pihak Pertamina sama sekali tidak memberikan pernyataan berkeberatan. Padahal, sikap penolakan tegas dapat disampaikan Pertamina ketika persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan.

Yang harus dipahami, dalam kasus ini Pertamina dan PLN dikualifikasi sebagai pihak yang mengalami ketidakmampuan secara hukum (incapacity). Mereka harus tunduk dan patuh terhadap keputusan pemerintah yang menangguhkan Proyek Karaha Bodas melalui Keppres No. 5/1998. Menurut ketentuan hukum Indonesia, Keppres tersebut merupakan tindakan publik yang dibenarkan, bahkan memiliki kapasitas dan legitimasi sebagai peraturan perundang-undangan yang berlaku sah. Terlebih, hal itu diputuskan berdasarkan rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF), dengan tujuan mengamankan kesinambungan perekonomian nasional.

Dengan demikian, menurut ketentuan hukum Indonesia, peristiwa ini dikualifikasi sebagai force majeure yang membebaskan Pertamina dan PLN dari kewajiban membayar penggantian biaya kerugian. JOC dan ESC yang telah ditandatangani pun menjadi tidak dapat dijalankan dan dilaksanakan (null and void inoperative or incapable of being performed).

Ketiga, Pertamina tidak melakukan bantahan, protes, dan penolakan meski mengetahui majelis arbitrase telah melakukan kesalahan mendasar, yakni: melakukan penggabungan perkara tanpa persetujuan atau di luar kewenangan yang diberikan oleh para pihak. Antara JOC yang dilakukan KBC dengan Pertamina, dengan ESC yang ditandatangani KBC-Pertamina dengan PLN, secara kontraktual berbeda dan mempunyai kepentingan yang berlainan.

PLN, selaku pihak Turut Tergugat, posisinya adalah pembeli listrik, sedangkan KBC selaku Penggugat adalah penjual listrik yang berada satu wadah dan berperan serta terkait erat dengan Pertamina selaku Tergugat. Karena kegiatan KBC selaku
Penggugat baru pada tahapan eksplorasi dan belum menghasilkan energi listrik (apalagi sudah menjualnya), maka perkara yang terjadi sebenarnya belum masuk wilayah perselisihan penyediaan tenaga listrik. Dus, tidak punya korelasi perselisihan hukum dengan PLN, apalagi menempatkannya sebagai pihak yang Turut Tergugat, bahkan diputuskan ikut membayar ganti rugi secara tanggung renteng.

Perselisihan baru pada lingkup hukum perjanjian JOC, yang hanya melibatkan KBC dan Pertamina sebagai para pihak. Kewajiban PLN untuk mengambil tenaga listrik masih sangat jauh, sehingga tidak masuk akal bila diputuskan melakukan kewajiban kontraktual membeli listrik.

Ketika Proyek PLTP Karaha Bodas dihentikan, KBC baru mencapai tahap eksplorasi atau pencarian uap panas bumi. Setelah diketemukan, KBC masih harus membangun fasilitas pengumpulan uap, pemipaan, pencarian dana pembangunan fasilitas pembangkit listrik sekaligus pengujiannya. Semua itu dilakukan dengan memakan waktu biaya dan risiko.

Berdasarkan Pasal 4.3 ESC, KBC wajib menyiapkan dana sedikitnya US$ 500 juta (project financing). Dana tersebut dapat berupa pinjaman (borrowing money) dari bank atau modal sendiri (equity). Dalam konteks ini, KBC sesungguhnya justru dapat dikualifikasi telah melakukan akal-akalan. Pasalnya, berdasarkan bukti surat KBC tanggal 10 Februari 1998, KBC menyatakan tidak bisa memperoleh pembiayaan proyek. Jelasnya, KBC sebenarnya telah sadar proyek tersebut tidak akan mampu diselesaikannya. KBC juga paham, tidak ada dasar untuk meminta PLN membayar tenaga listrik yang memang tidak pernah disediakan.

Keempat, Pertamina dan kuasa hukumnya membiarkan dan tidak mengingatkan, ketika majelis arbitrase menjalankan proses persidangan dengan tidak berdasarkan ketentuan yang sudah disepakati para pihak. Pasal 20 JOC dan Pasal 12.1 ESC menyebut secara tegas, perjanjian ini tunduk pada hukum dan peraturan pemerintah Republik Indonesia. Namun dalam kenyataan, majelis arbitrase telah mengesampingkan sekaligus melanggar ketentuan hukum Indonesia. Bahkan, bertindak di luar batas kewenangan yang dimiliki (eceed its powers).

Seperti di negara-negara lain, hukum di Indonesia mengatur pula perihal pemerolehan kembali atas laba yang hilang (lucrum cessans) sebagai bagian dari ganti rugi terhadap pihak yang tidak bersalah. Juga, dalam hal pelanggaran kontrak yang tidak dapat diampuni, selain kerugian yang dikenal sebagai damnun emergens. Namun dalam penerapannya, hukum Indonesia dibatasi oleh apa yang disebut sebagai ”kerugian yang dapat diperhitungkan sejak semula (foresseable)”. Jelasnya, suatu pembayaran ganti rugi harus didasarkan atas bukti-bukti kerugian yang nyata.

Ironisnya, persidangan arbitrase internasional Uncitral nyata-nyata berlangsung tidak berdasarkan kebenaran dan kepatutan (ex aequa et bono), sebagaimana prinsip yang seharusnya dianut. Juga, tidak dibuktikan terlebih dahulu sesuai dengan ketentuan Pasal 1865 KUH Perdata dan Pasal 163 HIR, serta mempertimbangkan aspek kewajaran (appropriateness). Hanya karena alasan telah wanprestasi, Majelis Arbitrase Uncitral menghilangkan hak Pertamina dan PLN untuk menanyakan kewajaran nilai klaim ganti rugi KBC.

Ini menunjukkan, kualitas pertimbangan Majelis Arbitrase Uncitral pada putusan ganti rugi terhadap rencana pendapatan yang hilang (lost profit) bersifat meraba-raba, sangat spekulatif dan fiktif, karena tidak didahului dengan membuktikan adanya kerugian secara riil. Singkatnya, hanya mendasarkan pada perkiraan dan pertimbangan yang kelewat prematur, sehingga cenderung menyederhanakan persoalan.

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI dalam putusan nomor: 525K/SEP/1973 tanggal 17 Oktober 1973 menyatakan: ”...suatu perkara ganti rugi karena perjanjian yang tidak terpenuhi, majelis hakim agung telah menolak tuntutan keuntungan yang seharusnya diperoleh (lost profit). Dengan pertimbangan, keuntungan tersebut belum dapat dipastikan, karena dalam perjalanan usaha selalu ada kemungkinan orang menderita kerugian, meskipun berdasarkan perkiraan semula akan mendapat untung.”

Jadi? Sangat jelas, penentuan besarnya keuntungan yang bakal diperoleh KBC – seandainya proyek selesai – sangat spekulatif. Tidak berdasar fakta dan bertentangan dengan prinsip yang dianut dalam sistem hukum Indonesia. Dengan kata lain, perhitungan ganti rugi biaya dan keuntungan yang dilakukan KBC hanya didasarkan pada asumsi spekulatif atau akal-akalan yang menjurus pada tipu muslihat.

Kelima, Pertamina dan PLN pernah mengajukan permohonan untuk membatalkan putusan arbitrase di Swiss Federal Supreme Court. Namun tidak berhasil, bahkan memalukan, karena hanya lantaran faktor: tidak membayar biaya pemeriksaan pada waktunya, Swiss Federal Supreme Court akhirnya menolak permohonan tersebut.
Keenam, dalam argumentasi pembelaan dan penolakan atas gugatan KBC, Pertamina tidak pernah memakai dan menekankan adanya unsur tindak pidana korupsi, manipulasi pajak, dan mark-up investasi dalam Proyek KBC. Padahal, secara universal korupsi merupakan ”simbol” paling radikal dari perilaku yang memiliki itikad tidak baik.

Sekurang-kurangnya, Pertamina dapat meminta penundaan waktu untuk melakukan legal due dilligence. Uji tuntas hukum ini meliputi aspek finansial, untuk mengetahui nilai nyata investasi KBC sesudah proyek dihentikan, dan aspek teknis, berkaitan dengan jumlah kandungan energi, nilai keekonomian, dan sebagainya. Legal due dilligence seharusnya bahkan sudah dilakukan Pertamina menjelang proyek dihentikan.

Sedikit kilas balik, pembelaan Pertamina pada intinya terdiri atas tiga bagian. Pertama, menyatakan, KBC tidak berhak menerima ganti rugi – tetapi hal itu dinyatakan tanpa kualitas argumentasi yang memadai. Kedua, menyatakan, ganti rugi harus dikurangi US$ 32,2 juta karena KBC melakukan inefisiensi. Ketiga, minta agar pembayaran ganti rugi dilakukan dalam bentuk rupiah, sesuai nilai tukar saat biaya dikeluarkan.

Bantahan pembelaan Pertamina, selaku Tergugat, justru malah menguntungkan posisi hukum Penggugat, sekaligus memudahkan majelis arbitrase memenangkan gugatan KBC. Pasalnya, Pertamina hanya mengkualifikasi dan mendalilkan, KBC telah mengeluarkan ongkos sebesar US$ 32,2 juta dengan sia-sia, karena tidak tepat dan tidak efisien dalam melakukan eksplorasi.

Melengkapi argumentasinya, Pertamina – merujuk laporan ahli – menyatakan: selama dua tahun KBC berkonsentrasi melakukan eksplorasi di Utara Karaha, tapi tidak produktif dan tidak mendapat manfaat apa-apa. Padahal, apabila program penelitian geologi yang mengukur kadar konduktifitas listrik pada batu itu tidak dilakukan, sesungguhnya jutaan dolar AS dapat dihemat.

Pertamina juga menyatakan, KBC telah salah memilih daerah proyek, yakni: daerah kawah di Telaga Bodas yang disinyalir mengandung zat-zat kimia. Adanya kandungan itu membuat daerah tersebut tidak aman untuk pengolahan sumber panas bumi. Sedangkan dari segi komersialisasi, usaha pembangunan tersebut tidak praktis.

Ketujuh, klaim KBC atas kehilangan laba sebesar US$ 512,5 juta dan diputuskan lembaga arbitrase internasional sebesar US$ 150 juta, selain mengacu pada harga jual listrik yang sudah di mark-up, juga bertolak dari estimasi kandungan energi yang secara materiil diragukan kebenarannya, yakni 210 MW. Klaim tersebut semata-mata mendasarkan pada NORC, yang diperbaharui tanggal 16 Desember 1977, dan ditelan mentah-mentah oleh forum arbitrase internasional.

Mengacu pada hasil due dilligence, bila dilakukan pengembangan, cadangan energi yang ada di Karaha Bodas maksimum hanya 120 MW. Bahkan, realitas di lapangan sampai hari ini hanya 30 MW. (Perihal jumlah kandungan energi yang sebenarnya tersedia dapat dipelajari dari hasil laporan final uji tuntas yang dilakukan ELC Electroconsult).

Kedelapan, kelemahan pemerintah ternyata sudah terjadi sejak proses pembuatan dan penandatanganan perjanjian. Berdasarkan JOC maupun ESC, Pertamina tidak memiliki hak untuk menyatakan keberatan dan menolak keinginan KBC membangun energi panas bumi dengan jumlah yang dinyatakan dalam NORC dan NOID. Pertamina hanya diperkenankan ”secara teknis mengevaluasi” energi panas bumi di bawah NORC, sekadar untuk ”bahan” diskusi mengenai ketepatan data teknis kandungan energi. Celakanya, kesempatan ini pun ternyata tidak dilakukan oleh Pertamina.

Mencermati delapan keganjilan di atas, wajar bila kemudian timbul dugaan: telah terjadi ”persekongkolan jahat” di balik kekalahan Pertamina pada persidangan arbitrase internasional Uncitral, dengan tujuan membobol uang negara ratusan juta dolar yang melibatkan oknum pejabat pemerintah Indonesia. l
(ES)