Friday, April 6, 2007

KBC ; Wawancara II

Drg. Mariati Murman Heliarto
SAYA DIKUDETA !
Mungkin tidak ada yang pernah menyangka, orang yang merintis proyek PLTP Karaha Bodas, yang akhirnya berujung pada putusan arbitrase internasional Uncitral dan mewajibkan pemerintah membayar ganti rugi ratusan juta dolar, ternyata seorang ibu.

Realitasnya memang demikian. Sosok tersebut adalah Mariati Murman Heliarto, kini 60 tahun, ibu tiga anak. Ada gelar dokter gigi (drg) di depan namanya. Pada 9 Oktober 1989, ia bersama rekannya Dr. Indah Julianto dan Ir. Sumirin, mendirikan PT Sumarah Dayasakti (PT SDS) yang dikukuhkan berdasarkan akta No. 36, yang dibuat Kantor Notaris Maria Theresia Budisantoso, SH. Dengan menggunakan bendera PT SDS, istri ahli bedah Murman ini lalu terjun ke kancah bisnis pertambangan. Untuk Proyek Karaha Bodas, pada 1989, ia menunjuk Purnomo Yusgiantoro sebagai konsultan.

Perempuan tua ini pula yang dulu berhasil mendatangkan investor Caithness ke Indonesia, kemudian bermitra dengan PT SDS dan membentuk PT Karaha Bodas Company, L.L.C, dengan komposisi saham 90% Caithness dan 10% PT SDS.

Pada awal 1990, Mariati bergabung dengan Tantyo AP Sudharmono dan Loedito Setyawan Poerbowasi dari kelompok bisnis PT Manggala Pratama, yang menyatakan minat bekerjasama, seraya berjanji akan ikut membiayai proyek-proyek Pertamina, termasuk Proyek PLTP Karaha Bodas.

Hasilnya? Boro-boro ikut setor modal, Tantyo Cs justru membuat Mariati harus menerima nasib tragis. Ia dikudeta secara melawan hukum oleh kelompok Tantyo. Peristiwanya berlangsung tepat menjelang kedatangan Presiden Amerika Serikat (waktu itu) Bill Clinton ke Indonesia. Selain untuk menghadiri pertemuan APEC di Bogor, Clinton datang sekaligus untuk mengikuti agenda penandatanganan Kontrak Kerjasama Operasi (Joint Operation Contract/JOC) antara KBC dengan Pertamina dan Kontrak Penjualan Energi (Energy Sales Contract/ESC) antara KBC-Pertamina dengan PLN.
Kepada Investigasi, Mariati bertutur panjang lebar seputar proyek Karaha Bodas, termasuk peran Purnomo Yusgiantoro. Berikut petikan wawancara Investigasi dengan drg. Mariati Murman Heliarto di kediamannya di bilangan Jln. Sawah Lunto, Jakarta.

Ibu seorang dokter, terjun ke bisnis pertambangan. Bagaimana ceritanya?
Ide tersebut bermula dari penawaran seorang kolega saya, Atiek Suwardi, Kepala Divisi Geothermal Departemen Pertambangan dan Energi, pada 1988. Ketika itu, Pertamina sedang gencar mempromosikan pemanfaatan energi geothermal sebagai sumber energi yang tepat dikembangkan. Salah satunya, ya Karaha Bodas itu. Proyek Karaha Bodas target pembangunannya menelan jangka waktu lima tahun, dan diharapkan mampu menghasilkan listrik berkekuatan 120 MW (6 Unit Power Plant x 20 MW). Masa kontraknya 30 tahun. Selain itu, saya juga merintis proyek dua ladang minyak di Tanjung Miring, Sumatera Selatan.

Bagaimana kondisi awal ketika Ibu merintis proyek panas bumi Karaha?
Kami sempat mengalami kendala, karena sulit mencari partner. Estimasi nilai investasi, berdasarkan proposal yang diperbaharui PT SDS-Scotia Geothermal tahun 1993, total dana yang diperlukan sebesar US$ 258 juta. Dalam perkembangannya kemudian, kebetulan saya dapat partner yang berminat, James D. Bishop. Dia adalah pemilik Caithness Resources Inc (Caithness). Mungkin karena kurang modal, James D Bishop menggandeng Jeff Bush, sekarang gubernur Negara Bagian Florida, AS. Jeff adalah adik George W. Bush, Presiden Amerika Serikat sekarang.

Kapan pertama kali kenal Purnomo?
Saya diperkenalkan melalui Dr. Didiet Hadianto yang, pada tahun 1989 itu, seorang pejabat di Pertamina. Ketika itu Pak Didiet bilang: ”Bu Atiek, ini ada yang mau ngelamar nyari pekerjaan”. Kasihan, katanya baru pulang dari Colorado. (Purnomo Yusgiantoro tercatat pernah melanjutkan pendidikan di Colorado, AS. Tahun 1986 meraih gelar M.Sc di Colorado School of Mine Golden, dan memperoleh M.A Ekonomi di Universitas of Colorado at Boulder Main Campus pada 1988. Tahun 1989 pulang ke Indonesia - Red). Purnomo lalu bergabung dan tak lama kemudian membawa serta orang kepercayaannya, Mohamad Bawazeer.

Waktu itu Purnomo berkantor di mana?
Kadang-kadang datang ke Jln. Supomo, pada kesempatan lain dia datang bila kita rapat di hotel.

Soal bergabung ke dalam kelompok bisnis PT Manggala Pratama, bagaimana ceritanya?
Saya membawa serta Purnomo dan Muhamad Bawazeer ke dalam kerja sama dengan kelompok bisnis PT Manggala Pratama pimpinan Tantyo Sudharmono, yang sudah saya kenal sejak kecil. Awalnya, semua berjalan baik-baik saja. Selain lapangan panas bumi Karaha Bodas, kami juga menggarap proyek dua lapangan minyak di Tanjung Miring Timur (TMT), Sumatera Selatan, menggunakan bendera PT Nusantara Energy Prima. Saya sebagai direktur utama, sedangkan Purnomo duduk sebagai salah satu direktur.

Selain sebagai pemegang 5 persen saham, Purnomo juga menjadi Team Leader Proyek TMT. Tetapi dalam perjalanan selanjutnya, menjelang ditandatanganinya JOC dan ESC KBC, saya ditendang keluar. Bukan cuma di KBC, di TMT pun saya juga dikudeta. Lapangan minyak Tanjung Miring belakangan telah dijual, tapi sepeser pun saya tidak dapat.

Purnomo ikut ditendang?
Oh, tidak. Setelah mengikuti kursus Lemhanas, dia aktif menjadi pejabat di Departemen Pertambangan dan Energi. Tetapi hubungan bisnisnya dengan kelompok Tantyo jalan terus, diwakili Muhamad Bawazeer. Saya sadarnya baru belakangan.

Setelah berhasil mewujudkan penandatanganan JOC dan ESC, konon, PT SDS mendapatkan pembayaran commitment fee dari KBC?
Benar. Sesuai kesepakatan yang tertuang dalam MoU, yang ikut saya tandatangani, besarnya 3,25 persen dari project cost atau sekitar US$ 15 juta. Dibayarkan empat tahap. Pertama, 0.25 persen, kemudian berturut-turut, 0.25 persen, 1.75 persen, dan 1.75 persen. Sepengetahuan saya, sepanjang tahun 1995 seluruh uang commitment fee telah diterima, setelah saya dikudeta Loedito Cs dari PT SDS.

Jelasnya?
Uang itu mereka kuasai semua. Saya tidak menerima sepeser pun. Padahal, untuk merintis proyek dari awal, saya telah menghabiskan dana miliaran rupiah. Saya pula yang mendapatkan investor dan mengurus semua tahapan menuju kontrak. Tetapi, semua itu ada hikmahnya. Bila suatu hari kasus Proyek KBC diusut sebagai perkara korupsi, paling tidak saya aman. Karena tidak ikut menikmati uangnya.

Dari mana Ibu tahu commitment fee itu telah dibayar?
Dari Purnomo. Tahun 1995 dengan ditemani Antoni, seorang anggota DPR dan Bayu, saya datang menemui Purnomo di kantornya di Departemen Pertambangan dan Energi. Purnomo ketika itu mengatakan, ”Uang commitment fee bagianmu ada di Loedito.” Tapi saya nggak tahu berapa nilainya waktu itu.

Kapan terakhir bertemu Purnomo?
Ya, saya ingat betul, pada tanggal 13 Januari 2004. Anak saya yang pertama Andra, meninggal dunia. Purnomo datang melayat pada jam 10 malam. Saat itu dia sudah jadi menteri di kabinetnya Megawati. Waktu itu dia sudah jengkel sama saya. Gara-garanya, kwitansi pembayaran dia saat jadi konsultan diambil polisi.

Sekarang, kwitansinya di mana?
Diambil Kombes Pol. Hutabarat (Ketua Tim Penyidik Kasus Korupsi KBC Mabes Polri – Red.). Dia bilang dipinjem.

Disita?
Sita? Nggak ada surat sitanya, kok.

Dalam kaitan harga jual listrik KBC, bagaimana versi sebenarnya?
Dalam ESC KBC, harga jual listrik di-mark up, levelized US$ 72.98 /MWh. Padahal, berdasarkan hasil kesepakatan di Bali hanya US$ 71.48/MWh. Selaku dirut PT SDS, sebelumnya saya ikut mengusulkan. Saya juga heran, kenapa kemudian bisa jadi lebih mahal. Walau hanya selisih 1 poin dari 71, orang awam mungkin banyak yang nggak tahu, selisih secara ekonomi nilainya sangat besar. Kalau harga jual listrik tidak di-mark up, mungkin nilai ganti rugi klaim KBC tidak sebesar sekarang. Si bulenya sudah dijanjiin harga mahal, ya senang saja dia.
Terakhir, apa yang Ibu inginkan sekarang?
Saya hanya ingin hukum ditegakkan. Saya sudah tidak ingin bermimpi punya uang puluhan juta dolar. Saya hanya ingin memperjuangkan apa yang menjadi hak saya. Tidak lebih, tidak kurang.
Purnomo Yusgiantoro

Tidak Benar Ada Commitment Fee”

Tidak mudah meminta konfirmasi langsung dari Purnomo Yusgiantoro. Terlebih jika urusannya menyangkut ”masa lalu” Pak Pur, sapaan karibnya, saat belum menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Itu pula yang dialami Investigasi saat hendak mengonfirmasikan sejumlah hal berkaitan dengan dugaan korupsi dalam Proyek PLTP Karaha Bodas.

Dua kali surat resmi, berikut daftar pertanyaan, dikirim ke kantor Pak Menteri, meminta waktu khusus untuk melakukan wawancara. Namun, hingga sebulan berlalu, kedua surat tak beroleh tanggapan. Padahal, sang sekretaris memastikan, surat Investigasi sudah berada di meja Pak Pur.

Upaya mencegat Purnomo di berbagai kesempatan pun tak kurang dilakukan. Namun, di tengah kesibukannya, praktis hanya komentar ”formal” yang bisa didapat. Sejak Desember 2006, setidaknya tiga kali wartawan Investigasi mencegat Purnomo. Pertama, di kantornya, Kamis (7/12), saat ia bersiap hendak pergi melawat ke Nigeria.

Kedua, usai mengikuti Rapat Kerja dengan Komisi I DPR RI, Senin (29/1), dan terakhir selepas Pak Pur memberikan kata sambutan dalam acara Donor Darah Peduli Sesama, di pelataran kantor Departemen ESDM, Kamis (8/2). Apa saja komentar tokoh kunci yang ikut terlibat sejak dari perencanaan proyek hingga penetapan harga jual listrik Karaha Bodas itu? Berikut rangkuman hasil wawancara di tiga kesempatan terpisah itu:

Sejauh mana penanganan masalah KBC sampai saat ini?
Yang tahu persis tentang KBC, itu Pertamina. Departemen ESDM hanya mengkoordinasikan. Dari awal sampai sekarang, Pertamina tahu betul. Anda cari saja informasinya ke sana.

Pemerintah kan sudah berencana membayar klaim KBC sebesar US$ 320 juta. Konfirmasi Anda?
Itu kan baru rencana, baru wacana. Belum ada bukti kalau pemerintah mbayar, ya ndak? Sebab, dana sebesar itu jelas harus melalui persetujuan Presiden dan Dewan (DPR). Tidak bisa sembrono.

Menkeu Sri Mulyani seolah menyiratkan pemerintah memang mau bayar?
Jangan pakai seolah-olah. Kalau ya...ya, kalau tidak, tidak. Anda harus klarifikasi dengan Menteri Keuangan kalau memang pernyataan itu berasal dari sana.
Jika benar pemerintah berencana membayar klaim KBC, dari pos mana dana sebesar itu mau dianggarkan?
Nah, itu masalahnya. Cuma, kalau memang kita kalah, ya kita harus bayar. Tidak bisa tidak. Dan yang bayar pun Pertamina, bukan departemen saya.

Bukankah rekening pemerintah RI sudah diblokir oleh KBC?
Soal blokir-blokiran, itu urusan Departemen Keuangan. Anda tanya Ibu Sri Mulyani.

Peran Anda dalam Proyek KBC sangat besar, bahkan sejak sebelum Anda menjadi menteri?
(Menatap Investigasi dengan mimik serius). Saya hanya sebagai konsultan waktu itu. Tidak lebih, tidak kurang.

Banyak data menunjukkan, Proyek KBC sejak awal diindikasikan sarat dengan korupsi?
Harus dibuktikan dulu prosesnya bagaimana, dan itu tugas polisi atau jaksa. Kita harus tetap menjunjung asas praduga tak bersalah. Jangan karena Anda dapat informasi sedikit, rumor, langsung dicap sarat korupsi. Buktikan dulu. Anda tidak mau kan dituduh korupsi tanpa ada bukti yang menguatkan?

Ada juga dugaan mark up harga jual listrik yang ternyata lebih mahal?
Lebih mahal bagaimana? Coba Anda bandingkan. Harga Sarua, PLTA Salak, kan lebih tinggi dari Paiton. Persisnya saya lupa. Sedangkan Paiton sendiri mematok US$ 8,5 cent/per kWh, lalu Karaha US$ 7,2 cent/kWh. Mana yang lebih mahal? Jadi, sama sekali tidak benar kalau disebutkan lebih mahal, apalagi terjadi mark up.

Selain itu, dalam kontrak bersama sudah disebutkan, kalau mereka (KBC) baru melakukan tahapan eksplorasi, lalu terbitlah keppres (penghentian proyek). Padahal listriknya belum nyala. Seharusnya kan memang tidak ada kerugian dari pihak mana pun, karena toh proyeknya belum jalan. Jadi, kalau harga listriknya dibilang mahal, itu tidak betul.

Dokumen proyek KBC yang kami miliki sangat jelas indikasi korupsinya, dan itu mengarah ke Anda?
Data yang mana coba? Anda harus melihat kasus ini secara proporsional, harus lihat kontrak-kontraknya. Jangan karena kita kalah di arbitrase internasional, terus dikait-kaitkan dengan saya, seolah-olah ada korupsi atau apalah. Perlu saya tegaskan, kekalahan kita karena terlambat mbayar, sehingga di-past cost.

Setahu Anda, kenapa kita bisa kalah?
Masalah itu saya tidak bisa menjawab. Itu bukan wewenang saya, dan saya memang tidak dalam posisi itu.

Menurut informasi yang kami terima, Anda juga terima commitment fee?Kalau benar-benar dapet, kalian-kalian semua saya kasih. Tapi begini...waktu itu diterbitkan keppres infrastruktur. Seingat saya ada tiga Keppres yang diterbitkan, kemudian ditunda akibat krismon dan desakan IMF. Itu semua mengakibatkan pembuatan kontrak-kontrak menjadi tidak benar. Jadi, tidak benar ada commitment fee.