Friday, April 6, 2007

KBC, Wawancara I

DR. Adnan Buyung Nasution, SH

Bongkar Terus Korupsinya


Menghadapi gugatan KBC di lembaga arbitrase Uncitral, Pertamina dan PLN menunjuk pengacara kondang DR. Adnan Buyung Nasution, SH sebagai pembela. Beberapa kalangan menilai kerja tim pengacara tersebut tidak maksimal. Tetapi benarkah demikian? Berikut wawancara dengan DR. Adnan Buyung Nasution, SH di Bisnis Center Hotel Aryaduta, beberapa waktu lalu.

Dalam kesempatan tersebut Abang, begitu panggilan akrab Adnan Buyung bercerita blak-blakan mengenai KBC dan behind the scene-nya:

Bagaimana ceritanya Abang bisa menjadi kuasa hukum Pertamina?
Pertama, ingin Abang sampaikan penghargaan atas perhatian kalian terhadap kasus KBC. Kasus ini memang sangat memberatkan rakyat jika dilihat dari besarnya uang yang harus dibayar pemerintah. Selain KBC, ada 26 kontrak power plant yang betul-betul merugikan negara.

Kenapa merugikan? Karena kontrak itu semuanya dibuat dengan berbagai kejanggalan, kesalahan, bahkan penuh dengan aroma KKN. Dengan alasan itulah kenapa Abang mau membela dan menjadi kuasa hukum Pertamina dan PLN menghadapi KBC di arbitrase internasional pada November 1998, tujuh bulan setelah KBC mendaftarkan gugatan arbitrase ke Uncitral. Apa yang terjadi sebelumnya, Abang tidak tahu.

Prosesnya, 30 hari setelah notes, dibentuklah majelis arbitase di mana masing-masing pihak mempunyai kesempatan untuk menunjuk arbiternya. Sayangnya, pemerintah RI tidak menggunakan hak tersebut sesuai aturan hukum internasional Uncitral. Maka ditunjuklah Mr. Ahmed Al Khoseri dari Mesir. Praktis, kita sudah nggak bisa apa-apa, karena kita tidak bisa menunjuk arbiter kita sendiri.

Mengapa dalam jangka waktu tujuh bulan itu sama sekali tidak ada tindakan apa pun dari pemerintah RI yang akhirnya berakibat ditunjuknya arbiter asing yang notabene tidak terlalu paham hukum kita. Adakah itu kesengajaan?
Kalau itu, no comment-lah. Tapi nanti after all kalian bisa mengambil kesimpulan ketika Abang cerita soal lain. Abang akan ceritakan kendala-kendalanya membela kepentingan pemerintah di arbitrase ini. Pertama, peradilan arbitrase itu sifatnya tertutup. Lain dengan misalnya pengadilan biasa, yang boleh dibuka untuk umum materinya. Alasan rasionalnya, kalau orang nggak mau berperkara di pengadilan negeri, maka dia bisa memilih ke arbitrase. Itu akan selesai dengan bagus, dan nggak ada yang dipermalukan di kemudian hari. Reasoning dipilihnya pengadilan arbitrase memang untuk menghindari proses peradilan yang terbuka. Karena prinsip itu lah Abang nggak boleh buka mulut masalah proses dan substansi atau proses arbitrasenya.

Kedua, sebagai lawyer profesional, Abang punya kode etik. Kalau Abang ngomong isi perut bagaimana persidangan itu, nanti Abang akan dituntut oleh pihak lawan. Itu memang diatur. Boleh materinya dibuka, asalkan ada izin dari kedua belah pihak yang berperkara. Dalam hal ini pemerintah RI, Pertamina, PLN dan KBC sebagai lawannya. (Pasal 32 Ayat 5 Uncitral). Ini yang membuat Abang nggak bisa ngomong masalah materi dan substansi persidangan di Uncitral. Termasuk, bagaimana jawab menjawabnya, bagaimana proses pemeriksaan saksinya, dan proses-proses formal lainnya.

Lalu, apa yang bisa diceritakan kepada publik kalau pernyataan Abang nggak bisa dikutip?
Okelah, kita bicara kondisi umumnya dulu. Waktu itu, kedudukan kita di mata majelis arbitrase itu sangat terjepit. Kenapa? Semua kontrak yang dibuat itu bermasalah semua. Bukan hanya KBC saja, tetapi juga kontrak-kontrak yang lain. Paiton, Patuha dll, semua ada 27 proyek, sarat dengan KKN.

Dari situ, strategi Abang adalah mengupayakan pembongkaran kasus korupsinya dulu. Dalam hal materi pemeriksaan di arbitrase, kita kan sudah kalah separo nih, karena arbitrase hanya mengadili masalah kontraknya. Bagi arbitrase, contract is contract. Arbitrase nggak peduli hal lain, selain kontrak itu sendiri.

Salah seorang saksi yang Abang pakai waktu itu mengatakan, ”Saya sebenarnya tidak setuju dengan isi kontrak itu, tetapi saya harus teken. Kalau saya tolak, itu namanya bunuh diri”.

Jadi?
Ibarat seorang pendekar, Abang ini disuruh perang di ruang gelap tanpa tahu siapa musuhnya dan siapa kawannya, bahkan kemudian ditusuk dari belakang.

Jujur saja, Abang waktu itu minta mati-matian kepada pemerintah Habibie supaya membongkar korupsinya. Juga tentang pembuatan kontraknya. Habibie setuju, lalu memerintahkan Ghalib sebagai jaksa agung supaya membongkar korupsinya. Waktu itu Ghalib setuju, maka dirapatkanlah masalah itu oleh tujuh menteri.

Ketujuh menteri tersebut ditunjuk oleh presiden untuk membantu dan memberikan segala informasi dan masukan yang diperlukan oleh Abang sebagai ketua tim pembela pemerintah. Menteri-menteri itu, termasuk Hartarto, siap membantu. Ghalib pun bilang siap dan mengatakan: besok akan kirim lawyer terbaiknya untuk menemui Abang untuk memeriksa. Namun, bahkan sampai sekarang, apa yang dijanjikan oleh Ghalib nggak pernah terwujud. Ini yang membuat kasus korupsinya nggak bisa terbongkar. Padahal, itu merupakan strategi utama Abang.

Setelah Abang melihat jalannya proses persidangan, Abang sampai pada kesimpulan, ini memang nggak bisa. Bagaimana pun, ruang gerak Abang sudah sangat terbatas. Lalu, Abang bicara dengan Prof. Priyatna, Ketua BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia). Dia pun menyarankan agar korupsinya dibongkar. Kenapa kita menempuh strategi dengan membongkar korupsinya?

Dengan jaksa agung yang berani membongkar korupsinya, menangkap serta memeriksa semua yang terlibat, lalu proses hukumnya dijalankan, maka dengan bahan itu kita bisa minta bantuan kepada Jaksa Agung Amerika, supaya membongkar juga di pihak Amerikanya. Membongkar berdasarkan UU Foreign Anti-Corrupt Act (UU Anti-Korupsi Asing) yang berlaku di Amerika. UU tersebut mengatur perusahaan Amerika yang melakukan korupsi di luar negeri.

Kalau langkah pembongkaran korupsinya bisa berjalan dengan baik di Indonesia maupun di Amerika, hasilnya bisa kita ajukan ke mahkamah arbitrase. ”Nih, ada perkara korupsi dalam kasus KBC.” Berdasarkan fakta tersebut, kita bisa meminta proses arbitrasenya distop. Kalau pun tidak bisa distop, minimal perkara arbitrasenya ditunda sampai perkara korupsinya jelas dulu. Pemberantasan korupsi adalah jurus pamungkas yang bisa memenangkan kita di arbitrase.

Seandainya Ghalib waktu itu mau membuka kasus korupsinya, seberapa jauh efeknya terhadap peradilan arbitrase?
Oh, besar sekali. Paling tidak, arbitrasenya bisa ditunda proses persidangannya sampai ada keputusan final perkara korupsinya. Dan, satu lagi, yang namanya perjanjian yang didasari oleh perbuatan melawan hukum, maka (perjanjian) itu harus batal demi hukum. Sehingga, klausul arbitrase juga otomatis batal demi hukum.

Itulah mengapa, Abang memaksa menggugat perjanjian tersebut di PN Jakarta Pusat. Dan, itu bukan hanya untuk kasus KBC, lho. Sebenarnya, bila dulu tidak dicabut, bukan hanya kasus KBC saja yang mempunyai back up kuat, tetapi juga Dieng Patuha, Paiton dan semua kontrak power plant lainnya. Ini akan menguntungkan posisi pemerintah. Belum lagi kalau diplomasi luar negeri kita bagus, dengan mengadili KBC di sini kita juga bisa mendesak jaksa agung Amerika dengan bahan yang kita suplai untuk ikut mengusut dugaan persekongkolan, manipulasi dan korupsi yang dilakukan KBC di Indonesia.

Oh ya, bagaimana dengan Purnomo. Apa yang Abang ketahui tentang perannya dalam KBC?
No comment. Kalian sudah tahu dan hanya minta konfirmasi kan? (Tertawa) Jadi, Abang coba buka 27 kasus itu, terutama yang paling berat, Paiton. Dalam pertemuan dengan tujuh menteri tadi, mereka umumnya takut. Tetapi setelah dibujuk-bujuk, yang paling mendukung cuma Kuntoro Mangkusubroto. Satu-satunya menteri yang jujur waktu itu, menurut saya.

Belakangan, setelah semua menteri setuju, Hartarto sebagai ketua tim bilang, “Bang, soal ini nggak bisa kita putusin sendiri. Mesti dibawa ke presiden.” Jadi, berangkatlah kita ke Habibie, minta izin dari dia untuk membongkar korupsi pada kontrak-kontrak itu dengan cara membuat kasunya bisa diadili di PN Jakarta. Dari situ, Abang gugatlah kontrak-kontrak itu di PN Jakarta Pusat. Dunia internasional geger, perkara Paiton digugat di Jakarta. Saya pikir, strategi ini tepat.

Di tingkat pertama kasus itu, kita menang. Waktu itu, tergugat mendalilkan bahwa PN Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili kasus ini, karena ada klausul arbitrase. Abang tahu itu. Lalu, Abang bilang, yang dipersoalkan bukan masalah isi perjanjiannya. Itu memang kewenangan arbitrase. Abang hanya menyoroti perkara bagaimana proses terbentuknya kontrak yang sarat dengan korupsi. Alasan itu diterima hakim. Eksepsi lawan ditolak oleh PN. Tambah geger, karena Paiton kalah.

Tiba-tiba, ketika terjadi pergantian kepemimpinan dari Habibie ke Gus Dur. tanpa setahu Abang dan klien Abang si Satria (dirut PLN), perkara itu dicabut dari pengadilan. Abang kan kaget. Abang datengi Gus Dur, ”Kenapa dicabut, Gus?” Gus Dur waktu itu bilang, “Bang Buyung jangan marah-marahin saya dong. Itu si Kwik Kian Gie dan Laksamana yang cabut.” Setelah kejadian itu, Abang lalu menyatakan keluar sebagai pembela pemerintah. Sebelumnya, Satria juga sudah memilih mundur sebagai dirut PLN. Jadi, the end-nya begitu. Tragis memang. Kita mau bongkar, akhirnya malah kita yang dikorbankan. Dicabut perkaranya. Waktu itu, hakimnya sampai nangis. Kenapa? Nyabutnya juga bukan dicabut, tetapi perkarnya diminta oleh MA.

Masalahnya, di luar justu berkembang rumor, dalam kasus ini Abang tidak maksimal melakukan pembelaan?
Itu yang justru Abang mau bilang. Jangan sampai kalian masuk perangkap orang-orang yang memaksakan tuntutan bahwa pemerintah RI harus bayar. Salah satunya dengan cara memojokan Abang.

Sekarang ini kan lagi ada pertarungan. Dan, Abang berada di pihak orang yang bilang ”jangan bayar”. Salah satu pejabat yang berkeras nggak mau bayar adalah Widya Purnomo. Dia sudah ketemu Abang. Akhirnya, apa yang terjadi pada Widya? Dia digeser kan? Karena sebenarnya, memang ada kekuatan di dalam pemerintah kita sendiri yang berkomplot agar ini cepat dibayar. Kenapa? Mereka memang berkepentingan. Kalau jadi klaim itu dibayar US$ 320 juta, mereka akan dapat back commission. Berapa nilainya, Abang nggak tahu. Tapi Abang yakin, mereka pasti dapat. Mulai dari yang berperan sebagai konsultan, pemegang saham, dan banyak lagi. Pejabat ikut main. Belum lagi, para brokernya calo. Mereka semua dapat. Jadi, sekali lagi, dalam hal ini Abang bilang “jangan bayar”. Abang menolak, dan ayo bongkar terus korupsinya.

Selain itu, keliru kalau dibilang Abang tidak maksimal. Salah satu upaya nyata Abang adalah kita berhasil menurunkan klaim sampai US$ 261 juta dari kurang lebih US$ 600-an juta.

Kita juga berhasil mementahkan pendapat mereka tentang “deemed dipatc” dan “unjust enrichment”. Hal itu bisa kita mentahkan, karena tidak dikenal dalam hukum Indonesia. Masak gara-gara kita membatalkan proyeknya, lantas dituduh memperkaya diri sendiri. Itu kan nggak masuk akal menurut hukum kita. Dan, nilainya besar sekali. Totally, dari US$ 671 juta, mereka hanya dapat US$ 261 juta. KBC menggugat kita sebanyak itu karena dalam konsep hukum mereka (Anglo Saxon), lost potential profit itu bisa dimintakan ganti rugi. Di hukum kita, yang bisa dimintakan ganti rugi kan hanya kerugian konkret. Dan dalil yang Abang sampaikan itu diterima oleh majelis. Kita juga bisa mentahkan lebih dari US$ 400 juta klaim yang tak berdasar itu.

Seandainya kita tetap ngotot tidak mau bayar, apa yang terjadi?
Ancaman mereka itu kan mau menyita aset-aset Pertamina yang ada di luar negeri. PLN nggak punya apa-apa di luar negeri, baik kapal-kapal tanker atau uang. Tetapi sepanjang pengalaman, untuk melakukan itu juga tidak mudah. Buktinya Garuda. Waktu itu Abang juga jadi pembelanya. Mereka mengancam mau menyita, tapi nggak jadi. Kalaupun mereka maksa mau menyita, juga masih bisa kita lawan.

Sebenarnya, itu tinggal butuh political will saja bagaimana pemerintah mendukung Pertamina supaya nggak usah bayar.

Apa mungkin, wong Menkeu dan Dirut Pertamina saja sudah menyatakan siap membayar kok?
Lha itu? kenapa kok pemerintah kita begitu ngotot mau membayar. Padahal ini duit rakyat Indonesia.

Yang perlu jadi catatan, dalam kasus KBC ada tuduhan Abang berkomplot dengan KBC?Asal tahu, Abang sudah berpuluh-puluh tahun jadi pengacara. Tanyakan, apakah ada sifat-sifat Abang yang seperti itu dan bisa dibeli orang asing?