Thursday, June 22, 2006

Mau Investasi Asing? Revisi Dulu

TRUST, No. 36 Tahun IV, 2006, 22-Juni-2006
Sampai saat ini, PPATK telah menerima 413 laporan dugaan kasus pencucian uang. Namun, dari sebanyak itu, baru 6 kasus yang pelakunya dijerat Undang-Undang Pencucian Uang. Agar kita diterima dalam pergaulan internasional, memang sudah saatnya UU Tindak Pidana Pencucian Uang direvisi.
Sampai saat ini, PPATK telah menerima 413 laporan dugaan kasus pencucian uang. Namun, dari sebanyak itu, baru 6 kasus yang pelakunya dijerat Undang-Undang Pencucian Uang. Agar kita diterima dalam pergaulan internasional, memang sudah saatnya UU Tindak Pidana Pencucian Uang direvisi.
Keterlaluan. Meski Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah berupaya sekuat tenaga mengurangi tindak pidana pencucian uang, toh aparat penegak hukum tak menyambut laporan itu dengan baik. Padahal, bagi investor asing, tingkat pencucian uang di sebuah negeri merupakan salah satu faktor penting yang dipertimbangkan untuk menanamkan modalnya di negara yang bersangkutan.
Ini jelas tak bisa dipandang sebelah mata. Di tengah tingkat pengangguran yang semakin tinggi, investasi asing merupakan kebutuhan yang mendesak bagi Indonesia. Tapi lihat apa yang terjadi terhadap laporan PPATK. Dari 413 laporan yang disodorkan ke aparat penegak hukum, baru 100 yang diproses oleh jaksa maupun polisi. Lantas, dari jumlah itu, 30 kasus sudah diproses di pengadilan. Yang membuat miris, “Dari 30 kasus yang sudah divonis itu, hanya enam pelaku yang dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang,” kata Yunus Husein, Kepala PPATK.
Sudah begitu, menurut Yunus, masih ada sejumlah transaksi mencurigakan yang tidak dilaporkan pihak bank. Pasalnya, selama ini masih ada sejumlah kendala yang membuat bank enggan melaporkannya. Ada tiga alasan mengapa bank enggan melaporkan transaksi yang mencurigakan. Pertama, perbankan masih takut melaporkan transaksi yang mencurigakan yang melibatkan orang-orang penting seperti pejabat atau politisi. Kedua, adanya kultur bangsa Indonesia yang belum menjunjung tinggi kejujuran. Ketiga, perbankan khawatir akan ditinggalkan nasabah jika kerap melaporkan adanya transaksi yang mencurigakan.
Mengenai nilai transaksi mencurigakan dan bank yang melapor, Yunus tidak bersedia menjelaskan. Alasan Yunus, karena menurut UU No. 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang, pelapor harus dirahasiakan. Yunus juga mengataakan bahwa potensi pencucian uang yang terjadi di Indonesia sangatlah besar. “Berdasarkan prediksi dari Dana Moneter Internasional (IMF), uang hasil kejahatan bisa mencapai 2%-5% PDB atau sekitar Rp. 150 triliun,” katanya.
Sementara itu, berdasarkan data dari Markas Besar (Mabes) Polri, ada 11 kasus yang telah dilaporkan BI. Perinciannya, empat kasus ternyata hanya transaksi biasa antarbank yang bisa dipertanggungjawabkan, serta empat kasus terkait dengan transaksi ekspor impor dan kini polisi sedang memintaa klarifikasi dari luar negeri. Kemudian, ada juga tiga kasus lainnya yang kini dalam penelusuran dan penelitian. Yunus menambahkan, “Dua dari 11 kasus pencucian uang tersebut diduga terkait dengan terorisme internasional.”
Dari Adrian Waworuntu sampai E. C. W. Neloe
Adapun kasus pencucian uang yang telah divonis dengan jerat pasal pencucian uang, yang paling terkenal tentu saja kasus pembobolan BNI senilai Rp. 1,7 triliun. Para tersangkanya misalnya Adrian Waworuntu, telah divonis hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada akhir tahun 2005 silam.
Begitu juga yang menimpa Dicky Iskandar Dinata, salah satu tersangka dalam kasus pembobolan BNI. Selain dituduh korupsi, ia juga didakwa melakukan pencucian uang. Dalam persidangan yang juga digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada awal Juni 2006 silam, Dicky, Direktur Utama PT. Brokolin Internasional yang menerima kucuran dana sebesar Rp. 49,2 miliar dan US$ 2,99 juta hasil pencairan L/C fiktif PT. Gramarindo Group pada BNI Kebayoran Baru, dituntut hukuman mati.
Kendati begitu, dalam pleidoinya, Dicky menyatakan bahwa dirinya tidak mengetahui asal dana yang ditransfer ke PT. Brocolin International itu. Dengan kata lain, ia mengaku tidak tahu apakah dana yang masuk ke rekening perusahaannya itu adalah hasil transaksi haram atau bukan. “Kasus ini bukan kasus korupsi atau pencucian uang. Ini kasus penipuan informasi asal-usul uang,” ujar Dicky di persidangan.
Kasus besar lainnya adalah kasus yang menimpa mantan Direktur Utama Bank Mandiri, Edward Cornelis William (E. C. W.) Neloe. Setelah lolos dari kasus kredit macet di bank yang dipimpinnya, pria asal Nusa Tenggara Timur itu kembali dijerat kasus lain, yakni kasus pencucian uang (money laundering). Bahkan dalam kasus itu, sejak April 2006 silam, Neloe telah ditetapkan sebagai tersangka.
Menurut Kepala Bidang Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Pol. Bambang Kuncoko, Neloe diperiksa terkait dengan kepemilikan sejumlah dana atas namanya di sebuah bank di Swiss. Hanya saja, Bambang Kuncoko tidak menjelaskan berapa total dana yang disimpan Neloe di negara yang terkenal dengan kerahasiaan banknya itu.
Namun, pada 28 Februari 2006 lalu, Ketua Tim Pemburu Koruptor (TPK) Basrief Arief mengaatakan telah menemukan rekening milik Neloe senilai US$ 5,3 juta, di salah satu bank di Swiss. Untuk mengamankan temuan itu, menurut Basrief, TPK telah bekerja sama dengan otoritas perbankan Swiss untuk memblokir dana tersebut. Pemeriksaan terhadap kasus itu hingga kini masih dilakukan oleh Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Meski berstatus tersangka, menurut Bambang Kuncoko, penyidik belum memutuskan menahan Neloe. Alasannya, selain masih dalam taraf pemeriksaan , selama ini sikap Neloe juga dinilai kooperatif. “Yang bersangkutan [Neloe] bersikap kooperatif selama ini dan penyidik yakin dia tidak akan melarikan diri,” ungkap perwira menengah polisi ini.
Selain dua kasus besar tadi, ada juga kasus rekening perwira polisi yang pernah mencuat pada September 2005. Saat itu, Kepala PPATK melaporkan 15 nama perwira tinggi dan perwira menengah Polri yang memiliki rekening dengan saldo miliaran rupiah di sejumlah bank. Konon, uang yang tersimpan di rekening yang nilainya antaara Rp. 150 miliar hingga Rp. 800 miliar itu berasal dari upeti bisnis haram. Namun, dalam pemeriksaan selanjutnya, yang terbukti rekeningnya dikucuri uang hasil transaksi haram itu hanya menyangkut tiga perwira menengah polisi.
Merambah Bisnis Asuransi
Kendati jumlah transaksinya masih kecil, bisnis asuransi pun tak lepas dari dugaan pencucian uang. Setidaknya begitulah yang diungkapkan oleh Firdaus Djaelani, Direktur Asuransi Ditjen Lembaga Keuangan, beberapa waktu lalu. Menurutnya, pada tahun 2005, ada 20 transaksi mencurigakan yang terjadi di tiga sampai empat perusahaan asuransi jiwa yang dilaporkan ke PPATK. “Memang, yang paling memungkinkan untuk dimanfaatkan menjadi kendaraan (vehicle) bagi para pelaku pencucian uang adalah asuransi jiwa, terutama produk yang mengandung unsur investasi (unit linked),” katanya.
Adapun modus operandinya, menurut Firdaus, misalnya pelaku membeli produk unit linked berjangka 10 tahun senilai Rp. 5 miliar, dimana perbulannya si pelaku tadi diharuskan membayar premi Rp. 10 juta. Namun, belum genap 10 tahun, katakan pada tahun ketiga, seluruh kewajibannya dilunasi. Selanjutnya, pada beberapa bulan berikutnya, nasabah asuransi itu menarik investasinya di unit linked dan memindahkannya ke lembaga perbankan. “Dengan demikan, aliran dan mencurigakan tadi telah berpindah dari perusahaan asuransi ke perbankan,” katanya.
Dengan kondisi seperti itu, pantas saja bila PPATK berupaya memperluas kewenangannya. Kalau tidak, Indonesia akan tetap tercantum sebagai salah satu dari enam negara yang masuk dalam daftar Non-Cooperative Countries & Territories (NCCT) bersama Cook Island, Myanmar, Nauru, Nigeria, dan Filipina. Padahal, kalau kita mau diterima dalam pergaulan internasional, tidak bisa tidak, norma internasional harus diikuti.” Jika kita dinilai kotor, negara lain akan mengisolasi kita,” ujar Kepala PPATK, Yunus Husein. Akibatnya, “Recovery ekonomi kita akan semakin sulit,” katanya lagi.*
Riza Sofyat dan Teguh Usia Imam