Friday, April 6, 2007

KBC ; Mengungkap Jejak Purnomo

Mengungkap Jejak Purnomo


Dirut Pertamina Ari H. Soemarno mengaku sudah menyiapkan dana US$ 261 juta untuk membayar klaim ganti rugi yang diajukan Karaha Bodas Company (KBC). Rakyat harus mencegah rencana tersebut, utamanya karena proyek pembangunan power plant warisan rezim Soeharto itu sarat dengan korupsi. Purnomo Yusgiantoro diduga kuat menjadi aktor utama.

Untuk kesekian kali, rakyat Indonesia harus bersiap menanggung beban berat akibat ulah korup oknum pejabat negara. Yakni, membayar klaim ganti rugi sebesar US$ 261 juta, terkait kasus pembatalan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Karaha Bodas. Kepada pers di Jakarta, awal Januari lalu, Dirut Pertamina Ari H. Soemarno mengaku, dana yang setara dengan Rp 2,34 triliun (kurs US$ 1 = Rp 9.000) itu sudah ia siapkan dalam anggaran perusahaan tahun 2007 ini.

Menurut Ari, pencadangan dana – yang notabene milik rakyat – itu merupakan antisipasi dari kemungkinan terburuk, jika Pertamina kembali knock out dalam pengadilan di Cayman Island. ”Putusan pengadilan Cayman Island diperkirakan keluar pada Maret 2007. Ini upaya perlawanan terakhir agar uang kita tidak diambil begitu saja,” kilahnya.

Meski kemungkinannya sangat kecil, Ari terkesan masih berharap ada ”mukjizat” turun lewat pengadilan Cayman Island – negeri pulau yang menjadi alamat badan hukum Karaha Bodas Company. Yang pasti, upaya membawa kasus KBC ke pengadilan di kawasan belahan barat Karibia ini, merupakan usulan penasihat hukum Pertamina yang asal Singapura. ”Kepada pengadilan Cayman Island, kita katakan bahwa KBC telah melakukan penipuan,” kata Ari, meski menolak merincikan detail gugatannya.

Persoalannya, kalau mau jujur, ada kesan dusta di balik pernyataan Ari Soemarno. Setidaknya, menurut catatan Investigasi, pernyataan bernada ”pasrah” itu kontradiktif dengan pernyataan Ari sebelumnya. Oktober tahun lalu, saat masih baru menjabat dirut Pertamina, Ari sempat keukeuh mempersoalkan kewajiban yang harus dibayar Pertamina terkait gugatan KBC.

Ia bahkan kencang menyampaikan penolakan jika Pertamina harus menanggung sendiri klaim tersebut. Ari berdalih, pembatalan proyek Karaha Bodas tidak dilakukan oleh Pertamina, tapi oleh pemerintah. ”Jadi, harus clear dulu, ini sesungguhnya tanggung jawab siapa? Jangan semua dibebankan ke Pertamina, dong,” cetus Ari, usai rapat kerja dengan Komisi VII DPR, 10 Oktober 2006.

Namun, seiring guliran waktu, sikap Ari tiba-tiba berbalik 180 derajat. Saat dicegat Investigasi, pekan lalu, ia bahkan terkesan menghindar seraya menyebut dirinya hanya mewarisi persoalan masa lalu. ”Kasus KBC itu warisan lama. Saya hanya bertanggung jawab terhadap manajemen Pertamina dan apa yang terjadi di internal Pertamina sekarang,” tangkisnya.

Jika dicermati, sikap ”pasrah” – yang ditandai dengan pernyataan kesediaan membayar klaim KBC – sebenarnya bukan sekali ini mengemuka. Pernyataan yang sama pernah dilontarkan oleh dirut Pertamina semasa masih dijabat Ariffi Nawawi.

Menyusul kemudian, pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, sebelum dipungkasi dengan pernyataan Ari Soemarno tadi.

Pengecualian terjadi saat dirut Pertamina dijabat Widya Purnama. Dialah satu-satunya pejabat yang berani menolak dengan tegas membayar klaim ganti rugi tersebut.
Widya pula orangnya, yang terang-terangan menyebut proyek KBC sarat dengan korupsi. ”Untuk apa membayar ganti rugi proyek yang jelas-jelas sarat dengan korupsi. Proyek itu sudah pasti di-mark up, sudah pasti nipu,” ujarnya. Widya bahkan pernah mengancam mundur dari jabatannya jika dipaksa membayar klaim tersebut.

Tidak cuma itu. Desakan Menteri Negara BUMN Sugiharto, melalui deputinya Roes Aryawijaya, agar Pertamina membayar klaim KBC pun berani ditolaknya. ”Tolong tanyakan ke Pak Sugi, permintaan itu dalam kapasitas beliau sebagai menteri atau pemegang saham (Pertamina)?” kata Widya kepada Roes, dengan nada tinggi. Roes tak berani menjawab hingga kini. Toh, sejarah kemudian mencatat, sikap ”bandel” Widya benar-benar harus ditebus dengan kursi basahnya. Ia dilengserkan.

Pernyataan kesanggupan membayar klaim KBC kembali mencuat, Oktober lalu. Kali ini terlontar dari mulut Menkeu Sri Mulyani. Pernyataan Ibu Menteri merujuk pada putusan Mahkamah Agung AS, yang menolak permintaan pemerintah RI dan Pertamina untuk tidak membayar klaim ganti rugi KBC. ”Kalau tinggal dieksekusi, ya eksekusi saja. Itu kan sudah persoalan lama, jadi dana dan lain-lainnya sudah ada,” tutur Sri, seperti dikutip sejumlah media massa nasional, 5 Oktober 2006.

Seolah mengamini pernyataan Menkeu, Purnomo ikut nimbrung dengan mengatakan: dana milik Pertamina sudah diblokir oleh salah satu bank AS. ”Jadi, kalau banding kita memang ditolak, ya kita harus bayar. Kan dana kita sudah diblokir mereka di bank sana (AS),” ujarnya.

Masalah sumber dana pun riuh menjadi perdebatan. Sebab, menurut Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR RI Hafiz Zawawi, tidak ada anggaran di APBN yang disiapkan untuk membayar klaim KBC. ”Yang ada hanya anggaran untuk biaya di pengadilan arbitrase. Itu adanya di pos anggaran lain-lain APBN 2005,” tuturnya.

Namun, bagi Hafiz, juga pihak-pihak lain yang tahu persis borok di balik kemegahan proyek power plant ini, inti persoalan dalam kasus KBC sesungguhnya bukan terletak pada ada-tidaknya duit atau duit siapa yang akan dipakai untuk membayar klaim tersebut. Melainkan, lebih pada perlu tidaknya pemerintah atau Pertamina membayar klaim KBC.

Kenapa? Seperti pendapat Widya Purnama, untuk sejumlah alasan yang sangat rasional, pemerintah, Pertamina, PLN, bahkan seluruh rakyat Indonesia harus menolak putusan arbitrase internasional maupun kelak jika pengadilan Cayman Island kembali men-smack down Pertamina. Alasan pertama dan terutama, sudah pasti karena proyek KBC benar-benar pekat oleh aroma korupsi.

Sudah begitu, jumlah ganti rugi yang diklaim KBC (US$ 320 juta) juga kelewat besar dan diwarnai dengan tipu muslihat. Pasalnya, merujuk laporan akhir uji tuntas yang dilakukan ELC Electroconsult – lembaga konsultansi dan penaksir independen untuk proyek-proyek energi yang berkedudukan di Milan, Italia – nilai investasi KBC pada saat proyek dihentikan tidak lebih dari US$ 50 juta.

Setelah proyek dihentikan, KBC juga sudah menerima klaim ganti rugi asuransi sebesar US$ 75 juta dari Berry Palmer & Lyle Limited, Loyd’s Brokers, London.

Dus, berdasarkan asas subrograsi, KBC sudah tidak boleh meneruskan tuntutannya kepada Pertamina dan PLN, karena haknya telah beralih kepada Berry Palmer & Lyle.
Menurut ketentuan Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, Centennial Editions (1991-1991): subrogasi adalah pergantian kedudukan seseorang kepada orang lainnya, dalam kaitan klaim yang berdasarkan hukum, permintaan atas hak, sehingga orang yang menggantikan itu mempunyai hak terhadap pihak lain, dalam kaitan dengan utang, klaim dan hak, penggantian atau jaminan.

Namun, dengan penuh tipu muslihat, KBC tetap menggugat Pertamina dan PLN untuk membayar klaim ganti rugi secara tanggung renteng di arbitrase internasional.

Korupsi sejak dari hulu

Sekadar mengkilas balik, Proyek PLTP Karaha Bodas yang berlokasi di Malangbong, dekat Garut, Jawa Barat, adalah salah satu dari 27 proyek power plant yang dirancang di penghujung pemerintahan Soeharto. Proyek-proyek tadi seluruhnya melibatkan orang-orang di lingkaran keluarga maupun kroni Soeharto. Khusus Karaha Bodas, yang melibatkan anak dan menantu mantan Wapres Sudharmono, kapasitas listrik yang dihasilkan direncanakan sebesar 120 megawatt (MW). Terdiri atas 6 unit power plant x 20 MW, dengan jangka waktu konsesi 30 tahun.

Ringkas kisah, dua kontrak kemudian ditandatangani bersamaan pada 28 November 1994. Masing-masing, kontrak operasi bersama (Joint Operation Contract/JOC) antara Pertamina dan KBC, berkaitan dengan pengembangan lapangan panas bumi, dan kontrak penjualan energi (Energy Sales Contract/ESC) antara Pertamina dan KBC selaku penjual, dengan PLN yang akan bertindak sebagai pembeli tenaga listrik yang kelak dihasilkan.

Penandatanganan JOC dan ESC yang dilakukan secara bersamaan, jelas menyimpang dari asas kepatutan. Lazimnya, JOC ditandatangani terlebih dulu. Setelah itu, investor melakukan eksplorasi atau – dalam hal ini – pencarian uap panas bumi. Setelah diketemukan, si investor masih harus membangun fasilitas pengumpulan uap, pemipaan, membangun fasilitas pembangkit tenaga listrik, sekaligus pengujian.

Dalam tahap eksplorasi ini, belum tentu uap panas bumi yang dicari berhasil diketemukan. Bisa jadi, yang keluar malah lumpur sebagaimana yang dialami Lapindo Brantas di Sidoarjo. Dengan kata lain, ESC seharusnya baru dapat ditandatangani setelah KBC membuktikan bahwa pihaknya mampu menghasilkan listrik dan siap menjual listrik itu kepada PLN.

Namun, badai krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak 1997, merusak semua rencana. September 1997, atas tekanan Dana Moneter Internasional (IMF), Presiden Soeharto menerbitkan Keppres Nomor 39 tentang penghentian beberapa proyek pemerintah. Karaha Bodas termasuk di antaranya. Keputusan itu sempat dibatalkan pada November 1997, namun proyek kembali mandek setelah keluarnya Keppres Nomor 5 pada Januari 1998.

Merasa kontrak dilanggar dan diputuskan sepihak, KBC meradang. Mereka menggugat Pertamina melalui pengadilan arbitrase internasional di Jenewa, Swiss, 21 bulan terhitung sejak keputusan penghentian proyek dikeluarkan. Desember 2000, pengadilan arbitrase memenangkan KBC. Pertamina diperintahkan membayar ganti rugi sebesar US$ 261 juta kepada KBC.

Putusan arbitrase itu kemudian diperkuat oleh pengadilan AS, di tingkat distrik, banding, hingga Mahkamah Agung. Ancamannya, jika menolak membayar ganti rugi, aset-aset Pertamina senilai US$ 300 juta di Bank of America dan Bank of New akan dibekukan. Ironisnya, karena memperhitungkan bunga 4 persen per tahun, klaim ganti rugi itu terus membengkak. Angka terakhir diperkirakan US$ 320 juta atau sekitar Rp 2,9 triliun.

So? Jika Presiden SBY serius hendak menegakkan hukum di bumi Indonesia, sekaligus mencegah duit rakyat diembat oknum pejabat, ada senjata pamungkas yang sebenarnya masih bisa digunakan. Yakni, mengusut tuntas dan membongkar hingga ke akar kasus korupsi yang membingkai proyek ini. ”Kalau kita mampu membuktikan kasus ini sarat korupsi, kita bisa meminta Mahkamah Arbitrase menunda atau menganulir putusannya,” ujar Adnan Buyung Nasution, advokat senior yang pernah membela pemerintah, Pertamina dan PLN di persidangan arbitrase.

Memang benar, upaya untuk mengungkap kasus korupsi dalam proyek KBC – yang sahamnya dimiliki Caithness Energy, Florida Power & Light, Tomen Corp, dan PT Sumarah Dayasakti sebagai mitra lokal – pernah dilakukan. Namun, sepanjang 2004-2006 itu, Mabes Polri hanya menetapkan tiga tersangka: Senior Vice President and Director KBC, Robert McKichan; mantan Kepala Divisi Geothermal Pertamina, Priyanto; dan stafnya Syafei Sulaeman.

Fakta pun berbicara, pengembangan penyidikan tidak berlangsung menyeluruh dan sama sekali tidak menyentuh sosok penting yang diduga merupakan pelaku utama yang sebenarnya. Selain Purnomo Yusgiantoro bersama koleganya: Mohammad Bawazeer dan Loedito Setyawan Poerbowasi, juga Robert E. Tucker, penanggung jawab KBC.

Ironisnya, dalam proses hukum selanjutnya, yang diajukan menjadi terdakwa di pengadilan hanya Priyanto dan Syafei Sulaeman, dua pegawai Pertamina berpangkat rendahan. Sedangkan Mr. McKichan buron entah di mana. Dakwaan jaksa pun hanya berkisar pada ketidakbecusan Priyanto dan Syafei dalam mengelola dana proyek KBC (1995-1998) sebesar US$ 93,1 juta, sehingga menguntungkan KBC dan merugikan pemerintah sebesar US$ 43,1 juta – menurut hitungan BPKP.

Jaksa berpendapat, Priyanto tidak mengelola kegiatan eksploitasi dan pengembangan serta operasi dan produksi lapangan panas bumi secara efisien dan efektif. Sedangkan Syafei dianggap tidak melakukan pembinaan dan pengawasan untuk memastikan biaya operasi ditekan serendah mungkin. Alhasil, persidangan berakhir anti-klimaks. Selasa, 24 Januari 2006, kedua terdakwa diputus bebas oleh hakim PN Jakarta Pusat, meskipun jaksa menuntut hukuman sembilan tahun penjara.

Mark up nilai investasi hingga harga listrik

Sejatinya, ada sejumlah temuan penting yang menunjukkan berlangsungnya praktik korupsi dalam proyek PLTP Karaha Bodas. Pertama, terkait dengan mark up dalam nilai investasi KBC, yang kemudian disidangkan dengan terdakwa Priyanto dan Syafei Sulaeman tadi.

Menurut data yang diperoleh Investigasi, klaim KBC bahwa pihaknya telah menggelontorkan dana sebesar US$ 93,1 juta jelas mengandung unsur penggelembungan nilai (mark-up). Waktu itu, dari dana sebesar itu KBC merinci: sebesar US$ 8,3 juta dikeluarkan tahun 1995, lantas US$ 26,4 juta (1996), US$ 48,5 juta (1997), dan US$ 9,9 juta (1998).

Padahal, telah disebut, berdasarkan laporan akhir uji tuntas ELC Electroconsult, nilai investasi KBC sesudah proyek Karaha Bodas dihentikan (1996-1998) tidak lebih dari US$ 50 juta. Rinciannya: untuk biaya exploration well sebesar US$ 30 juta, general fasilities US$ 5 juta, gradient holes US$ 8 juta, dan operating expenses US$ 7 juta.

Dari sini saja, patut dipertanyakan, apa yang menjadi dasar majelis arbitrase internasional dalam menetapkan angka US$ 261 juta – terdiri atas nilai kehilangan investasi (US$ 111,1 juta) dan kehilangan laba (US$ 150 juta) – sebagai klaim yang harus dibayar pemerintah, Pertamina dan PLN. Awam pun akan mengatakan, metodologi penghitungan dan variabel yang digunakan majelis arbitrase sangat tidak proporsional dan merugikan pemerintah Indonesia.

Kedua, terkait dengan mark-up dalam penetapan harga listrik. Di sini, sepak terjang Purnomo – waktu itu penasihat Mentamben Bidang Energi, Ketua Tim Pelaksana Panas Bumi, dan Ketua Tim Negosiasi Listrik Swasta – terlihat sangat dominan. Semula, dalam rancangan ESC yang ditandatangani di Bali oleh KBC-Pertamina dengan PLN, harga listrik ditetapkan US$ 71.58/MWh. Namun dalam ESC yang diberlakukan, jika dihitung secara flat, di-mark up menjadi US$ 72.98/MWh. Harga mark up muncul setelah Purnomo, selaku Ketua Tim Negosiasi Listrik Swasta, menyetujui Finalizing Energy Sales Contract yang diajukan pimpinan KBC – ditandatangani Robert E. Tucker dan Loedito S. Poerbowasi – pada 15 November 1994.

Jika dirunut, harga flat yang lebih tinggi itu merujuk pada perubahan penawaran harga jual listrik yang diajukan KBC. Melalui surat tertanggal 15 November 1994, KBC mengajukan perubahan penawaran harga listrik menjadi: US$ 330.10/kWyr untuk 14 tahun pertama, US$ 165,05/kWyr untuk delapan tahun berikutnya, dan US$ 82.53/kWyr untuk tahun-tahun berikutnya.

Jelasnya, Finalizing Energy Sales Contract yang diajukan sebagai penawaran oleh pimpinan KBC itulah yang kemudian diadopsi mentah-mentah, sekaligus diberlakukan sebagai harga jual listrik dalam ESC (lihat: Dokumen Surat Purnomo). Ini berarti, proses pengambilan keputusan dalam penetapan harga jual listrik yang telah di-mark up dan diberlakukan dalam ESC, hanya ditentukan oleh Purnomo.

Prosedur seperti itu jelas tidak wajar. Seharusnya, kesepakatan Bali yang telah menetapkan harga listrik sebesar US$ 71.58/MWh itu, kemudian diusulkan oleh Dirut PLN kepada Mentamben. Lantas, Mentamben-lah yang memberikan persetujuan terhadap harga jual yang nantinya diberlakukan dalam ESC.

Tindakan mark-up harga jual listrik, tentu saja, berakibat panjang dan memberatkan rakyat. Menurut kalkulasi, bila proyek berjalan selama masa konsesi 30 tahun, negara tentu dirugikan triliunan rupiah. Bahkan, sekalipun proyek Karaha Bodas akhirnya dihentikan, negara tetap masih dirugikan. Pasalnya, dalam melakukan penghitungan ganti rugi untuk rencana pendapatan yang hilang (sebesar US$ 150 juta), Majelis Arbitrase Uncitral jelas-jelas berpedoman pada harga jual listrik yang telah di-mark up.

Yang bikin geregetan, pernah di depan anggota Komisi VII DPR RI, Purnomo membantah terlibat dalam proses pembuatan JOC dan ESC. Termasuk dalam menetapkan harga jual listrik. Padahal, berdasarkan nota dinas yang ditandatanganinya, yang ditujukan kepada Mentamben tertanggal 17 November 1994, Purnomo antara lain menulis, ”negosiasi harga sudah selesai, dipimpin kami sendiri...” (lihat: Dokumen Surat Purnomo).

Dalam dokumen lain, terlihat betapa Purnomo memang berperan dominan dalam menentukan harga jual listrik panas bumi. Maklum, selain menjadi Penasihat Mentamben Bidang Energi dan Ketua Tim Negosiasi Listrik Swasta, Purnomo juga menjabat Ketua Tim Pelaksana Panas Bumi, berdasarkan Keputusan Mentamben Nomor: 501.K/702/M.PE/1994 tanggal 18 April 1994. Dalam melaksanakan tugasnya, Purnomo sepenuhnya dibantu dan menunjuk Roes Aryawijaya selaku Ketua Tim Kecil Pelaksana Panas Bumi.

Sumber Investigasi menambahkan, dalam sebuah kesempatan, mantan dirut PLN Prof. Dr. Zuhal pernah mengatakan, nota kesepahaman (MoU) pengembangan proyek lima lapangan panas bumi (Dieng, Patuha, Karaha Bodas, Wayang Windu, dan Bedugul) tidak pernah dibicarakan dengan PLN. Dengan kata lain, sedari awal dirut PLN tidak pernah dilibatkan dalam proses penentuan tarif.

Selaku pembeli, PLN belum mempunyai ”owners estimate” harga listrik panas bumi, karena seluruh kegiatan penentuan tarif hanya berlangsung di Deptamben (kini Departemen ESDM). Menurut Zuhal, terdapat beberapa ketentuan dalam kontrak yang bersifat timpang dan merugikan PLN. Misalnya, penempatan titik pengukuran (meetering point) yang diletakkan pada sisi bruto. Juga, tanggung jawab penyediaan trafo generator tidak pada HCE, yang lazimnya harus sudah termasuk pada harga yang ditawarkan kontraktor.

Yang lebih fatal lagi, harga jual listrik swasta umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual PLN kepada konsumen (masyarakat). PLN sendiri sebenarnya mampu memenuhi kebutuhan pasokan listrik nasional. Namun, tetap diwajibkan membeli listrik swasta, meski dengan harga mahal dan sudah terjadi over supply.

Dampaknya? PLN harus menanggung beban utang yang besarnya bisa membikin bangkrut perusahaan pelat merah itu. Yakni, Rp 26,4 triliun ketika kurs 1 US$ = Rp 3.000, lalu meningkat tajam menjadi Rp 37,4 triliun, setelah Indonesia dilanda krisis ekonomi dan nilai tukar rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS.

Lebih celaka lagi, upaya ”penyelamatan” ala pemerintah, lazimnya dilakukan dengan cara membebani rakyat. Yakni, menaikkan tarif dasar listrik (TDL) dan menerapkan automatic tariff adjustment (ATA) sebesar 60 persen. Dengan memberlakukan ketentuan ini, harga listrik yang dibayar rakyat otomatis naik 20 persen setiap empat bulan sekali.

Jadi? Terlalu banyak fakta dan data yang sesungguhnya bisa diungkap untuk membongkar korupsi proyek Karaha Bodas, juga kasus-kasus proyek power plant yang lain. Kuncinya memang hanya satu: konsistensi dan keberanian SBY – presiden pertama pilihan rakyat – dalam membongkar kasus-kasus korupsi warisan pendahulunya. Tidak terkecuali, kasus yang melibatkan anak buahnya di kabinet. l

(Tim Investigasi)
Skandal Pajak dan Backing Pejabat

Tindakan culas Karaha Bodas Company (KBC) ternyata juga terekam di ranah perpajakan. Tidak tanggung-tanggung, KBC diketahui telah menunggak pajak, bahkan terlibat dalam kejahatan perpajakan di Indonesia. Padahal, untuk jenis kejahatan ini, aturan hukumnya sangat jelas. Dengan melakukan kejahatan perpajakan, menurut hukum Indonesia dan undang-undang AS, si pemilik KBC yang notabene warga negara AS dapat diburu dengan bantuan Interpol dan FBI.

Namun, sama seperti kasus korupsinya, kejahatan KBC di ranah pajak ini pun belum pasti terungkap, apalagi memberikan keuntungan kepada negara. Padahal, upaya untuk menjerat KBC dari sektor fiskal ini sudah tak kurang dilakukan. Terakhir, sesaat setelah Mahkamah Agung AS mengetukkan palu, awal Oktober lalu, Dirjen Pajak Darmin Nasution langsung berkirim surat ke pengadilan distrik New York, meminta agar aset Pertamina tidak buru-buru dibekukan.

Alasan Darmin sangat terang: KBC belum membayar pajak ke pemerintah Indonesia sebesar Rp 30 miliar dan US$ 254 juta. Jumlah itu merupakan akumulasi utang pajak KBC sejak 1998. Yakni, tunggakan PPN dan PPh badan sebesar 30 persen dari penghasilan senilai US$ 261 juta.

Tidak cuma itu. Menurut hasil investigasi tim pemeriksa pajak, KBC juga terlibat dalam tindak kejahatan perpajakan di Indonesia. Untuk itu, sejak 1998 hingga 2004, sudah berulang kali Ditjen Pajak mengirim surat teguran, surat paksa, hingga penagihan ke KBC. Namun, sang wajib pajak badan usaha tetap ini tak diketahui lagi keberadaannya. Direktur Pemeriksaan Pajak Amri Zaman mengaku, pihaknya tak pernah menemukan orang atau pengurus KBC.

Sejauh ini, PPN yang bisa dihimpun negara praktis hanya didapat dari Loedito S. Poerbowasi sebesar Rp 1,2 miliar. Menantu Sudharmono yang juga salah satu pemegang saham KBC ini, menyetorkan pajak ke pemerintah setelah Ditjen Pajak melakukan upaya ”paksa badan” – dengan menjebloskannya ke LP Cipinang – pada November 2004.

Oleh Ditjen Pajak, Loedito waktu itu diharapkan membantu pemerintah untuk menagih pajak kepada para pemegang saham lainnya. Namun, karena bukan pengendali, ia mengaku tak bisa mendesak KBC untuk melunasi pajaknya. Menurut Amri, pemegang saham lokal memang tak dipedulikan oleh pengendali.

Pengiriman surat ke pengadilan AS itu sendiri, kata Darmin Nasution, merupakan tindakan hukum terakhir yang diambil agar pengadilan di AS mengetahui status pajak KBC. Masalahnya, sejak surat dilayangkan pada Oktober 2006, hingga kini – empat bulan kemudian – pengadilan AS tak kunjung memberikan tanggapan.

Selain via surat, Ditjen Pajak juga sudah meminta bantuan Internal Revenue Services (IRS), semacam kantor pajak di AS, untuk mengejar kewajiban pajak KBC. Namun, dengan alasan KBC berbadan hukum di Cayman Island, IRS mengaku tidak bisa membantu, karena pihaknya tak punya kerja sama perpajakan dengan Cayman Island.

So? Menilik susahnya menjerat pemilik KBC dengan menggunakan peradilan asing, satu-satunya cara untuk menyelamatkan duit rakyat itu praktis hanya tinggal menggunakan hukum Indonesia dan dilakukan di lembaga peradilan Indonesia. Yakni, itu tadi, dengan membongkar habis praktik korupsi yang sejak awal membekap kasus KBC.

Persoalannya, sejarah telanjur tak berpihak kepada rakyat. Meskipun fakta dan data sudah kelewat menumpuk, calon tersangka juga sudah jelas, tetapi selalu ada ganjalan yang membuat pengungkapan kasus korupsi KBC kandas. Ihwal ini, tak kurang dari Adnan Buyung Nasution pernah merasakan sendiri susahnya mendorong pemerintah untuk membongkar kasus korupsi KBC.

Buyung mengaku, saat dirinya tampil membela pemerintah, Pertamina dan PLN dalam persidangan arbitrase, ia sempat kerepotan mencari pejabat atau mantan pejabat yang mau dihadirkan untuk memberikan kesaksian. ”Arbitrase memang hanya mengadili sengketa tentang isi perjanjian. Meski demikian, Abang tetap berusaha menunjukkan ada kasus korupsinya,” kata Buyung.

Akhirnya, hanya Djiteng Marsudi (mantan dirut PLN) yang mau memberikan kesaksian – menceritakan adanya tekanan kuat yang ia hadapi saat menandatangani kontrak. Saksi kunci lain yang diharapkan membantu Buyung adalah Mar’ie Muhammad, mantan Menteri Keuangan. ”Mar’ie waktu itu sudah janji datang. Tapi pada saatnya, dia tidak muncul,” ujarnya.

Usulan membongkar kasus korupsi proyek-proyek power plant (tidak hanya KBC), juga pernah disampaikan Buyung kepada Presiden BJ Habibie. Kala itu, Habibie setuju, bahkan langsung memerintahkan Jaksa Agung (saat itu) Andi Ghalib untuk menindaklanjuti. Hasilnya? Nihil. ”Padahal, kalau Ghalib mau, minimal proses persidangan arbitrasenya bisa ditunda sampai ada keputusan final perkara korupsinya,” ujar si Abang, yang merasa tidak dibantu pejabat untuk membongkar korupsi.

Puncaknya, tindakan Buyung menggugat kontrak Paiton lewat PN Jakarta Pusat – dan berhasil dimenangkan – akhirnya kandas di tangan Presiden Abdurrahman Wahid. Di tingkat pertama, Buyung menang. Namun, saat terjadi pergantian kepemimpinan nasional dari Habibie ke Gus Dur, tanpa setahu Buyung dan kliennya (dirut PLN Satria), perkara tersebut dicabut dari pengadilan. Sejak itu, Buyung menyatakan keluar sebagai pembela pemerintah.

Jadi? Di mata lelaki berambut perak ini, persoalan KBC sejatinya sudah sangat jelas. Sulitnya membawa kasus ini – juga kasus-kasus sejenis – ke pengadilan korupsi, tak lepas dari adu kepentingan di level pejabat. ”Asal tahu, sekarang ini sedang ada pertarungan antara pihak yang mendorong pemerintah untuk membayar klaim KBC dan yang berpendapat sebaliknya,” katanya.

Pelengseran Widya Purnama dari kursi dirut Pertamina adalah contoh kuatnya adu kepentingan itu. ”Pencopotan Widya membuktikan, memang ada kekuatan di pemerintah kita sendiri yang berkomplot agar klaim ini cepat dibayar.” Kepentingan komplotan ini mudah dibaca. ”Kalau kalaim itu dibayar, mereka akan dapat back commission. Saya yakin, mereka pasti dapat. Pejabat ikut main, brokernya juga calo semua,” tegas Buyung. Nah! l

(Tim Investigasi)